Minggu, 18 Mei 2014

Unwanted Leave Taking

Hujan datang menggelap gulitakan keadaan, saat ini aku melihat keluar jendela dan langit menjadi gelap. Langit memandangku dengan tatapan tajam, suara petir terus terdengar sambil memburuku dari balik rumah.

“Rey, gak ada henti-hentinya kamu menghantui aku.” Aku hanya bisa bertanya dengan diriku sendiri, foto-foto kenangan kita berdua masih aku susun rapih di dalam kotak kecil.

Tahukah kamu, Rey. Butuh waktu untukku melupakan dan merelakanmu, di dalam kamar ini punya cerita tentang kita berdua, satu hal yang tak pernah aku lupakan dari kamu, kotak kecil berpita putih ini jadi satu hal yang berharga untukku.

“Nak.” suara Ibu terdengar memanggilku dari ruang tamu.

Aku terbangun dari lamunanku. “Iya, Bu. Tunggu sebentar”.

Sudah cukup, Rey. Foto kita berdua hanya masa lalu, walau aku menangisimu saat ini, percuma. Kamu melihatku dari jauh, bukan merangkul dan bahkan memeluk tubuhku seperti dulu. “Kamu kuat, Dar.” Aku menasehati diriku sendiri sambil memainkan tisu di sekitar wajahku yang lembab dengan air mata.

Suara ketokan pintu itu kembali terdengar dari depan kamarku, Ibu yang masih menungguku terus memanggil dengan seruan nada tingginya “Dara... Dar. Kamu lagi apasih? jadi ikut ibu pergi tidak.” Suara ajakan Ibu kembali terdengar.


Sebelum meninggalkan kamar, aku merapikan foto-foto yang masih aku pegang di kedua tanganku. Di kotak kecil itu, aku melihat kamu hidup kembali, Rey. “Sedang apa kamu? I miss you.” Pesan-pesan itu selalu aku rindukan.

Aku meletakkan kotak kecil berwarna merah tua, di lindungi pita berwarna putih, sepintas seperti kotak perhiasan yang sering aku lihat di televisi saat adegan-adegan si pria melamar wanita yang sudah menjadi tunangannya. Sebelum aku keluar menghampiri Ibu, aku membalikkan badanku sekali bahkan dua kali, sebelum aku membuka pintu kamarku.

“Ayo, Bu. Aku siap.” seruku dengan senang sambil memeluk Ibu.

Rangkulan pelukanku di balas dengan senyum Ibu. “Kamu ini sedang apasih, Nak? di panggil-panggil dari tadi baru keluar?” Ibu melepaskan pelukanku.

“Ya sudah, ayo kita berangkat. Sudah telat ini.”

“Siap. Bu.” Aku berseru semangat.

***

Sanggupkah aku melihatmu nanti? di saat aku berdiri, kau pasti lebih banyak diam di balik ruang sempit yang gelap dan penuh sesak itu. Aku banyak bicara, sementara kau hanya bisa diam, aku berharap yang terbaik untukmu disana nanti, Rey.

“Ayolah, Dar. Kamu pasti kuat.” Aku terus menyemangati diriku sendiri.

Di balik kebahagian itu aku mendapatkan kesedihan untukku sendiri. Dimana lagi soal kata indah yang bisa aku dengar. Kita berbeda, jarak di antara kita sudah tak lagi dekat.

“Ayo, Nak.” Ibu mempersilahkan aku masuk ke dalam mobil lebih dulu.

“Terima kasih, Bu.” Aku mulai membuka pintu mobil. Entah, kenapa perasaanku saat ini benar-benar kaku. Beban berat rasanya aku harus mengingat kamu kembali. Aku berharap tak ada tetesan air mata yang jatuh kembali nanti.

***

Sekitar satu jam di perjalanan, aku selalu mendengarkan musik, menutup telinga bagian kiriku dengan headset yang tersambung di ipod berwarna putih.

“Kamu nggak apa-apa, Nak?” suara Ibu bertanya, sambil mengacak-acakkan rambutku dengan tangan kirinya “Ibu perhatikan kamu banyak diam, Nak.”

“Nggak apa-apa bagaimana, Bu? aku sehat-sehat aja ko.” Sambil menggerakkan tangan kananku, seperti olahragawan memainkan ototnya. Padahal aku hanya perempuan. Aku tertawa kecil di dalam hati Maaf, Bu. Aku ingin selalu terlihat bahagia dari tatapanmu. Sebenarnya aku nggak sanggup sama tempat tujuan kita ini.

“Kamu ini, gak pernah serius kalau di ajak bicara sama orang tua.” Ibu terus memperhatikan jalan. Seperti biasa, kami berdua selalu terlihat aneh saat di dalam mobil. Aku dengan Ibu jarang banyak berbicara. Ibu selalu terlihat serius memegang kendali mobilnya, sementara aku selalu sibuk dengan musik-musik yang ada di dalam ipod putihku.

Ibu memberiku semangat baru, perpisahannya dengan ayah sama-sama membuatku kecewa saat itu. Aku banyak belajar dari Ibu, seperti aku belajar melepaskan kamu, Rey. Tapi, kekecewaan Ibu jauh lebih besar di bandingkan aku. Ayah pergi dengan orang wanita pilihannya yang baru. Berbeda dengan kamu yang pergi karena penyakitmu.

***

Aku lebih banyak diam, di sekitar tempat yang aku datangi benar-benar luas dan sunyi dari keramaian orang-orang. Aku melihat satu-persatu keluarga itu datang dan membersihkan kotoran-kotoran yang menempel di atas nisan nama-nama itu.

“Kau tahu, disaat-saat seperti ini aku berusaha kuat menyakini perasaanku, aku berusaha tegar mempertahankan keikhlassanku untuk kamu. Rasanya benar-benar seperti mimpi, aku melihatmu dari sebuah nama yang tertulis jelas.”

Tiba-tiba Ibu merangkulku, Ibu memberikan bunga-bunga yang harus segera aku taburi. Satu-persatu bunga-bunga itu berjatuhan mengelilingimu.

“Ibu,” aku mendesah “Kenapa harus seperti ini, Bu? rasanya mustahil untukku membiarkannya tidur sendiri disini.”

“Gak ada yang mustahil, Nak. Kita semua sama, dari tanah dan akan kembali ke tanah.” Ibu mengambil beberapa bunga-bunga yang sementara aku hanya pegang saja.

Entahlah, aku hanya bisa banyak diam. Pikiran-pikiranku sudah kotor dengan kesedihanku. “Bagaimanapun juga aku akan sama seperti kamu, Rey. Kita akan bertemu kembali nanti.” aku menjatuhkan sebagian badanku.

***

Kebahagianku adalah kamu, satu di antara banyak orang yang aku kenal. Aku punya cerita, begitupun dengan kamu yang selalu berbagi cerita untuk kita. Waktu bisa memisahkan kita berdua, tapi cinta dan kenangan kita akan selalu kita jumpai.

Reyhan Saputra

Aku memperhatikan sobekan kertas kecil yang ada di dalam kotak pemberianmu, Rey. Kalimat itu benar-benar menjadi tanda-tanda perpisahan kita, aku dapat membacanya setelah kau pergi, “Jahat” kesalku dalam hati.

Percaya atau tidak, tapi semuanya sudah berlalu. Kamu hilang tak bersuara lagi, rambut cepak, mata sipit dan tubuh tinggi itu hanya tinggal foto yang saat ini aku perhatikan.

Bergegaas, aku pun pergi meninggalkan kamar. Aku berjalan untuk menuju apotek rumah sakit di dekat taman. Dengan jaket hijau, kacamata putih dan syal yang melingkari leherku. Aku masih berpikir keras, apa yang kau katakan benar-benar sempat mengundang pertanyaan yang hebat menampar perasaanku.

Perasaan itu kembali muncul, di mana ketakutanku tiba-tiba hadir.

Tak beberapa lama aku sampai di dalam kamar. Aku melihatmu tersenyum, membuka bibir dengan ruang yang agak mengecil tak berbentuk huruf “O”.

***

Suaramu terdengar lirih di telingaku, di dalam kamar berukuran 3x4 itu, aku masih duduk setia di sebelah kanan tempat tidur pasien rumah sakit, tangan kananmu memeluk erat jari-jari tanganku. Wajah pucat itu sempat menghantui aku, kusam dengan kulit yang terasa dingin aku rasakan, di tambah ac ruangan terasa dingin.

“Dek.” Panggilan sayangmu untukku.

“Iya, mas? Kamu mau minum? sebentar aku ambilkan.” Kedua mataku selalu menuju ke arah matamu. Detak jantungku selalu terdengar tidak karuan. Kamu pasti sembuh mas.

“A... ku.” Ia menghela napamu sejenak “Aku mau kamu terus tersenyum ya, Dek. Suatu saat nanti aku akan pergi dari samping kamu.” Suara itu terdengar dengan nada rendah.

Sambil berbaring melihatku, kamu terus memegang erat tanganku. Kamu terlihat begitu memaksakan untuk berbicara, dengan spontan air minum di dekat kasur tersenggol dan terjatuh membasahi lantai.

“Mas. Istirahat saja, kamu nggak perlu banyak bergerak.” Aku mengusap dada dengan perlahan sambil memberikan kehangatan. Konon katanya, kalau kita sering mengusapkan telapak tangan kita, tubuh yang kita usapkan itu akan terasa hangat.

Kamu terlihat sibuk membuka laci meja, tangan kananmu terlihat meraih kotak kecil yang tersimpan di dalam meja. Aku melihat pita yang menempel mengitari kotak itu, tak berselang beberapa lama kamu memberikan kotak itu untukku.

“Simpan baik-baik ya, Dek. Mungkin, aku cuma bisa beri sebuah kotak kecil ini, maaf.” Aku mendengar suara dengan sedikit mendekatkan telingaku di dekat wajahmu.

Suaranya semakin terdengar mengecil, aku menekan tombol keamanan kamar dengan spontan. Satu demi satu Dokter dan suster mulai memasuki kamar. Aku keluar dengan mempertahankan kotak yang kamu berikan, membuka pintu dan kemudian menutup pintu secara perlahan.

Suara jantungku mulai terdengar tidak karuan, pikiran di kepalaku lari ke sana-sini tidak jelas. Rey!. Aku memanggil nama itu di dalam hati.

Cukup ibu yang ada di dalam kamar itu, tetesan air mataku kembali jatuh dengan tak sengaja. Aku memandangi kotak berpita itu.

“Tuhan, kuatkanlah aku. Berikanlah yang terbaik untuk dirinya, aku ingin punya banyak waktu di antara kita berdua nanti. Masih banyak cerita yang belum aku selesaikan berdua.”

Aku terus memandangimu dari balik jendela kamar. Aku teringat kata-kata itu, kamu berpesan kepadaku “Teruslah tersenyum, biarpun kau sedih dengan ceritamu, berikan senyumanmu itu untuk orang yang kau sayangi.”  Aku dapat tersenyum soal hal itu, bukan seperti yang aku lihat saat ini dengan kedua mataku.

“Seperti inikah perpisahan yang kamu berikan untukku?,” ujarku sesaat “Jahat, pantaskah aku tersenyum, di saat kamu pergi, aku harus memberikan senyumanku untuk perpisahan kita”

Awalnya terasa manis, Rey. Kamu memberikan banyak cerita dan kisah-kisah yang aku anggap adalah kebahagian. Kamu memberikan kehidupan yang nyata dengan hatiku, di antara banyak pria yang melukaiku, kamu memberikan pelajaran yang benar-benar aku rasakan bersama pikiranku”


Anisa Dara Kusuma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar