Hujan datang menggelap
gulitakan keadaan, saat ini aku melihat keluar jendela dan langit menjadi
gelap. Langit memandangku dengan tatapan tajam, suara petir terus terdengar
sambil memburuku dari balik rumah.
“Rey,
gak ada henti-hentinya kamu menghantui aku.” Aku hanya bisa bertanya dengan
diriku sendiri, foto-foto kenangan kita berdua masih aku susun rapih di dalam
kotak kecil.
Tahukah
kamu, Rey. Butuh waktu untukku melupakan dan merelakanmu, di dalam kamar ini
punya cerita tentang kita berdua, satu hal yang tak pernah aku lupakan dari
kamu, kotak kecil berpita putih ini jadi satu hal yang berharga untukku.
“Nak.”
suara Ibu terdengar memanggilku dari ruang tamu.
Aku
terbangun dari lamunanku. “Iya, Bu. Tunggu sebentar”.
Sudah
cukup, Rey. Foto kita berdua hanya masa lalu, walau aku menangisimu saat ini,
percuma. Kamu melihatku dari jauh, bukan merangkul dan bahkan memeluk tubuhku
seperti dulu. “Kamu kuat, Dar.” Aku menasehati diriku sendiri sambil memainkan
tisu di sekitar wajahku yang lembab dengan air mata.
Suara
ketokan pintu itu kembali terdengar dari depan kamarku, Ibu yang masih
menungguku terus memanggil dengan seruan nada tingginya “Dara... Dar. Kamu lagi
apasih? jadi ikut ibu pergi tidak.” Suara ajakan Ibu kembali terdengar.
Sebelum
meninggalkan kamar, aku merapikan foto-foto yang masih aku pegang di kedua
tanganku. Di kotak kecil itu, aku melihat kamu hidup kembali, Rey. “Sedang apa
kamu? I miss you.” Pesan-pesan itu
selalu aku rindukan.
Aku
meletakkan kotak kecil berwarna merah tua, di lindungi pita berwarna putih,
sepintas seperti kotak perhiasan yang sering aku lihat di televisi saat adegan-adegan
si pria melamar wanita yang sudah menjadi tunangannya. Sebelum aku keluar
menghampiri Ibu, aku membalikkan badanku sekali bahkan dua kali, sebelum aku
membuka pintu kamarku.
“Ayo,
Bu. Aku siap.” seruku dengan senang sambil memeluk Ibu.
Rangkulan
pelukanku di balas dengan senyum Ibu. “Kamu ini sedang apasih, Nak? di panggil-panggil
dari tadi baru keluar?” Ibu melepaskan pelukanku.
“Ya sudah,
ayo kita berangkat. Sudah telat ini.”
“Siap.
Bu.” Aku berseru semangat.
***
Sanggupkah aku
melihatmu nanti? di saat aku berdiri, kau pasti lebih banyak diam di balik
ruang sempit yang gelap dan penuh sesak itu. Aku banyak bicara, sementara kau
hanya bisa diam, aku berharap yang terbaik untukmu disana nanti, Rey.
“Ayolah,
Dar. Kamu pasti kuat.” Aku terus menyemangati diriku sendiri.
Di
balik kebahagian itu aku mendapatkan kesedihan untukku sendiri. Dimana lagi
soal kata indah yang bisa aku dengar. Kita berbeda, jarak di antara kita sudah
tak lagi dekat.
“Ayo,
Nak.” Ibu mempersilahkan aku masuk ke dalam mobil lebih dulu.
“Terima
kasih, Bu.” Aku mulai membuka pintu mobil. Entah, kenapa perasaanku saat ini
benar-benar kaku. Beban berat rasanya aku harus mengingat kamu kembali. Aku berharap
tak ada tetesan air mata yang jatuh kembali nanti.
***
Sekitar
satu jam di perjalanan, aku selalu mendengarkan musik, menutup telinga bagian
kiriku dengan headset yang tersambung di ipod berwarna putih.
“Kamu nggak apa-apa, Nak?” suara Ibu bertanya, sambil mengacak-acakkan rambutku dengan
tangan kirinya “Ibu perhatikan kamu banyak diam, Nak.”
“Nggak
apa-apa bagaimana, Bu? aku sehat-sehat aja ko.” Sambil menggerakkan tangan
kananku, seperti olahragawan memainkan ototnya. Padahal aku hanya perempuan. Aku tertawa kecil di dalam hati
Maaf, Bu. Aku ingin selalu terlihat bahagia dari tatapanmu. Sebenarnya aku nggak
sanggup sama tempat tujuan kita ini.
“Kamu
ini, gak pernah serius kalau di ajak bicara sama orang tua.” Ibu terus memperhatikan
jalan. Seperti biasa, kami berdua selalu terlihat aneh saat di dalam mobil. Aku
dengan Ibu jarang banyak berbicara. Ibu selalu terlihat serius memegang kendali
mobilnya, sementara aku selalu sibuk dengan musik-musik yang ada di dalam ipod
putihku.
Ibu
memberiku semangat baru, perpisahannya dengan ayah sama-sama membuatku kecewa
saat itu. Aku banyak belajar dari Ibu, seperti aku belajar melepaskan kamu, Rey.
Tapi, kekecewaan Ibu jauh lebih besar di bandingkan aku. Ayah pergi dengan
orang wanita pilihannya yang baru. Berbeda dengan kamu yang pergi karena
penyakitmu.
***
Aku
lebih banyak diam, di sekitar tempat yang aku datangi benar-benar luas dan
sunyi dari keramaian orang-orang. Aku melihat satu-persatu keluarga itu datang dan
membersihkan kotoran-kotoran yang menempel di atas nisan nama-nama itu.
“Kau
tahu, disaat-saat seperti ini aku berusaha kuat menyakini perasaanku, aku
berusaha tegar mempertahankan keikhlassanku untuk kamu. Rasanya benar-benar
seperti mimpi, aku melihatmu dari sebuah nama yang tertulis jelas.”
Tiba-tiba Ibu merangkulku, Ibu memberikan bunga-bunga yang harus segera aku taburi.
Satu-persatu bunga-bunga itu berjatuhan mengelilingimu.
“Ibu,”
aku mendesah “Kenapa harus seperti ini, Bu? rasanya mustahil untukku membiarkannya
tidur sendiri disini.”
“Gak
ada yang mustahil, Nak. Kita semua sama, dari tanah dan akan kembali ke tanah.”
Ibu mengambil beberapa bunga-bunga yang sementara aku hanya pegang saja.
Entahlah,
aku hanya bisa banyak diam. Pikiran-pikiranku sudah kotor dengan kesedihanku.
“Bagaimanapun juga aku akan sama seperti kamu, Rey. Kita akan bertemu kembali
nanti.” aku menjatuhkan sebagian badanku.
***
Kebahagianku adalah
kamu, satu di antara banyak orang yang aku kenal. Aku punya cerita, begitupun
dengan kamu yang selalu berbagi cerita untuk kita. Waktu bisa memisahkan kita
berdua, tapi cinta dan kenangan kita akan selalu kita jumpai.
Reyhan Saputra
Aku
memperhatikan sobekan kertas kecil yang ada di dalam kotak pemberianmu, Rey.
Kalimat itu benar-benar menjadi tanda-tanda perpisahan kita, aku dapat
membacanya setelah kau pergi, “Jahat”
kesalku dalam hati.
Percaya
atau tidak, tapi semuanya sudah berlalu. Kamu hilang tak bersuara lagi, rambut
cepak, mata sipit dan tubuh tinggi itu hanya tinggal foto yang saat ini aku
perhatikan.
Bergegaas,
aku pun pergi meninggalkan kamar. Aku berjalan untuk menuju apotek rumah sakit
di dekat taman. Dengan jaket hijau, kacamata putih dan syal yang melingkari
leherku. Aku masih berpikir keras, apa yang kau katakan benar-benar sempat
mengundang pertanyaan yang hebat menampar perasaanku.
Perasaan
itu kembali muncul, di mana ketakutanku tiba-tiba hadir.
Tak
beberapa lama aku sampai di dalam kamar. Aku melihatmu tersenyum, membuka bibir
dengan ruang yang agak mengecil tak berbentuk huruf “O”.
***
Suaramu
terdengar lirih di telingaku, di dalam kamar berukuran 3x4 itu, aku masih duduk
setia di sebelah kanan tempat tidur pasien rumah sakit, tangan kananmu memeluk
erat jari-jari tanganku. Wajah pucat itu sempat menghantui aku, kusam dengan
kulit yang terasa dingin aku rasakan, di tambah ac ruangan terasa dingin.
“Dek.” Panggilan sayangmu untukku.
“Iya,
mas? Kamu mau minum? sebentar aku ambilkan.” Kedua mataku selalu menuju ke arah
matamu. Detak jantungku selalu terdengar tidak karuan. Kamu pasti sembuh mas.
“A...
ku.” Ia menghela napamu sejenak “Aku mau kamu terus tersenyum ya, Dek. Suatu
saat nanti aku akan pergi dari samping kamu.” Suara itu terdengar dengan nada
rendah.
Sambil
berbaring melihatku, kamu terus memegang erat tanganku. Kamu terlihat begitu
memaksakan untuk berbicara, dengan spontan air minum di dekat kasur tersenggol
dan terjatuh membasahi lantai.
“Mas.
Istirahat saja, kamu nggak perlu banyak bergerak.” Aku mengusap dada dengan
perlahan sambil memberikan kehangatan. Konon katanya, kalau kita sering
mengusapkan telapak tangan kita, tubuh yang kita usapkan itu akan terasa
hangat.
Kamu
terlihat sibuk membuka laci meja, tangan kananmu terlihat meraih kotak
kecil yang tersimpan di dalam meja. Aku melihat pita yang menempel mengitari
kotak itu, tak berselang beberapa lama kamu memberikan kotak itu untukku.
“Simpan
baik-baik ya, Dek. Mungkin, aku cuma bisa beri sebuah kotak kecil ini, maaf.” Aku
mendengar suara dengan sedikit mendekatkan telingaku di dekat wajahmu.
Suaranya
semakin terdengar mengecil, aku menekan tombol keamanan kamar dengan spontan.
Satu demi satu Dokter dan suster mulai memasuki kamar. Aku keluar dengan
mempertahankan kotak yang kamu berikan, membuka pintu dan kemudian menutup
pintu secara perlahan.
Suara
jantungku mulai terdengar tidak karuan, pikiran di kepalaku lari ke sana-sini tidak
jelas. Rey!. Aku memanggil nama itu di dalam hati.
Cukup
ibu yang ada di dalam kamar itu, tetesan air mataku kembali jatuh dengan tak
sengaja. Aku memandangi kotak berpita itu.
“Tuhan,
kuatkanlah aku. Berikanlah yang terbaik untuk dirinya, aku ingin punya banyak
waktu di antara kita berdua nanti. Masih banyak cerita yang belum aku
selesaikan berdua.”
Aku
terus memandangimu dari balik jendela kamar. Aku teringat kata-kata itu, kamu
berpesan kepadaku “Teruslah tersenyum,
biarpun kau sedih dengan ceritamu, berikan senyumanmu itu untuk orang yang kau
sayangi.” Aku dapat tersenyum soal
hal itu, bukan seperti yang aku lihat saat ini dengan kedua mataku.
“Seperti
inikah perpisahan yang kamu berikan untukku?,” ujarku sesaat “Jahat, pantaskah
aku tersenyum, di saat kamu pergi, aku harus memberikan senyumanku untuk
perpisahan kita”
Awalnya terasa manis,
Rey. Kamu memberikan banyak cerita dan kisah-kisah yang aku anggap adalah
kebahagian. Kamu memberikan kehidupan yang nyata dengan hatiku, di antara banyak
pria yang melukaiku, kamu memberikan pelajaran yang benar-benar aku rasakan
bersama pikiranku”
Anisa
Dara Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar