I'am Still Loving You
Musim kemarau saat ini benar-benar terasa panas aku
rasakan. Tak disangka-sangka waktu yang terus berputar sangat cepat berlalu
meninggalkan hujan. Apa yang aku dapatkan selama hujan datang? Sementara
kemarau sudah datang tanpa harus aku undang.
“Mau teh hangat?” Agha menyodorkan secangkir teh.
Tanpa berpikir panjang, Devi menerima pemberian
minuman hangat itu. “Terima kasih.”
“Sama-sama.” Agha kembali memberikan senyumannya. “Sedang
menunggu siapa? Boleh aku duduk kembali disebelahmu?”
“Jemputan.
Silahkan, nggak ada yang larang kamu untuk duduk, Gha.” Katanya, lalu Devi menggeleng-gelengkan
kepalanya ke kiri dan kanan untuk memastikan
mobil yang menjemputnya sudah datang.
Ah, kenapa belum datang juga sih. Devi mengambil cangkir teh hangat,
mendekatkan ujung cangkir teh itu di tepi bibirnya. Malam ini adalah waktu yang
sangat membosankan baginya karena menunggu.
“Sedang
terburu-buru?” Tanya Agha. Baginya itu pertanda basa-basi pertemuannya kembali
di depan kafe.
“Enggak
ko. Tapi, nggak seperti biasanya saja telat seperti ini.”
Secara
perlahan-lahan, Devi memberikan senyumannya yang masih tersembunyi dari
belakang bibirnya yang pucat. Walau
masih terasa aneh, menurutnya malam itu benar-benar akan terasa sangat jenuh
kalau dirinya tetap sendirian di depan kafe. Di luar sendirian dan hujan akan
datang, bagaimana rasanya.
“Mungkin
terjebak macet di jalan, kamu tahu jalanan di kota tempat kita tinggal seperti apa
ramainya. Sama halnya seperti aku menjemput kamu di masa lalu, aku sendiri saja
juga sering telat.”
Hujan.
Suara petir malam itu mulai terdengar di sela-sela perbincangan mereka berdua.
Setengah
jam yang berlalu benar-benar tidak terasa sudah mereka lewati dengan
perbincangan yang biasa. Agha merapikan pakaiannya beserta jaket kulit yang dikenakan.
“Pulang
bareng aku aja, yuk?” ajak Agha. “Kalau kamu mau dan itu pun tidak terpaksa,
kita pulang bareng lagi.”
“Tapi...” Devi diam sejenak untuk berpikir. “Baiklah. Tapi,
aku telpon orang rumah terlebih dahulu, Gha.”
“Silahkan,
aku tunggu itu.”
Devi
mendongak menyaksikan ponselnya, memijat angka-angka yang terdapat di layar
ponselnya. Untuk alasan apapun, ia selalu memberikan laporan-laporan
kepergiannya kepada orang-orang rumah. Entah apa rasanya, sempat beberapa kali
ia merasakan hal yang membosankan karena selalu memberi kabar kepada
orang-orang di rumah.
***
Tidak
aneh jika seorang Ibu mengkhawatirkan anaknya yang sedang pergi keluar dan
pulang telat kalau tak ada kabar yang mereka dapatkan. Siapa pun mengerti,
bagaimana rasanya menjadi seorang Ibu. Sama halnya seperti remaja-remaja yang
saat ini ‘berpacaran’ dengan pasangannya, tanpa ada kabar dari salah satu
pasangannya saja sudah saling khawatir dengan sikap-sikap yang aneh dan bahkan
berlebihan dalam berpikirnya.
Berdasarkan
pengalaman dari cerita-cerita yang sudah-sudah ia dapatkan, Devi pastikan ia
adalah orang yang paling pertama memberikan alasan kepergiannya kepada orang
tuanya selama ini. Menurutnya, kebahagian yang bisa dia tunjukkan kepada Ibunya
saat ini hanyalah senyuman.
Sudah
seminggu lebih lamanya pertemuan malam itu masih teringat. Ia belum bisa
melupakan kebaikan Agha yang sudah menyuguhkan minuman hangat dan
mengantarkannya pulang tidak terlalu larut malam. Namun sayangnya, pertemuan di
antara mereka hanya singkat waktu.
Devi
tersentak kaget. Saat lamunannya, tiba-tiba ponselnya bergetar dan berbunyi
mengalihkan lamunannya malam itu.
“Sedang apa, Dev? Maaf ya malam itu aku belum
sempat untuk mampir ke dalam rumah dan bertemu, Ibu.”
Buatnya,
pesan Agha malam itu tidak terlalu penting untuk membahas alasannya untuk tidak
mampir ke dalam rumah. Aku paham, Gha.
Kamu masih belum bisa menemui Ibu karena apa.
“Iya enggak apa-apa, Gha. Aku paham maksud
alasan kamu itu seperti apa. Terima kasih ya sudah mau antarkan aku pulang
malam itu.”
Send
Devi
menghirup napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Membaca
pesan yang Agha kirimkan benar-benar agak membuat dirinya sesak untuk
mengetahui alasan yang sebenarnya itu seperti apa.
“Ah...
sudahlah, Dev!” Devi menaruh ponselnya kembali. Ia menggeleng-gelengkan
kepalanya, sementara pikirannya tak mau mengingat kejadian yang terjadi di masa
lalunya saat itu.
Sudah
sampai enam menit, Devi masih menunggu balasan dari Agha. Namun, pria itu belum
membalas pesannya dan ponselnya masih terlihat kosong dari gambar sebuah surat
yang terlihat di layar ponselnya.
Jenuh
saat itu kembali datang terhadap Devi. Bahagianya hanya sesaat ketika Agha
mengirim pesan, dan kemudian menghilang tanpa suara ponselnya yang di harapkan.
Dengan
langkah kecilnya, Devi memasukkan ponselnya kembali di dalam kotak meja dekat tempat
tidurnya. Ia menyakinkan dirinya sendiri untuk tidak mengharapkan hal yang
benar-benar belum jelas bisa dia dapatkan.
Diary.
Gha, apa kamu sama seperti dulu? Saat
kesibukan-kesibukanmu selalu kau kait-kaitkan bersamaku. Aku masih belum bisa melupakanmu,
Gha. Peristiwa malam itu aku sudah lupakan, tak ada yang perlu aku sesalkan
kembali saat ini.
Maafkan aku, Gha. Malam itu Ibu lihat kita, Ibu
datang di belakang kita, saat tangan kananmu memberikan noda merah di pipiku,
aku hanya bisa diam dan Ibu memisahkan kita. Kamu dan aku akhirnya berpisah,
Ibu melarangku sejenak untuk menemuimu.
Devi
Anggina
***
“Selalu saja telat, untuk hal yang selalu aku
ingin-inginkan sering saja kulupakan dan terlewatkan. Maafkan aku, Dev.”
Agha
hanya bisa tersenyum dari jauh saat membaca balasan pesan yang di sampaikan,
Devi. Menurutnya, pesan yang disampaikan Devi sudah memberikan keyakinan dan
mengerti dengan alasannya pada saat malam itu. Sudah 30 menit yang lalu Devi
mengirim pesan untuknya dan menunggu balasan yang di harapkan dari dirinya.
“Dev, aku ingin kita berdua bertemu kembali.
Saat mentari masih bersinar dan rembulan belum datang, aku ingin kita bisa
menghabiskan waktu kebersamaan kita seperti yang sudah kita lewati berdua di
masa-masa kenangan kita.”
Send.
“Aku
berharap kamu mau dan kita bisa tertawa bersama kembali, Dev.”
Beberapa
saat Agha mengirimkan pesan untuk Devi, perasaannya resah menunggu respon dari
Devi. Ia tahu, keterlambatannya membalas pesan yang Devi kirimkan sudah pasti
membuat perempuan itu menjadi kesal.
“Ada
apa denganmu, Dev... apa kamu tidak mau bertemu denganku kembali?” ia berpikir
aneh dan beranggapan sedikit negatif dengan pemikirannya.
Malam
itu Agha semakin terlihat sangat aneh menunggu pesan balasan dari Devi.
Laki-laki itu tidak tahu bahwa Devi sudah menaruh ponselnya di dalam laci meja
dan nada ponselnya sudah berganti menjadi silent.
“Ahhh...
sudahlah, Gha. Ini sudah malam, masih ada hari esok untuk dia membalas pesan
yang kamu balas dengan keterlambatanmu seperti biasanya.”
Baik,
rasanya sudah cukup, Gha. Ini sudah malam dan bisa jadi perempuan yang kamu
harapkan sudah tertidur pulas dengan mimpi indahnya malam ini.
“Maafkan aku, Dev. Kebiasaanku selalu telat
membalas pesan-pesan yang kamu berikan, kabiasaanku karena sering tertidur
dengan sekilas dan membiarkan pesanmu terlalu lama.
Selamat malam marmut kecilku, semoga esok pagi
kamu baca pesan yang aku kirimkan dengan senyum terindahmu. Good nite, mimpi
terindahmu adalah hal terindah juga untukku. Derry Agha Pratama.”
***
Kesokan
paginya Devi sudah dikagetkan dengan dua pesan masuk di ponselnya. Pesan dari
Agha membuatnya tersenyum menyapa pagi dengan sinar mentari yang membangunkan
dirinya. Ia sudah tak punya alasan untuk menyembunyikan senyumannya pagi itu,
saat membaca pesan-pesan dari Agha, secara tidak sengaja senyumannya terlihat
setelah membuka ponsel.
Beberapa
saat kemudian, Devi langsung memijitkan jari-jarinya di layar ponselnya untuk
membalas pesan yang Agha berikan. Saat ini waktunya yang tepat untuk ia bertemu
dengan Agha.
“Ayolah
senyum, Dev. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan kamu kembali, sama seperti
dulu saat kita berdua sering bertemu.”
“Hey, selamat pagi. Sudah bangun dan sarapan
belum? Maaf semalam aku sudah tertidur. Kapan kita akan bertemu, Gha?
Kabari-kabari aku saja, hari ini aku ada di rumah.”
Send
Ponsel
itu telah ia taruh kembali di meja tempat posisi awalnya. Ia merapikan kamarnya
sambil bernyanyi-nyayi penuh kegembiraan. Tanpa di sengaja Ibunda Devi berhenti
di depan kamar anaknya. Ia memperhatikan gerak-gerik anaknya yang terlihat aneh
pagi itu.
“Nah,
kamu gembira sekali pagi ini, ada kabar apa nih?”
“Enggak
ada apa-apa, Bu. Ini hari libur kan, jadi aku senang bisa jalan-jalan dan
santai tanpa tugas-tugas.”
“Tapi,
enggak seperti biasanya kamu, Nak.” perempuan itu mendekatkan wajahnya.
Devi
berhenti menyanyi yang kemudian hanya tersenyum, di otaknya saat itu hanya
tergambar pertemuannya dengan Agha nanti akan benar-benar nyata. Buatnya masa
lalu itu terjadi karena kesalahan sesaat.
“Aku
enggak apa-apa ko, Bu.” Ia tersenyum. “Coba pegang tangan, Devi, ada yang aneh
nggak, Bu.”
“Ya
sudah kalau begitu, Nak. Ibu hari ini mau pergi dan kemungkinan pulang sore,
kamu hati-hati di rumah ataupun di jalan kalau sedang kumpul sama teman-teman,
ya.”
“Oke,
Bu. Aku pasti akan baik-baik dan seperti biasa aku akan kabari Ibu kalau aku
keluar.”
***
Hubungan kita berdua seperti angin, Dev. Kita
berpisah setelah beberapa bulan silam, kamu dan aku hanya beradaptasi lewat
sebuah pesan. Dunia yang penuh khayalan dan impian yang tak pernah nyata untuk
kita rasakan. Berbeda tempat dan jarak jauh adalah hal sulit bagiku untuk
menghindarkan diriku dari rasa rindu terhadapmu.
Pagi
itu benar-benar terang dari pada hari-hari sebelumnya, suasana cahaya yang
masuk ke dalam kamar Agha benar-benar cerah seperti perasaannya. Hal pertama
yang ia lakukan saat itu adalah membuka pesan yang terdapat di ponselnya.
“Aku jemput kamu di depan rumah siang ini
bagaimana, Dev? Nanti kita pergi ke tempat-tempat kenangan kita mengukir rasa
bersama.”
Send
Agha
menunggu pesan balasan dari Devi sambil mendengarkan musik yang sudah banyak
terdaftar di dalam ipod-nya.
“Oke, sekalian jemput aku di dalam rumah saja,
Gha. Kebetulan pagi ini Ibu sudah pergi dan baru akan pulang sore nanti. Aku
tunggu di rumah siang ini. Jangan telat!”
Sesekali
Agha menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Tak lama ia terbangun dengan
segar dan meninggalkan kamarnya untuk menghirup udara segar di luar. Panasnya
pagi hari ini benar-benar bisa membakar kalori di dalam tubuhnya setelah
berolahraga kecil di sekitar taman rumah.
“Hey,
Kak.”
“Tumben
kamu sudah bangun, Gha?”
“Pasti
dong, Kak.”
“Ada
apa ini, tumben benar kamu pagi-pagi sudah terlihat cerah?”
“Enggak
ada apa-apa, Kak.” Ia menyakinkan kakaknya.
Entah
mengapa, kakak perempuan Agha sangat penasaran dengan tingkah aneh adiknya yang
terlihat sangat semangat di pagi libur kerjanya. Mengingat jadwal
keberangkatannya untuk ke luar kota tinggal hitungan hari, wanita itu kembali
menegaskan kepada adiknya yang akan meninggalkan rumah untuk beberapa bulan ke
depan nanti.
“Gha,”
seru wanita itu. “Kamu senang sekali, pasti senang karena mau meninggalkan
rumah Kakak untuk sementara nanti, ya?” Wanita itu merunduk lesu.
Apa aku harus cerita terhadap kamu, Kak?
Hubungan aku dan Devi sudah kembali semakin membaik. “Enggak ko, Kak. Aku sedih meninggalkan rumah
ini dan meninggalkan keluarga Kakak.”
“Lalu,
kenapa kamu terlihat bahagia sekali?”
“Devi,
Kak.”
“Ada
apa dengan Devi, Gha? Ceritakan sama Kakak dong.”
“Siang
ini aku ingin bertemu dengannya, akhir-akhir ini kita berdua sudah menyambung
hubungan kembali dengan baik, walaupun hanya lewat sebuah pesan.”
Mendengar
penuturan adiknya, wanita itu memberikan respon yang baik dan positif.
Menurutnya, Devi akan tetap menjadi perempuan yang benar-benar selalu ada di
dalam hati adiknya. Entah kenapa, selalu ada cahaya titik terang baginya.
“Bagus
dong, Gha.” Ujarnya. “Ajak-ajak main kembali ke rumah kita, Gha. Kakak mau
berbicara bareng dengan Devi kembali.”
“Iya,
Kak.” Diamnya sejenak. “Tapi, Kak.”
“Tapi
kenapa, Gha?”
“Aku
belum sempat bertemu dengan Ibunya kembali, semenjak malam peristiwa itu. Aku
benar-benar khilaf dan menyesal karena sudah menampar pipi Devi dan kejadian
malam itu langsung terlihat oleh Ibunya, Kak.”
“Harus
berani, Gha. Jangan pernah takut untuk niat baik yang akan kita lakukan. Waktu
itu juga sudah cukup larut lama, aku yakin Devi juga sudah menjelaskan hal yang
sebenarnya terjadi di malam itu.” Wanita itu menepuk pundak belakang adiknya.
Pagi
ini, Agha menyadari apa yang sudah dikatakan kakaknya di latar rumahnya ada
benarnya juga. Jadi laki-laki itu harus berani dan tanggung jawab atas segala
sesuatu yang sudah terjadi.
Mentari
mulai terlihat semakin meninggi dengan suhu udaranya yang terasa semakin panas.
Siang ini, Agha sudah terlihat rapih dengan pakaian kemeja lengan panjangnya,
sepatu van’s hitam dan celana levis dengan warna hitam kesukaannya.
“Aku
siap, Dev. Semoga niat baikku hari ini berjalan lancar dan sesuai harapanku.”
Agha
hanya berharap bisa bertemu kembali dengan Devi dan Ibunya dan meminta maaf
dengan kesalahannya yang tak sengaja membuat noda merah di pipi anaknya, Devi.
***
Sore
itu Agha berjalan bersama di pesisir pantai sambil memegang erat tangan Devi. Seperti
biasanya, mereka berdua duduk di bebatuan yang menyerupai kursi. Melihat senja
yang akan hilang dan tenggelam di telan lautan. Hembusan-hembusan angin sering
sesekali menghampiri dan mengusik kehangatan mereka.
Di
bawah pepohonan kelapa yang berbaris rapi kini terlihat sunyi dari orang-orang
yang duduk bersinggah, tak ada satu pengunjung yang memilih untuk duduk di sana
karena cuaca memang sudah mulai tidak bersahabat. Agha teringat pesan kakaknya
yang mengatakan “Cowok harus siap dan
berani bertanggung jawab, berikan hal yang terindah untuk wanita.”
“Dev...,”
sapanya. “Ada yang harus aku katakan padamu.” Ia menarik kedua tangan perempuan
itu dengan perlahan.
“Ada
apa, Gha? Bukankah dari tadi kita sudah berbicara banyak.” Senyumnya dengan
membalas erat cengkraman tangan laki-laki tersebut.
“Besok
aku sudah harus meninggakan Indonesia, Dev.” Ia menarik napasnya sejenak.
“Untuk beberapa bulan ke depan aku bertugas di sana dan itu wajib untuk aku
jalankan.”
“Gha...,”
ia menatap mesra kedua mata laki-laki itu. “Kita baru kembali bertemu akhir-akhir
ini dan di tempat yang indah ini kita dapat mengulang kebahagian masa lalu
kita. Apa kamu tega meninggalkanku kembali, Gha? Sampai kapan lagi aku harus
menahan rindu untukmu.” Secara perlahan-lahan perempuan itu meneteskan air
matanya, pipi halusnya yang bersih berubah singkat menjadi lembab.
Sakit, Gha. Rinduku harus kau bayar dengan
pertemuan kita yang singkat dengan perpisahanmu sampai lama kembali.
Kedua
tangan Agha telihat cepat mencengkram kedua bahu perempuan itu. “Maafkan aku,
Dev. Tapi, perpisahan kita ini bukan untuk yang terakhir bagi kita,” ia
mengusap-usap jari-jemarinya di sekitar mata Devi yang lembab dengan air mata.
“Aku hanya pergi untuk sementara. Setelah itu kita akan bertemu kembali di kota
ini, di tempat kita saling bercanda, tertawa dan berbagi bahagia bersama.”
Devi
tersentak kaget. Ia mulai merasa jantungnya berdetak lebih kencang dari
biasanya. Pertemuannya dengan Agha hanya bertahan sesaat, jauh dari harapan
yang selalu dia inginkan selama ini.
“Gha.
sebenarnya ada yang mau aku mau bilang sama kamu juga.”
“Iya,
ada apa, Dev?”
“Soal
Ibu, Gha.”
“Ada
apa dengan Ibu,” ia merundukkan kepalanya. “Pasti Ibu masih marah besar dengan
aku, ya.”
“Bukan,
kamu salah, Gha,” ia mengangkat wajah laki-laki itu dengan kedua tangannya yang
menopang. “Ibu mau kamu ke rumah, ia ingin lihat kamu datang,” ia kembali
menghela napas. “Akhir-akhir ini Ibu sudah tahu kalau kita sudah sering
bertemu, dari malam setelah acara kita bertemu di kafe dan kemudian kamu yang
mengantarkan aku.”
“Iya,
Dev. Aku sudah berniat akan mengantarkan kamu pulang nanti sampai rumah dan
bertemu Ibu kembali.” Senyumnya.
Cuaca
malam itu semakin tidak bersahabat, suara bising petir yang terdengar mulai
mengusik keharmonisan mereka. Perjalanan mereka untuk pulang menuju rumah masih
membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Cuacanya
sudah tidak bersahabat, kita pulang saja ya, Dev.” Ajaknya.
“Baik,
Gha. Kebetulan Ibu juga sudah di rumah dan menunggu kita.” Senyumnya.
Angin
semakin memberikan kesejukannya, semakin lama berhembus akan terasa sangat
dingin bagi tubuh Devi. Ia terlihat melipat kedua tangannya semakin memeluk
dadanya, Agha yang memperhatikannya sengaja memberikan jaket kulit yang di
kenakannya untuk Devi.
***
Malam
itu sama seperti malam sebelumnya, saat pertemuan mereka kembali di dalam kafe.
Devi pulang di antarkan Agha, suasana langit yang terlihat mendung sama seperti
malam saat ini ia kembali bertemu. Ada perbedaan yang membuat senang Devi di
malam ini, perasaannya bahagia saat Agha akan mengantarkannya kembali sampai di
dalam rumah dan bertemu dengan Ibu.
“Kamu berbeda, Gha. Saat ini kamu benar-benar
terlihat seperti orang yang sudah berhasil tumbuh dewasa. Terima kasih, Gha.
Aku bangga dan tidak menyesal sudah mempertahankan hatiku hanya untukmu.”
Setelah
tiga puluh menit kemudian, mereka sampai di depan rumah dan Devi mempersilahkan
Agha untuk masuk ke dalam. “Sebentar ya, aku panggilkan Ibu, Gha. Kamu duduk di
sofa saja, mau minum apa?”
“Apa
saja, aku selalu terima minuman buatan kamu.”
Devi
masuk ke dalam dapur dan memanggilkan Ibunya terlebih dahulu di kamar. “Buuu,”
panggilnya “Di depan sudah ada Agha menunggu.”
“Iya,
Nak. Kamu baru pulang?”
“Iya,
Bu.” Ia memeluk Ibunya erat-erat.
Ketika
Devi sedang membuatkan minum di dapur, Agha yang sedang duduk sendirian di sofa
sudah di temani oleh Ibu Devi. Kedekatan di antara mereka terlihat sangat
harmonis, sepertinya Agha masih belum percaya dengan sikap Ibunda Devi yang
sangat memperlakukannya seperti anaknya, seperti sudah melupakan kesalahannya
terhadap anaknya di waktu silam.
“Oh
iya, Bu. Maafkan aku.” Ia memberikan kedua tangannya. “Kesalahanku malam itu
benar-benar aku sesalkan dan aku khilaf.”
“Enggak
ada yang perlu di permasalahkan, Nak.” Ia melepaskan tangan Agha. “Buat Ibu
saat itu, agar kalian dapat berpikir lebih matang dan benar-benar memikirkan
masa depan terlebih dahulu. Ibu sudah mendengar semua alasannya dari, Devi.”
Senyumnya.
“Sebelumnya
aku mau minta maaf kembali, Buu.”
“Maaf
soal apa, Nak? Ibu nggak terlalu memikirkan soal kejadian kalian di malam itu
lagi.”
“Untuk
besok ini aku akan pergi meninggalkan Indonesia, Bu. Aku mohon maaf kalau harus
meninggalkan Devi kembali,” sesalnya. “Tapi, aku sudah siapkan sesuatu pengikat
di antara kita, Bu. Aku ingin menjaga hubungan kita berdua sampai aku balik
kembali di Indonesia.”
Agha
terlihat sibuk memainkan tangannya yang masuk ke dalam kantong, sesaat kemudian
terlihat kotak kecil yang terbungkus kado dengan bentuk love. Terlihat tangannya gemetar dan mulutnya sesekali gugup untuk
memberikan hadiah kecil untuk Devi di depan Ibunya.
“Bu,
aku mau minta izin. Aku mau kita selalu dekat dengan lambang cinta yang selalu
melingkar di jari manis, Devi.”
Suasana
di dalam rumah berubah menjadi serius. Ibunda Devi hanya tersenyum melihatnya.
Malam itu Devi hanya bisa diam, ia tidak menyangka dengan kegiatannya satu hari
ini selalu di berikan kejutan-kejutan yang benar-benar membuat dirinya kaget.
“Terserah,
Devi,” Ibunda Devi menepuk pundaknya. “Ibu hanya bisa mendukung, kalau anak Ibu
bahagia silahkan. Bagaimana dengan kamu, Dev?”
Devi
hanya bisa mengangguk-angguk pelan, menyimpulkan kalau pernyataannya setuju
sengan tawaran yang Agha berikan. “Terima
kasih, Gha. Kamu selalu memberikan kejutan yang tidak pernah aku dapatkan dari
orang lain selain Ibu.”
***
Keesokan
harinya. Di bandara, Devi sudah terlihat mengantarkan Agha untuk pergi
meninggalkan Indonesia. Sekitar tiga puluh menit lagi pesawat yang akan Agha
gunakan akan berangkat meninggalkan Indonesia.
Sejak peristiwa malam itu yang memisahkan kita,
kamu kembali memberikan perpisahan untuk aku, Gha. Berbeda dengan kenyataannya,
semalam kamu benar-benar memberikan kepercayaan untuk Aku dan Ibu di rumah.
“Jaga
diri kamu baik-baik ya, Dev. Nanti setelah tiba sampai di tempat tujuaan aku
akan kabari kamu kembali.”
“Hati-hati
untuk kamu juga, jangan lupa tetap jaga kesehatan kamu, Gha. Cuaca di sana
berbeda jauh dengan cuaca di Indonesia.”
Waktu
menunjukkan sudah tinggal sepuluh menit keberangkatan. Suara pusat informasi
sudah terdengar memberikan berita keberangkatan pesawat yang akan lepas landas
selanjutnya.
Pelukan
Agha yang merangkul erat Devi hanya singkat berasa untuknya. Buatnya, pelukan
dari Agha saat ini hanya sebatas jabat tangan yang menempel dengan tangan orang
lain dan kemudian lepas dengan cepat.
“Aku akan selalu menunggumu di sini, di dalam
rumah bersama Ibu dan Kakakmu di Indonesia, Gha. Perpisahan kita saat ini akan
berakhir indah di dalam rumah yang sudah kita pikirkan berdua dengan sangat
matang.
Selamat jalan dan hati-hati di sana, Sayang. Jangan
lupa beri kabarku saat kamu tiba di sana. Bahagiaku adalah kamu, begitu juga
cinta di dalam hatiku, kamu yang pertama dan terakhir untukku. Walau kita
sempat terpisah dengan jarak di masa lalu, tapi kita bertemu dengan keindahan
yang akan kita ubah di masa depan kita nanti.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar