Pada semester genap kali ini jadwal mata kuliahku selalu pagi. Itu
juga yang membuatku agak stres saat bangun. Setrika baju, mandi, dandan, de el
el, huaa.. capek. Belum lagi saat berada dikendaraan umum dengan Pak sopir yang
ugal-ugalan saat berkendara. Rasanya mual tidak karuan. Ciganjur-lebak bulus
memang tidak jauh, tapi macetnya itu lho! Gak nahan!
Naik angkutan umum pertama. Pak
sopir berhenti tepat ditengah gang.
“Pak! Bego banget sih, orang gak
bisa lewat nih!” ucap pengendara motor yang ingin keluar dari gang.
Pak sopir menimpali dengan marah,
“Ye, situ yang bego! saya juga lagi nunggu penumpang disini.”
Aku menyaksikan mereka bertengkar
dari dalam angkutan umum si pak sopir.
“Bapak yang bego, kalo gak bego ya
gak bakal jadi sopir.” bisik seorang penumpang yang duduk disudut angkutan
umum.
Untung saja pak sopir tidak
mendengar perkataan si mas berkacamata hitam itu. Aku hanya nyengir sendiri
mendengarnya sambil berkata dalam hati, “Betul juga tuh. Hehe..”
Pertengkaran itu berhenti saat pak
sopir menggas mobilnya agak kedepan supaya pengendara motor yang sudah komen
bisa keluar dari gang.
Mobil melaju kencang menuju lampu
merah cilandak. Sambil menunggu, aku membaca buku yang sudah kupersiapkan dari
rumah, kumpulan puisi dari bali.
Tapi saat sedang asik membaca, Aku
mencium aroma kurang sedap dari dalam angkutan. Setelah kuteliti ternyata aroma
dari pak sopir. Aku bergidik, “Ikh!”
Mungkin semua penumpang yang berada
didalam juga merasakan yang Aku rasakan. Selain itu, pak sopir berkali-kali
membuang air liurnya keluar kaca mobil dan membuang sampah secara sembarang.
Aku sampai risi sekali melihatnya. Tapi mau bagaiamana lagi? Ya begitulah dia!
Setengah jam kemudian Aku terbebas dari perasaan mual
dan tidak nyaman saat diangkutan umum.
Angkutan yang akan ku tumpangi
setelah itu sudah menunggu. Lebih dahsyat dari angkutan umum yang pertama.
Sempit, sesak, dan harus berdiri pula. Berhubung masih pagi, para penumpangnya
masih segar dan wangi. Sehingga Aku tidak perlu bersusah payah menutupi
hidungku dengan sapu tangan lagi sampai Aku tidak bisa bernafas.
Ada juga pedagang asongan yang masuk
kedalam angkutan umum berjenis kopaja itu. Menjual barang dagangannya dengan
semangat. Aku memperhatikan barang-barang yang mereka bawa. Mulai dari tissue,
plester, sampai permen komplit semuanya. Tapi Aku belum tertarik untuk
membelinya.
Saat kopaja mulai bergerak, beberapa
anak kecil masuk dan giliran pedagang asongan yang keluar. Mereka adalah para
pengamen jalanan. Dengan bermodalkan botol berisi beras mereka bernyanyi
didepan para penumpang tepatnya dipinggir pintu. Suara fals kini menyeruak
didalam kopaja.
Peluh
dan debu kini bercampur menjadi satu. Belum sampai ke kampus rasanya tubuh ini
sudah digelayuti rasa lelah. Tapi Aku tetap menyemangati diriku untuk belajar
dan belajar. Karena Aku yakin, dibalik kesulitan pasti ada kemudahan dan
kebahagiaan yang menanti.
Aku
tidak tega melihat anak-anak yang seharusnya bersekolah justru sibuk mencari
uang. Batinku bertanya, “Dimana orang tua mereka?”
Aku
terus merenung saat melihat mereka bernyanyi dengan senangnya. Sampai Aku
merasa ada seseorang yang mencolek punggungku.
“Neng,
ongkosnya?”
Ternyata
knek kopaja. Aku lupa mengambil uang dikantong celanaku untuk membayar.
Biasanya sebelum naik kopaja, Aku sudah menyiapkan ongkos sebelumnya. Segera
kuraba kantong celana bagian depan untuk mengambil uang dua ribuan.
Para
pengamen cilik itu masih sibuk menyanyikan lagunya band ungu yang judulnya
kekasih gelapku, Lho?
Setelah
berdesakan sekitar dua puluh menit di kopaja, sampailah di terminal lebak
bulus. Matahari sudah bersinar terik, menambah daftar peluh ditubuhku. Hampir
semua penumpang yang ada didalam kopaja turun, termasuk Aku. segera kucari
angkutan umum terakhir yang menuju kampusku.
Hari
sudah semakin siang dan angkutan umum di terminal menjadi sepi penumpang.
Karena kebanyakan dari penumpangnya adalah pekerja kantoran dan harus masuk
pagi hari. Untunglah saat itu jadwal mata kuliahku agak siang masuknya jadi tak
perlu menunggu lama angkutan umum yang kosong.
Setiap
harinya, Aku selalu melihat seorang nenek pengemis duduk dipinggir trotoar. Ditambah
dengan kondisi lehernya yang membekak. Entah penyakit apa, mungkin gondok atau
yang sejenisnya. Yang jelas Aku sangat kasihan melihatnya.
Orang-orang
berlalu lalang didepannya. Seolah tak peduli dengan si nenek yang sedang
memelas sambil memegang mangkuk kecil ditangannya. Aku tidak bisa
menghampirinya, karena posisiku sudah berada didalam angkutan umum.
Yang
Aku tau, negaraku ini termasuk negara yang paling kaya akan sumber daya
alamnya. Tapi miris sekali ketika kutemui banyak dari warganya yang justru
menjadi gelandangan dan pengemis. Sebenarnya, siapakah yang salah??
Setiap
orang memiliki sudut pandang yang berbeda atas sebuah permasalahan. Aku,
mungkin termasuk yang kontra terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Apalagi
peraturan tentang tidak diperbolehkannya memberi sesuatu apapun kepada pengemis
dan gelandangan. Huh..
Mobil
melaju kencang. Ada penumpang yang sibuk bercengkerama dengan temannya
dipinggir bangku. Ada juga yang melihat-lihat keluar jendela. Seperti biasa
pula, Aku selalu sendiri saat pergi ke kampus karena kebanyakan teman-temanku
in the kost.
Masih
ada waktu lima menit lagi untuk sampai ke kampus. Rasanya sudah gerah tubuhku
ini. Banyak peluh yang menetes dikeningku karena kepanasan.
Sedang
asiknya melihat polisi yang sibuk menata jalan, Aku dikejutkan oleh tabrakan
sepeda motor. Pandanganku tertuju pada mereka. batinku berkata, “Kok bisa sih?
Padahal kan lagi macet.” Aku geleng-geleng kepala.
Terik
matahari yang membakar badan jalan menyisakan peluh untuk para pengguna jalan. Motor
dan mobil yang saling mendahului sudah tidak aneh lagi untuk pemandangan dikota
besar seperti Jakarta ini. Belum lagi asap knalpot kendaraan yang membuatku
sesak. Polusi udara merajalela disepanjang jalanan.
Tibalah
Aku didepan gang kampus. Sudah disambut dengan para pedagang makanan yang
berada dipinggir jalan saling berjejeran menjajakan dagangannya. Aku harus
berjalan kaki untuk ke gedung. Karena tidak ada angkutan umum didalam gang,
“Yaiyyalaahh..”
Jalanan
yang menyuguhkan berbagai aktivitas kota Jakarta memberikan Aku
pelajaran-pelajaran yang tak ditemukan dimata kuliah. Pelajaran mengenai
perjuangan hidup si bocah pengamen dan para pengemis jalan. Mereka bertahan
hidup dengan mengandalkan pekerjaan yang tak seberapa hasilnya, tapi Aku bisa
belajar tentang semangat mereka yang menggebu untuk tetap menikmati hidup
dengan happy.
Mungkin
mereka menginginkan sekolah dan lain sebagainya yang tidak bisa mereka dapatkan
karena keterbatasannya. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain bekerja
untuk sesuap nasi.
Belum
lagi dengan para preman dan sejenisnya. Kekerasan yang mungkin akan mereka
lakukan tanpa memandang usia. Tidak terbayangkan dalam benakku seandainya Aku
ada diposisi para pengamen jalanan itu.
Aku bersyurukur
dilahirkan dengan kondisi yang berkecukupan saat ini. Serta orang-orang baik
didekatku, yang bisa mengerti Aku.
Aku
segera bersiap untuk menjemput teman-temanku yang sudah menunggu di kostan.
“Lamanyee..”
kata Siti saat melihat kedatanganku.
Aku
nyengir.
“Maaf,
macet. Hehe..”
“Langganan
nih ye!!” tambah Dayah.
Kami
tertawa serentak karena mendengar penuturanku yang sudah tak asing lagi untuk
mereka dengar sekarang malah jadi bahan pembicaraan yang lucu. Kemacetan di
kota Jakarta!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar