Suara
dan senyuman itu hadir, sementara aku hanya diam menahan malu. Aku melihat,
mendengar dan memujamu sesaat pertemuan itu. Pertemuan dimana kamu dan aku
masih dalam satu .
Waktu
itu singkat, benar-benar singkat untuk aku. Kurang dari 2x24 jam kita bertemu,
keindahan itu pudar. Harusnya aku punya mesin waktu yang aku bisa hentikan
dengan mudah cerita kebersamaan kita, “Sudahlah, aku mengenalmu hanya untuk
mengagumi, bukan untuk memilikimu.”
Aku
melihatmu menatapku, menyapa malu dengan senyuman yang tergambar jelas dari
kedua mataku. Bola matamu terlihat berkilau, memancarkan cahaya di dalam
kegelapan.
“Kamu
ngefans sama aku, ya? daritadi terus mengikuti aku” katamu yang berdiri dekat
dengan teman perempuanku.
“Aku tidak tahu.
Mungkin kebetulan saja” aku membatin, sebelum aku membalas
sapaanmu “Emang aku mau kesana, satu tempat ini kan kecil dan kita punya
kegiatan yang sama” seruku
Senyuman
itu aku lihat kembali. Wajahmu hanya berjarak satu meter denganku. Aku masih
bisa melihatmu, sebelum kau masuk menuju ruangan yang memisahkan kita.
Tahukan
kamu. Awalnya kita hanya saling diam dan tak banyak bicara. Dari persiapan kita
jalan dan sampai di dalam mobil yang sama, kita masih dalam keadaan yang membisu.
Aku berbicara dengan teman yang sudah aku kenal sebelumnya, aku hanya melihatmu
seperti wanita yang pantasnya aku sebut dewasa.
****
Sebelum
mengatakan hal ini, aku berpikir dua dan bahkan sampai tiga kali. Entah, kenapa
perasaanku tiba-tiba berpaling dengan senyumanmu itu. Aku lebih banyak diam
menyendiri dengan kesunyian. Saat orang-orang berbicara tentang dirimu, bersamaan dengan itu jantungku terasa
tercabik-cabik karena keraguanku.
“Menurutku, cinta
sesaat itu mitos,” kataku sambil menyemangati diri
sendiri. Kebahagian kita bersama hanya sebatas teman dekat yang aku rasakan.
Aku tidak terlalu berharap banyak soal cinta, buatku masa lalu itu sudah cukup
penting untuk aku lebih mengenal cinta kembali.
Bagaimana?,
rasanya aku cukup terlalu bodoh untuk menggunakan perasaanku dibandingkan harus
berpikir ilmu matematika yang isinya sudah pasti berkaitan dengan angka-angka
yang harus aku selasaikan. Padahal, ilmu matematika itu banyak sekali dengan
rumus-rumus yang digunakan. Tapi, kenyataannya kenapa cinta lebih sulit di
tebak, sedangkan cinta hanya memakai perasaan.
Aku
baik-baik saja, hal seperti ini sudah biasa aku lakukan. Banyak di luar sana
yang mudah memberikan senyumannya untukku. Tapi, kenapa tiba-tiba aku sulit
mengelak dengan senyuman yang kau gambarkan.
Senjapun
datang, setelah tetesan air hujan terdengar dari telingaku. Walau aku tak
melihat hujan itu membasahi jalan, tapi aku masih dapat melihat senja
berpamitan dan pelangipun ikut hilang
****
“Ada
saatnya aku diam di antara banyak orang dan ada saatnya aku berbicara kepada
mereka” tanyaku
“Kenapa
harus diam? Sedangkan kita bersama dan kamu lihat kita semua saling bercerita”
jawabmu dengan senyuman kecil yang masih dapat aku lihat.
“Sebenarnya aku banyak
diam karena kamu. Aku diam dengan keraguanku, kesalahanku menanggapi senyuman
manismu itu.”
****
Malam
itu kita kumpul bareng, jalan-jalan kesana-kesini dengan teman-teman yang lain.
Aku melihat kamu masih dalam kelompok rombongan yang lain. Aku selalu memperhatikan
keramaian jalan, kadang pikiranku sempat bingung dengan para pedagang yang
sudah merapikan barang jajaran dagangnya. Aku melihat jam, waktu malam itu
memang sudah agak terlarut malam. Bagaimana tidak pedagang-pedagang itu sudah
berkemas, ternyata sudah pukul sebelas malam.
“Kamu
merokok ya?” tanyamu singkat.
“Enggak,
itu tuh sebelah aku” aku mengarahkan tangan kananku membelakangi tubuhku
Aku
mendapatkan foto-foto menarik malam ini, foto tentang kebersamaan teman-teman
yang tergambar dengan senyuman. Aku duduk di tengah keramaian pasar, di
sela-sela bebatuan yang terdapat di pinggir jalan.
Malam terakhir kamu di dalam asrama. Kita
masih sempat berkumpul di dalam ruangan yang besar untuk menampung banyak
orang.
****
Setelah
empat jam kemudian aku terbangun. Suara ayam yang berkokok mengingatkanku dari
alarm ponselku. Tanpa di sadari aku mencuci muka, mataku menoleh ke arah kamar
perempuan pagi itu.
“Sepi bener” Batinku
bertanya, “Mas Kiki kemana, Kak? Baru jam segini udah gak kelihatan” tanyaku
“Kiki
lagi keluar nganter peserta yang menginap dan pulang pagi ini”
Aku
terdiam. Pertanyaan-pertanyan dalam hatiku terus keluar. Tak sesekali atau dua
kali aku melihat ke arah kamar yang bersebelahan dari tempatku tidur.
Dari senja yang hilang,
rembulan datang dengan cahayanya bersama bintang. Saatku mau melihat
senyumanmu, bibir itu hilang seperti mentari yang datang menggantikan rembulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar