Kamis, 21 November 2013

Seputar Jalan Raya


            Pada semester genap kali ini jadwal mata kuliahku selalu pagi. Itu juga yang membuatku agak stres saat bangun. Setrika baju, mandi, dandan, de el el, huaa.. capek. Belum lagi saat berada dikendaraan umum dengan Pak sopir yang ugal-ugalan saat berkendara. Rasanya mual tidak karuan. Ciganjur-lebak bulus memang tidak jauh, tapi macetnya itu lho! Gak nahan!
            Naik angkutan umum pertama. Pak sopir berhenti tepat ditengah gang.
            “Pak! Bego banget sih, orang gak bisa lewat nih!” ucap pengendara motor yang ingin keluar dari gang.
            Pak sopir menimpali dengan marah, “Ye, situ yang bego! saya juga lagi nunggu penumpang disini.”
            Aku menyaksikan mereka bertengkar dari dalam angkutan umum si pak sopir.
            “Bapak yang bego, kalo gak bego ya gak bakal jadi sopir.” bisik seorang penumpang yang duduk disudut angkutan umum.
            Untung saja pak sopir tidak mendengar perkataan si mas berkacamata hitam itu. Aku hanya nyengir sendiri mendengarnya sambil berkata dalam hati, “Betul juga tuh. Hehe..”
            Pertengkaran itu berhenti saat pak sopir menggas mobilnya agak kedepan supaya pengendara motor yang sudah komen bisa keluar dari gang.
            Mobil melaju kencang menuju lampu merah cilandak. Sambil menunggu, aku membaca buku yang sudah kupersiapkan dari rumah, kumpulan puisi dari bali.
            Tapi saat sedang asik membaca, Aku mencium aroma kurang sedap dari dalam angkutan. Setelah kuteliti ternyata aroma dari pak sopir. Aku bergidik, “Ikh!”
            Mungkin semua penumpang yang berada didalam juga merasakan yang Aku rasakan. Selain itu, pak sopir berkali-kali membuang air liurnya keluar kaca mobil dan membuang sampah secara sembarang. Aku sampai risi sekali melihatnya. Tapi mau bagaiamana lagi? Ya begitulah dia!
            Setengah  jam kemudian Aku terbebas dari perasaan mual dan tidak nyaman saat diangkutan umum.
            Angkutan yang akan ku tumpangi setelah itu sudah menunggu. Lebih dahsyat dari angkutan umum yang pertama. Sempit, sesak, dan harus berdiri pula. Berhubung masih pagi, para penumpangnya masih segar dan wangi. Sehingga Aku tidak perlu bersusah payah menutupi hidungku dengan sapu tangan lagi sampai Aku tidak bisa bernafas.
            Ada juga pedagang asongan yang masuk kedalam angkutan umum berjenis kopaja itu. Menjual barang dagangannya dengan semangat. Aku memperhatikan barang-barang yang mereka bawa. Mulai dari tissue, plester, sampai permen komplit semuanya. Tapi Aku belum tertarik untuk membelinya.
            Saat kopaja mulai bergerak, beberapa anak kecil masuk dan giliran pedagang asongan yang keluar. Mereka adalah para pengamen jalanan. Dengan bermodalkan botol berisi beras mereka bernyanyi didepan para penumpang tepatnya dipinggir pintu. Suara fals kini menyeruak didalam kopaja.
Peluh dan debu kini bercampur menjadi satu. Belum sampai ke kampus rasanya tubuh ini sudah digelayuti rasa lelah. Tapi Aku tetap menyemangati diriku untuk belajar dan belajar. Karena Aku yakin, dibalik kesulitan pasti ada kemudahan dan kebahagiaan yang menanti.
Aku tidak tega melihat anak-anak yang seharusnya bersekolah justru sibuk mencari uang. Batinku bertanya, “Dimana orang tua mereka?”
Aku terus merenung saat melihat mereka bernyanyi dengan senangnya. Sampai Aku merasa ada seseorang yang mencolek punggungku.
“Neng, ongkosnya?”
Ternyata knek kopaja. Aku lupa mengambil uang dikantong celanaku untuk membayar. Biasanya sebelum naik kopaja, Aku sudah menyiapkan ongkos sebelumnya. Segera kuraba kantong celana bagian depan untuk mengambil uang dua ribuan.
Para pengamen cilik itu masih sibuk menyanyikan lagunya band ungu yang judulnya kekasih gelapku, Lho?
Setelah berdesakan sekitar dua puluh menit di kopaja, sampailah di terminal lebak bulus. Matahari sudah bersinar terik, menambah daftar peluh ditubuhku. Hampir semua penumpang yang ada didalam kopaja turun, termasuk Aku. segera kucari angkutan umum terakhir yang menuju kampusku.
Hari sudah semakin siang dan angkutan umum di terminal menjadi sepi penumpang. Karena kebanyakan dari penumpangnya adalah pekerja kantoran dan harus masuk pagi hari. Untunglah saat itu jadwal mata kuliahku agak siang masuknya jadi tak perlu menunggu lama angkutan umum yang kosong.
Setiap harinya, Aku selalu melihat seorang nenek pengemis duduk dipinggir trotoar. Ditambah dengan kondisi lehernya yang membekak. Entah penyakit apa, mungkin gondok atau yang sejenisnya. Yang jelas Aku sangat kasihan melihatnya.
Orang-orang berlalu lalang didepannya. Seolah tak peduli dengan si nenek yang sedang memelas sambil memegang mangkuk kecil ditangannya. Aku tidak bisa menghampirinya, karena posisiku sudah berada didalam angkutan umum.
Yang Aku tau, negaraku ini termasuk negara yang paling kaya akan sumber daya alamnya. Tapi miris sekali ketika kutemui banyak dari warganya yang justru menjadi gelandangan dan pengemis. Sebenarnya, siapakah yang salah??
Setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda atas sebuah permasalahan. Aku, mungkin termasuk yang kontra terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Apalagi peraturan tentang tidak diperbolehkannya memberi sesuatu apapun kepada pengemis dan gelandangan. Huh..
Mobil melaju kencang. Ada penumpang yang sibuk bercengkerama dengan temannya dipinggir bangku. Ada juga yang melihat-lihat keluar jendela. Seperti biasa pula, Aku selalu sendiri saat pergi ke kampus karena kebanyakan teman-temanku in the kost.
Masih ada waktu lima menit lagi untuk sampai ke kampus. Rasanya sudah gerah tubuhku ini. Banyak peluh yang menetes dikeningku karena kepanasan.
Sedang asiknya melihat polisi yang sibuk menata jalan, Aku dikejutkan oleh tabrakan sepeda motor. Pandanganku tertuju pada mereka. batinku berkata, “Kok bisa sih? Padahal kan lagi macet.” Aku geleng-geleng kepala.
Terik matahari yang membakar badan jalan menyisakan peluh untuk para pengguna jalan. Motor dan mobil yang saling mendahului sudah tidak aneh lagi untuk pemandangan dikota besar seperti Jakarta ini. Belum lagi asap knalpot kendaraan yang membuatku sesak. Polusi udara merajalela disepanjang jalanan.
Tibalah Aku didepan gang kampus. Sudah disambut dengan para pedagang makanan yang berada dipinggir jalan saling berjejeran menjajakan dagangannya. Aku harus berjalan kaki untuk ke gedung. Karena tidak ada angkutan umum didalam gang, “Yaiyyalaahh..”
Jalanan yang menyuguhkan berbagai aktivitas kota Jakarta memberikan Aku pelajaran-pelajaran yang tak ditemukan dimata kuliah. Pelajaran mengenai perjuangan hidup si bocah pengamen dan para pengemis jalan. Mereka bertahan hidup dengan mengandalkan pekerjaan yang tak seberapa hasilnya, tapi Aku bisa belajar tentang semangat mereka yang menggebu untuk tetap menikmati hidup dengan happy.
Mungkin mereka menginginkan sekolah dan lain sebagainya yang tidak bisa mereka dapatkan karena keterbatasannya. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain bekerja untuk sesuap nasi.
Belum lagi dengan para preman dan sejenisnya. Kekerasan yang mungkin akan mereka lakukan tanpa memandang usia. Tidak terbayangkan dalam benakku seandainya Aku ada diposisi para pengamen jalanan itu.
Aku bersyurukur dilahirkan dengan kondisi yang berkecukupan saat ini. Serta orang-orang baik didekatku, yang bisa mengerti Aku.
Aku segera bersiap untuk menjemput teman-temanku yang sudah menunggu di kostan.
“Lamanyee..” kata Siti saat melihat kedatanganku.
Aku nyengir.
“Maaf, macet. Hehe..”
“Langganan nih ye!!” tambah Dayah.

Kami tertawa serentak karena mendengar penuturanku yang sudah tak asing lagi untuk mereka dengar sekarang malah jadi bahan pembicaraan yang lucu. Kemacetan di kota Jakarta!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar