Senin, 23 Juni 2014

I'am Still Loving You

I'am Still Loving You

Musim kemarau saat ini benar-benar terasa panas aku rasakan. Tak disangka-sangka waktu yang terus berputar sangat cepat berlalu meninggalkan hujan. Apa yang aku dapatkan selama hujan datang? Sementara kemarau sudah datang tanpa harus aku undang.

“Mau teh hangat?” Agha menyodorkan secangkir teh.

Tanpa berpikir panjang, Devi menerima pemberian minuman hangat itu. “Terima kasih.”

“Sama-sama.” Agha kembali memberikan senyumannya. “Sedang menunggu siapa? Boleh aku duduk kembali disebelahmu?”

“Jemputan. Silahkan, nggak ada yang larang kamu untuk duduk, Gha.” Katanya, lalu Devi menggeleng-gelengkan kepalanya ke kiri dan kanan untuk memastikan mobil yang menjemputnya sudah datang.

Ah, kenapa belum datang juga sih. Devi mengambil cangkir teh hangat, mendekatkan ujung cangkir teh itu di tepi bibirnya. Malam ini adalah waktu yang sangat membosankan baginya karena menunggu.

“Sedang terburu-buru?” Tanya Agha. Baginya itu pertanda basa-basi pertemuannya kembali di depan kafe.


“Enggak ko. Tapi, nggak seperti biasanya saja telat seperti ini.”

Secara perlahan-lahan, Devi memberikan senyumannya yang masih tersembunyi dari belakang  bibirnya yang pucat. Walau masih terasa aneh, menurutnya malam itu benar-benar akan terasa sangat jenuh kalau dirinya tetap sendirian di depan kafe. Di luar sendirian dan hujan akan datang, bagaimana rasanya.

“Mungkin terjebak macet di jalan, kamu tahu jalanan di kota tempat kita tinggal seperti apa ramainya. Sama halnya seperti aku menjemput kamu di masa lalu, aku sendiri saja juga sering telat.”

Hujan. Suara petir malam itu mulai terdengar di sela-sela perbincangan mereka berdua.

Setengah jam yang berlalu benar-benar tidak terasa sudah mereka lewati dengan perbincangan yang biasa. Agha merapikan pakaiannya beserta jaket kulit yang dikenakan.

“Pulang bareng aku aja, yuk?” ajak Agha. “Kalau kamu mau dan itu pun tidak terpaksa, kita pulang bareng lagi.”

“Tapi...” Devi diam sejenak untuk berpikir. “Baiklah. Tapi, aku telpon orang rumah terlebih dahulu, Gha.”

“Silahkan, aku tunggu itu.”

Devi mendongak menyaksikan ponselnya, memijat angka-angka yang terdapat di layar ponselnya. Untuk alasan apapun, ia selalu memberikan laporan-laporan kepergiannya kepada orang-orang rumah. Entah apa rasanya, sempat beberapa kali ia merasakan hal yang membosankan karena selalu memberi kabar kepada orang-orang di rumah.

            ***

Tidak aneh jika seorang Ibu mengkhawatirkan anaknya yang sedang pergi keluar dan pulang telat kalau tak ada kabar yang mereka dapatkan. Siapa pun mengerti, bagaimana rasanya menjadi seorang Ibu. Sama halnya seperti remaja-remaja yang saat ini ‘berpacaran’ dengan pasangannya, tanpa ada kabar dari salah satu pasangannya saja sudah saling khawatir dengan sikap-sikap yang aneh dan bahkan berlebihan dalam berpikirnya.

Berdasarkan pengalaman dari cerita-cerita yang sudah-sudah ia dapatkan, Devi pastikan ia adalah orang yang paling pertama memberikan alasan kepergiannya kepada orang tuanya selama ini. Menurutnya, kebahagian yang bisa dia tunjukkan kepada Ibunya saat ini hanyalah senyuman.

Sudah seminggu lebih lamanya pertemuan malam itu masih teringat. Ia belum bisa melupakan kebaikan Agha yang sudah menyuguhkan minuman hangat dan mengantarkannya pulang tidak terlalu larut malam. Namun sayangnya, pertemuan di antara mereka hanya singkat waktu.

Devi tersentak kaget. Saat lamunannya, tiba-tiba ponselnya bergetar dan berbunyi mengalihkan lamunannya malam itu.

 “Sedang apa, Dev? Maaf ya malam itu aku belum sempat untuk mampir ke dalam rumah dan bertemu, Ibu.”

Buatnya, pesan Agha malam itu tidak terlalu penting untuk membahas alasannya untuk tidak mampir ke dalam rumah. Aku paham, Gha. Kamu masih belum bisa menemui Ibu karena apa.
“Iya enggak apa-apa, Gha. Aku paham maksud alasan kamu itu seperti apa. Terima kasih ya sudah mau antarkan aku pulang malam itu.”

Send

Devi menghirup napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Membaca pesan yang Agha kirimkan benar-benar agak membuat dirinya sesak untuk mengetahui alasan yang sebenarnya itu seperti apa.

“Ah... sudahlah, Dev!” Devi menaruh ponselnya kembali. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, sementara pikirannya tak mau mengingat kejadian yang terjadi di masa lalunya saat itu.

Sudah sampai enam menit, Devi masih menunggu balasan dari Agha. Namun, pria itu belum membalas pesannya dan ponselnya masih terlihat kosong dari gambar sebuah surat yang terlihat di layar ponselnya.

Jenuh saat itu kembali datang terhadap Devi. Bahagianya hanya sesaat ketika Agha mengirim pesan, dan kemudian menghilang tanpa suara ponselnya yang di harapkan.

Dengan langkah kecilnya, Devi memasukkan ponselnya kembali di dalam kotak meja dekat tempat tidurnya. Ia menyakinkan dirinya sendiri untuk tidak mengharapkan hal yang benar-benar belum jelas bisa dia dapatkan.

Diary.
Gha, apa kamu sama seperti dulu? Saat kesibukan-kesibukanmu selalu kau kait-kaitkan bersamaku. Aku masih belum bisa melupakanmu, Gha. Peristiwa malam itu aku sudah lupakan, tak ada yang perlu aku sesalkan kembali saat ini.

Maafkan aku, Gha. Malam itu Ibu lihat kita, Ibu datang di belakang kita, saat tangan kananmu memberikan noda merah di pipiku, aku hanya bisa diam dan Ibu memisahkan kita. Kamu dan aku akhirnya berpisah, Ibu melarangku sejenak untuk menemuimu.

Devi Anggina
                  ***

“Selalu saja telat, untuk hal yang selalu aku ingin-inginkan sering saja kulupakan dan terlewatkan. Maafkan aku, Dev.”

Agha hanya bisa tersenyum dari jauh saat membaca balasan pesan yang di sampaikan, Devi. Menurutnya, pesan yang disampaikan Devi sudah memberikan keyakinan dan mengerti dengan alasannya pada saat malam itu. Sudah 30 menit yang lalu Devi mengirim pesan untuknya dan menunggu balasan yang di harapkan dari dirinya.

“Dev, aku ingin kita berdua bertemu kembali. Saat mentari masih bersinar dan rembulan belum datang, aku ingin kita bisa menghabiskan waktu kebersamaan kita seperti yang sudah kita lewati berdua di masa-masa kenangan kita.”

Send.

“Aku berharap kamu mau dan kita bisa tertawa bersama kembali, Dev.”

Beberapa saat Agha mengirimkan pesan untuk Devi, perasaannya resah menunggu respon dari Devi. Ia tahu, keterlambatannya membalas pesan yang Devi kirimkan sudah pasti membuat perempuan itu menjadi kesal.

“Ada apa denganmu, Dev... apa kamu tidak mau bertemu denganku kembali?” ia berpikir aneh dan beranggapan sedikit negatif dengan pemikirannya.

Malam itu Agha semakin terlihat sangat aneh menunggu pesan balasan dari Devi. Laki-laki itu tidak tahu bahwa Devi sudah menaruh ponselnya di dalam laci meja dan nada ponselnya sudah berganti menjadi silent.

“Ahhh... sudahlah, Gha. Ini sudah malam, masih ada hari esok untuk dia membalas pesan yang kamu balas dengan keterlambatanmu seperti biasanya.”

Baik, rasanya sudah cukup, Gha. Ini sudah malam dan bisa jadi perempuan yang kamu harapkan sudah tertidur pulas dengan mimpi indahnya malam ini.

“Maafkan aku, Dev. Kebiasaanku selalu telat membalas pesan-pesan yang kamu berikan, kabiasaanku karena sering tertidur dengan sekilas dan membiarkan pesanmu terlalu lama.
Selamat malam marmut kecilku, semoga esok pagi kamu baca pesan yang aku kirimkan dengan senyum terindahmu. Good nite, mimpi terindahmu adalah hal terindah juga untukku. Derry Agha Pratama.”

             ***

Kesokan paginya Devi sudah dikagetkan dengan dua pesan masuk di ponselnya. Pesan dari Agha membuatnya tersenyum menyapa pagi dengan sinar mentari yang membangunkan dirinya. Ia sudah tak punya alasan untuk menyembunyikan senyumannya pagi itu, saat membaca pesan-pesan dari Agha, secara tidak sengaja senyumannya terlihat setelah membuka ponsel.

Beberapa saat kemudian, Devi langsung memijitkan jari-jarinya di layar ponselnya untuk membalas pesan yang Agha berikan. Saat ini waktunya yang tepat untuk ia bertemu dengan Agha.

“Ayolah senyum, Dev. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan kamu kembali, sama seperti dulu saat kita berdua sering bertemu.”

“Hey, selamat pagi. Sudah bangun dan sarapan belum? Maaf semalam aku sudah tertidur. Kapan kita akan bertemu, Gha? Kabari-kabari aku saja, hari ini aku ada di rumah.”

Send

Ponsel itu telah ia taruh kembali di meja tempat posisi awalnya. Ia merapikan kamarnya sambil bernyanyi-nyayi penuh kegembiraan. Tanpa di sengaja Ibunda Devi berhenti di depan kamar anaknya. Ia memperhatikan gerak-gerik anaknya yang terlihat aneh pagi itu.

“Nah, kamu gembira sekali pagi ini, ada kabar apa nih?”

“Enggak ada apa-apa, Bu. Ini hari libur kan, jadi aku senang bisa jalan-jalan dan santai tanpa tugas-tugas.”

“Tapi, enggak seperti biasanya kamu, Nak.” perempuan itu mendekatkan wajahnya.

Devi berhenti menyanyi yang kemudian hanya tersenyum, di otaknya saat itu hanya tergambar pertemuannya dengan Agha nanti akan benar-benar nyata. Buatnya masa lalu itu terjadi karena kesalahan sesaat.

“Aku enggak apa-apa ko, Bu.” Ia tersenyum. “Coba pegang tangan, Devi, ada yang aneh nggak, Bu.”

“Ya sudah kalau begitu, Nak. Ibu hari ini mau pergi dan kemungkinan pulang sore, kamu hati-hati di rumah ataupun di jalan kalau sedang kumpul sama teman-teman, ya.”

“Oke, Bu. Aku pasti akan baik-baik dan seperti biasa aku akan kabari Ibu kalau aku keluar.”

                   ***

Hubungan kita berdua seperti angin, Dev. Kita berpisah setelah beberapa bulan silam, kamu dan aku hanya beradaptasi lewat sebuah pesan. Dunia yang penuh khayalan dan impian yang tak pernah nyata untuk kita rasakan. Berbeda tempat dan jarak jauh adalah hal sulit bagiku untuk menghindarkan diriku dari rasa rindu terhadapmu.

Pagi itu benar-benar terang dari pada hari-hari sebelumnya, suasana cahaya yang masuk ke dalam kamar Agha benar-benar cerah seperti perasaannya. Hal pertama yang ia lakukan saat itu adalah membuka pesan yang terdapat di ponselnya.

“Aku jemput kamu di depan rumah siang ini bagaimana, Dev? Nanti kita pergi ke tempat-tempat kenangan kita mengukir rasa bersama.”

Send

Agha menunggu pesan balasan dari Devi sambil mendengarkan musik yang sudah banyak terdaftar di dalam ipod-nya.

“Oke, sekalian jemput aku di dalam rumah saja, Gha. Kebetulan pagi ini Ibu sudah pergi dan baru akan pulang sore nanti. Aku tunggu di rumah siang ini. Jangan telat!”

Sesekali Agha menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Tak lama ia terbangun dengan segar dan meninggalkan kamarnya untuk menghirup udara segar di luar. Panasnya pagi hari ini benar-benar bisa membakar kalori di dalam tubuhnya setelah berolahraga kecil di sekitar taman rumah.

“Hey, Kak.”

“Tumben kamu sudah bangun, Gha?”

“Pasti dong, Kak.”

“Ada apa ini, tumben benar kamu pagi-pagi sudah terlihat cerah?”

“Enggak ada apa-apa, Kak.” Ia menyakinkan kakaknya.

Entah mengapa, kakak perempuan Agha sangat penasaran dengan tingkah aneh adiknya yang terlihat sangat semangat di pagi libur kerjanya. Mengingat jadwal keberangkatannya untuk ke luar kota tinggal hitungan hari, wanita itu kembali menegaskan kepada adiknya yang akan meninggalkan rumah untuk beberapa bulan ke depan nanti.

“Gha,” seru wanita itu. “Kamu senang sekali, pasti senang karena mau meninggalkan rumah Kakak untuk sementara nanti, ya?” Wanita itu merunduk lesu.

Apa aku harus cerita terhadap kamu, Kak? Hubungan aku dan Devi sudah kembali semakin membaik. “Enggak ko, Kak. Aku sedih meninggalkan rumah ini dan meninggalkan keluarga Kakak.”

“Lalu, kenapa kamu terlihat bahagia sekali?”

“Devi, Kak.”

“Ada apa dengan Devi, Gha? Ceritakan sama Kakak dong.”

“Siang ini aku ingin bertemu dengannya, akhir-akhir ini kita berdua sudah menyambung hubungan kembali dengan baik, walaupun hanya lewat sebuah pesan.

Mendengar penuturan adiknya, wanita itu memberikan respon yang baik dan positif. Menurutnya, Devi akan tetap menjadi perempuan yang benar-benar selalu ada di dalam hati adiknya. Entah kenapa, selalu ada cahaya titik terang baginya.

“Bagus dong, Gha.” Ujarnya. “Ajak-ajak main kembali ke rumah kita, Gha. Kakak mau berbicara bareng dengan Devi kembali.”

“Iya, Kak.” Diamnya sejenak. “Tapi, Kak.”

“Tapi kenapa, Gha?”

“Aku belum sempat bertemu dengan Ibunya kembali, semenjak malam peristiwa itu. Aku benar-benar khilaf dan menyesal karena sudah menampar pipi Devi dan kejadian malam itu langsung terlihat oleh Ibunya, Kak.”

“Harus berani, Gha. Jangan pernah takut untuk niat baik yang akan kita lakukan. Waktu itu juga sudah cukup larut lama, aku yakin Devi juga sudah menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi di malam itu.” Wanita itu menepuk pundak belakang adiknya.

Pagi ini, Agha menyadari apa yang sudah dikatakan kakaknya di latar rumahnya ada benarnya juga. Jadi laki-laki itu harus berani dan tanggung jawab atas segala sesuatu yang sudah terjadi.

Mentari mulai terlihat semakin meninggi dengan suhu udaranya yang terasa semakin panas. Siang ini, Agha sudah terlihat rapih dengan pakaian kemeja lengan panjangnya, sepatu van’s hitam dan celana levis dengan warna hitam kesukaannya.

“Aku siap, Dev. Semoga niat baikku hari ini berjalan lancar dan sesuai harapanku.”

Agha hanya berharap bisa bertemu kembali dengan Devi dan Ibunya dan meminta maaf dengan kesalahannya yang tak sengaja membuat noda merah di pipi anaknya, Devi.

           ***

Sore itu Agha berjalan bersama di pesisir pantai sambil memegang erat tangan Devi. Seperti biasanya, mereka berdua duduk di bebatuan yang menyerupai kursi. Melihat senja yang akan hilang dan tenggelam di telan lautan. Hembusan-hembusan angin sering sesekali menghampiri dan mengusik kehangatan mereka.

Di bawah pepohonan kelapa yang berbaris rapi kini terlihat sunyi dari orang-orang yang duduk bersinggah, tak ada satu pengunjung yang memilih untuk duduk di sana karena cuaca memang sudah mulai tidak bersahabat. Agha teringat pesan kakaknya yang mengatakan “Cowok harus siap dan berani bertanggung jawab, berikan hal yang terindah untuk wanita.”

“Dev...,” sapanya. “Ada yang harus aku katakan padamu.” Ia menarik kedua tangan perempuan itu dengan perlahan.

“Ada apa, Gha? Bukankah dari tadi kita sudah berbicara banyak.” Senyumnya dengan membalas erat cengkraman tangan laki-laki tersebut.

“Besok aku sudah harus meninggakan Indonesia, Dev.” Ia menarik napasnya sejenak. “Untuk beberapa bulan ke depan aku bertugas di sana dan itu wajib untuk aku jalankan.”

“Gha...,” ia menatap mesra kedua mata laki-laki itu. “Kita baru kembali bertemu akhir-akhir ini dan di tempat yang indah ini kita dapat mengulang kebahagian masa lalu kita. Apa kamu tega meninggalkanku kembali, Gha? Sampai kapan lagi aku harus menahan rindu untukmu.” Secara perlahan-lahan perempuan itu meneteskan air matanya, pipi halusnya yang bersih berubah singkat menjadi lembab.

Sakit, Gha. Rinduku harus kau bayar dengan pertemuan kita yang singkat dengan perpisahanmu sampai lama kembali.

Kedua tangan Agha telihat cepat mencengkram kedua bahu perempuan itu. “Maafkan aku, Dev. Tapi, perpisahan kita ini bukan untuk yang terakhir bagi kita,” ia mengusap-usap jari-jemarinya di sekitar mata Devi yang lembab dengan air mata. “Aku hanya pergi untuk sementara. Setelah itu kita akan bertemu kembali di kota ini, di tempat kita saling bercanda, tertawa dan berbagi bahagia bersama.”

Devi tersentak kaget. Ia mulai merasa jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Pertemuannya dengan Agha hanya bertahan sesaat, jauh dari harapan yang selalu dia inginkan selama ini.

“Gha. sebenarnya ada yang mau aku mau bilang sama kamu juga.”

“Iya, ada apa, Dev?”

“Soal Ibu, Gha.”

“Ada apa dengan Ibu,” ia merundukkan kepalanya. “Pasti Ibu masih marah besar dengan aku, ya.”

“Bukan, kamu salah, Gha,” ia mengangkat wajah laki-laki itu dengan kedua tangannya yang menopang. “Ibu mau kamu ke rumah, ia ingin lihat kamu datang,” ia kembali menghela napas. “Akhir-akhir ini Ibu sudah tahu kalau kita sudah sering bertemu, dari malam setelah acara kita bertemu di kafe dan kemudian kamu yang mengantarkan aku.”

“Iya, Dev. Aku sudah berniat akan mengantarkan kamu pulang nanti sampai rumah dan bertemu Ibu kembali.” Senyumnya.

Cuaca malam itu semakin tidak bersahabat, suara bising petir yang terdengar mulai mengusik keharmonisan mereka. Perjalanan mereka untuk pulang menuju rumah masih membutuhkan waktu yang cukup lama.

“Cuacanya sudah tidak bersahabat, kita pulang saja ya, Dev.” Ajaknya.

“Baik, Gha. Kebetulan Ibu juga sudah di rumah dan menunggu kita.” Senyumnya.

Angin semakin memberikan kesejukannya, semakin lama berhembus akan terasa sangat dingin bagi tubuh Devi. Ia terlihat melipat kedua tangannya semakin memeluk dadanya, Agha yang memperhatikannya sengaja memberikan jaket kulit yang di kenakannya untuk Devi.

     ***

Malam itu sama seperti malam sebelumnya, saat pertemuan mereka kembali di dalam kafe. Devi pulang di antarkan Agha, suasana langit yang terlihat mendung sama seperti malam saat ini ia kembali bertemu. Ada perbedaan yang membuat senang Devi di malam ini, perasaannya bahagia saat Agha akan mengantarkannya kembali sampai di dalam rumah dan bertemu dengan Ibu.

“Kamu berbeda, Gha. Saat ini kamu benar-benar terlihat seperti orang yang sudah berhasil tumbuh dewasa. Terima kasih, Gha. Aku bangga dan tidak menyesal sudah mempertahankan hatiku hanya untukmu.”

Setelah tiga puluh menit kemudian, mereka sampai di depan rumah dan Devi mempersilahkan Agha untuk masuk ke dalam. “Sebentar ya, aku panggilkan Ibu, Gha. Kamu duduk di sofa saja, mau minum apa?”

“Apa saja, aku selalu terima minuman buatan kamu.”

Devi masuk ke dalam dapur dan memanggilkan Ibunya terlebih dahulu di kamar. “Buuu,” panggilnya “Di depan sudah ada Agha menunggu.”

“Iya, Nak. Kamu baru pulang?”

“Iya, Bu.” Ia memeluk Ibunya erat-erat.

Ketika Devi sedang membuatkan minum di dapur, Agha yang sedang duduk sendirian di sofa sudah di temani oleh Ibu Devi. Kedekatan di antara mereka terlihat sangat harmonis, sepertinya Agha masih belum percaya dengan sikap Ibunda Devi yang sangat memperlakukannya seperti anaknya, seperti sudah melupakan kesalahannya terhadap anaknya di waktu silam.

“Oh iya, Bu. Maafkan aku.” Ia memberikan kedua tangannya. “Kesalahanku malam itu benar-benar aku sesalkan dan aku khilaf.”

“Enggak ada yang perlu di permasalahkan, Nak.” Ia melepaskan tangan Agha. “Buat Ibu saat itu, agar kalian dapat berpikir lebih matang dan benar-benar memikirkan masa depan terlebih dahulu. Ibu sudah mendengar semua alasannya dari, Devi.” Senyumnya.

“Sebelumnya aku mau minta maaf kembali, Buu.”

“Maaf soal apa, Nak? Ibu nggak terlalu memikirkan soal kejadian kalian di malam itu lagi.”

“Untuk besok ini aku akan pergi meninggalkan Indonesia, Bu. Aku mohon maaf kalau harus meninggalkan Devi kembali,” sesalnya. “Tapi, aku sudah siapkan sesuatu pengikat di antara kita, Bu. Aku ingin menjaga hubungan kita berdua sampai aku balik kembali di Indonesia.”

Agha terlihat sibuk memainkan tangannya yang masuk ke dalam kantong, sesaat kemudian terlihat kotak kecil yang terbungkus kado dengan bentuk love. Terlihat tangannya gemetar dan mulutnya sesekali gugup untuk memberikan hadiah kecil untuk Devi di depan Ibunya.

“Bu, aku mau minta izin. Aku mau kita selalu dekat dengan lambang cinta yang selalu melingkar di jari manis, Devi.”

Suasana di dalam rumah berubah menjadi serius. Ibunda Devi hanya tersenyum melihatnya. Malam itu Devi hanya bisa diam, ia tidak menyangka dengan kegiatannya satu hari ini selalu di berikan kejutan-kejutan yang benar-benar membuat dirinya kaget.

“Terserah, Devi,” Ibunda Devi menepuk pundaknya. “Ibu hanya bisa mendukung, kalau anak Ibu bahagia silahkan. Bagaimana dengan kamu, Dev?”

Devi hanya bisa mengangguk-angguk pelan, menyimpulkan kalau pernyataannya setuju sengan tawaran yang Agha berikan. “Terima kasih, Gha. Kamu selalu memberikan kejutan yang tidak pernah aku dapatkan dari orang lain selain Ibu.”

     ***

Keesokan harinya. Di bandara, Devi sudah terlihat mengantarkan Agha untuk pergi meninggalkan Indonesia. Sekitar tiga puluh menit lagi pesawat yang akan Agha gunakan akan berangkat meninggalkan Indonesia.

Sejak peristiwa malam itu yang memisahkan kita, kamu kembali memberikan perpisahan untuk aku, Gha. Berbeda dengan kenyataannya, semalam kamu benar-benar memberikan kepercayaan untuk Aku dan Ibu di rumah.

“Jaga diri kamu baik-baik ya, Dev. Nanti setelah tiba sampai di tempat tujuaan aku akan kabari kamu kembali.”

“Hati-hati untuk kamu juga, jangan lupa tetap jaga kesehatan kamu, Gha. Cuaca di sana berbeda jauh dengan cuaca di Indonesia.”

Waktu menunjukkan sudah tinggal sepuluh menit keberangkatan. Suara pusat informasi sudah terdengar memberikan berita keberangkatan pesawat yang akan lepas landas selanjutnya.

Pelukan Agha yang merangkul erat Devi hanya singkat berasa untuknya. Buatnya, pelukan dari Agha saat ini hanya sebatas jabat tangan yang menempel dengan tangan orang lain dan kemudian lepas dengan cepat.

“Aku akan selalu menunggumu di sini, di dalam rumah bersama Ibu dan Kakakmu di Indonesia, Gha. Perpisahan kita saat ini akan berakhir indah di dalam rumah yang sudah kita pikirkan berdua dengan sangat matang.

Selamat jalan dan hati-hati di sana, Sayang. Jangan lupa beri kabarku saat kamu tiba di sana. Bahagiaku adalah kamu, begitu juga cinta di dalam hatiku, kamu yang pertama dan terakhir untukku. Walau kita sempat terpisah dengan jarak di masa lalu, tapi kita bertemu dengan keindahan yang akan kita ubah di masa depan kita nanti.”

    ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar