Minggu, 08 Desember 2013

Kenangan Itu . . .

Kenangan itu..


Sekilas kutatap wajahnya saat aku melewati lobi. Dadaku terasa sakit. Aku sesak nafas hingga kuputuskan untuk pergi ke klinik terdekat saat jam  kerjaku telah usai. Dokter menyarankanku untuk tidak mengkonsumsi rokok lagi karena penyakit jantungku semakin parah. Aku selalu berusaha menghentikan hobiku itu tapi ternyata sulit sekali. Disamping lingkungan sosial yang tidak mendukung. Andai aja aku gak pernah kenal rokok! batinku menyesal.
“Rokok bikin lo jantan meen!!” kata Angga dalam benakku yang masih merekam ucapannya sewaktu di SMP.
Tapi kini? Dimana letak kejantanan itu??  setelah dokter menyatakan bahwa Aku punya penyakit jantung, yang membuatku justru lemah tak berdaya.

            Tubuhku sangat lelah saat Dodi sang manager di perusahaan menyuruhku lembur hingga larut untuk mengedit novel-novel yang baru masuk tadi pagi. Aku baru saja sampai rumah pada pukul dua malam. Untung saja besok free, bisa kumanfaatkan untuk tidur seharian. Seketika itu terlintas lagi bayangan wanita di benakku.
            “Karena kamu, Aku yang harus menanggung semuanya!! Aku yang harus menderita!!”
            “Aku khilaf,  Nda..  Maafkan aku yang bodoh ini! Tolong kasih kesempatan untuk yang terakhir kalinya.” pintaku.
            “Sudah jutaan kali aku memberimu kesempatan, tapi apa?? Kau hancurkan semuanya.”
            Ahh.. maafkan aku.. maafkan aku!! Aku terjaga.
            Tuhaan.. kumohon jangan hadirkan lagi dirinya! gumamku pelan.
            Aku baru bisa tertidur saat jam empat pagi setelah bayang-bayang seorang wanita telah mampu kutebas dengan berwudhu dan berdoa kepada Sang Pencipta. Baru beberapa menit aku bisa menikmati tidur, ibu membangunkan aku.
            “Le, bangun.. sholat shubuh dulu!!” dengan logat khas ke Jawa-jawaannya.
            “Ya, bu..” sambil mengucek mataku yang masih sulit terbuka.
            Setelah terbebas dari kewajibanku, segera kumanjakan lagi tubuh yang sudah sangat lelah ini diatas ranjang.
            Dua hari kemudian di kantor tempatku bekerja, dua wanita menghampiriku dan menyapa dengan genitnya, “Selamat pagi, Pak Rey..”
            Dengan dandanan ala ibu-ibu mau kondangan, Dara dan Susi menyapaku ketika berpapasan di pintu masuk.
            “Pagi juga..” jawabku cuek.
            “Wih.. pagi-pagi gini mukanya kusut banget, Pak Rey. Belum mandi ya? Hihi..” ucap Dara cekikikan dan disusul dengan Susi.
            Cewek-cewek centil yang seperti wartawan itu kali ini memakai kemeja hijau muda dengan jeans hitam. Tidak lupa juga dengan aksesoris yang selaras dengan warna bajunya. Yang lebih lucunya, mereka selalu memakai baju dan aksesoris yang sama. Aneh! Kayak anak TK aja sih!
            Mereka selalu datang pagi setiap harinya. Memang rajin sih, tapi parfumenya itu lho yang membuat aku mual jika bertemu mereka. Masih pagi udah bikin pusing! pake parfume nenek-nenek kali ya??
            Aku tidak memperdulikannya. Dengan senyum kecut, aku berlalu meninggalkan mereka. Memang sepertinya hari ini aku kurang bersemangat. Disamping belum sarapan, aku juga belum mandi. Oopss.. Ternyata ucapan si twin itu benar. Walaah.. sepertinya mereka lebih pantes jadi paranormal daripada sekretaris. Pikirku geli.         
            “Hey Bro, ade masaleh ape? Mukenye kusut beneer?” suara Bagas terdengar dari arah belakang dengan logat gaul kekampung-kampungannya yang sudah sangat kukenal.
            “Ada yang mau aku tanya nih, Gas.. “ sambil berjalan menuju ruang editor.
            Kebetulan kami memang satu ruangan. Teringat seorang wanita yang kemarin bersama Bagas di lobi bawah, aku pun segera menanyakannya.
            “Ape? Tanye aje, Bro..” sambil merangkulku.
            “Disini ada karyawan baru ya, Gas?”
            Punggungku menjadi lebih berat karena Bagas melingkarkan tangannya dibahuku, meskipun sudah kulepaskan tetap saja kembali lagi. kayak bola bekel aja!
            “Wah.. suke yee? tau aje bro kalo ade cewek caem.. haha..”
            “Heh.. Aku serius.. !!” sambil mengibas-ngibaskan tanganku. Menyuruhnya berhenti bercanda.
            “Aye gak tau, Bro!”
            “Lho, yang waktu di lobi itu, siapa?” tanyaku menantang.
            “Mmm..”
            Diam sebentar sambil berfikir. Aku menunggunya tak sabar.
            “Buruan mikirnya! Lama banget sih.”
            “Ooo.. yang entu, seinget aye namanye Zahre..”
            “Truss, dia mau apa kesini?” tanyaku cepat.
            “Cuman kasih tulisannye aje kok, Lho.. bukannye semua novel baru sudah aye kasih kamu, Bro?”
            “Thanks, Gas.”
            Aku langsung bergegas ke ruanganku untuk mencari beberapa novel yang sudah ku edit. Kami berpisah di pintu ruang editor karena Bagas ingin bertemu dengan pak Dodi hari itu.
            “Argh.. kenapa aku lupa tanya judul novelnya sih.. bodoh.. “ sesalku saat melihat Bagas sudah berlalu.
            Tidak masalah!  aku tetap mencari novel itu yang kuletakkan di dalam loker meskipun aku sendiri tidak memiliki bayangan apapun mengenai judulnya.
            “Pagi pak. “ suara Mbak Ani yang membuat aktivitas pencarian novelku terhenti.
            “Pagi juga, ada apa ya Mbak?” tanyaku penasaran karena Mbak Ani datang tanpa perintahku seperti biasa.
            “Maaf pak mengganggu. Barusan pak Rangga menelpon, Bapak diminta segera menyerahkan novel-novel yang sudah di edit lebih awal.”
            “Oke !!” jawabku singkat dan kemudian meneruskan mencari novel wanita itu.
            Penantian dibawah purnama karangan Zahra, ucapku dalam hati. Apa yang ini novelnya, ya? fikirku. Aku tetap mengambilnya dari deretan berkas novel yang sudah ku edit itu.
            Kenapa aku peduli?
            Glek.. 
            Air liurku tertelan cepat. Aku tetap menggenggam berkas milik wanita itu.
            “No no no. utamakan pekerjaan! Jangan terbawa perasaan, Rey!” aku membatin.
            Setelah mulai kubaca bagian depan ternyata ia memakai nama belakangku sebagai tokoh utama, “Levy “
            Tapi..
            “Oh tidak.. Aku lupa mengedit tulisan ini”
            Sambil melihat cover map yang menyelimuti tulisan itu, ternyata tidak ada tanda tanganku di bagian bawahnya. Setiap tulisan yang telah ku edit pasti akan ku tanda tangani. Sedangkan sebentar lagi semua novel ini akan ku antar ke setter. Aku pun langsung merapikan tulisan-tulisan itu dan membawanya ke meja kerjaku. Punya dia akanku baca dulu, gumamku.
            Setelah merapikan semua berkas pada loker, segera ku antar novel-novel itu ke setter. Terkecuali milik Zahra.
            “Pak Rey.. kenapa ga makan siang dulu?” tanya Mbak Ani yang melihatku sedang sibuk membaca di meja kerjaku, padahal jam makan siang sudah tiba.
            “Oh iya sebentar lagi kok, Mbak”
            “Duluan ya..” sambil melambaikan tangan.
            “Oke!” jawabku cepat.
            Waktunya pulang telah tiba. Aku baru sampai rumah tepat jam delapan. Malam ini hujan turun deras sekali ditambah suara halilintar yang menggelegar. Untung saja aku sudah sampai di rumah sebelum hujan turun deras. Namun suara halilintar itu membuat tidurku sedikit terganggu. Korden jendela kamarku menari-nari mengikuti gerakan angin. Tapi tetap saja sepi dan sunyi yang kini mengisi hatiku. Saat aku mulai memejamkan mata, suara itu kembali terdengar.
            “Kamu sadar gak dengan perbuatanmu itu?”
            “Maaf tante, Aku bener-bener khilaf”
            “Lebih baik kamu pulang! Fikirkan kembali tentang hubungan kalian!”
            “Arghh!!” teriakku sambil membuka mata. Ternyata hanya mimpi!!
            Peristiwa itu selalu terlintas dalam benakku. Satu kesalahan yang membuat hidupku dihantui rasa penyesalan. Kesalahan yang membuatku harus kehilangan wanita yang paling kusayang.
            Sengaja kubuka jendela agar angin bisa seenaknya keluar masuk kamarku yang terasa panas sekali.
            “Lho, Le.. kenapa belum tidur?” ibu yang tiba-tiba masuk ke kamarku memecah kesunyian. Tak terasa sejak tadi air mataku jatuh bercucuran dipipi.
            “Belum ngantuk Bu!” ucapku lirih sambil mengusap wajahku yang basah.
            “Ada masalah, Le? Cerita dong sama Ibu!”
            “Gak ada, Bu.”
            “Ibu ndak mau anak ibu tersiksa sendiri. Walaupun kamu sudah dewasa, apa salahnya berbagi cerita sama ibumu sendiri toh..”
            “Aku malu, Bu!”
            Aku ini cowok! Wajar aja kalau malu curhat-curhatan sama ibunya, nanti dibilang banci lagi! Apalagi cerita tentang wanita. Huh.. ga jadi dehh!!
            “Loh.. kamu kan pake baju toh! Kenapa mesti malu. Ibu sedih banget kalau kamu diem kayak gini, Le! Ibu kan juga mau denger anak ibu sendiri curhat sama ibu.”
            Teringat kalau ibuku punya tiga anak dan semuanya adalah laki-laki. Wajar kalau ibuku rindu untuk dekat-dekat dengan anaknya sendiri. Aku yang paling tua. Adikku yang pertama duduk di bangku SMA dan yang terakhir masih sekolah dasar. Aku tidak biasa curhat-curhatan sama ibu. Gengsi euy!! hanya Bagas teman curhatku yang paling setia.
            Tapi sepertinya kali ini Aku harus curhat sama ibu.
            “Bu?”
            “Ya”
            “Ibu ingat sama Dinda?” mencoba mengingatkan Ibu.
            “Dinda.. Dinda.. hmm.. pacarmu itu?” sambil menunjuk-nunjuk keningnya sendiri untuk mengingat.
            “Dulu!”
            “Loh sekarang, siapa?”
            “Gak ada”
            “Terus apa yang mau kamu ceritakan toh, Le?” tanya Ibu penasaran. Sebenarnya aku masih susah sekali curhat sama ibu. Malu!!
            “Bingung, Bu!”
            “Bingung kenapa toh?”
            “Hmm.. besok-besok aja deh Bu, ceritanya..”
            “Kamu nih, masih kaku aja sama ibu.”
            Waduh.. bisa gaul juga ema gue!! Hihi.. dengan nada kecewa ibu segera pergi. Membiarkanku bergaul dengan sunyi. Susah banget sih curhat sama ibu sendiri, sesalku.
            Malam telah pergi pagi pun segera menanti. Aku bersiap untuk pergi ke kantor. Seakan melupakan mimpi buruk semalam.
            Akhirnya novel Zahra sudah selesai ku edit. Tinggal kuberikan pada pak Rangga. Sementara itu seperti biasanya, aku harus menyiapkan cover yang cocok dan menarik, Pikirku saat diperjalanan.

















Aku, Dia dan Dirinya..


            Kali ini aku pulang lebih cepat dari biasanya karena sudah ada janji dengan Denisa si rambut merah untuk menemaninya shopping di mall. Dia wanita yang ku kenal lewat jejaring sosial facebook. Memang belum lama aku dan dia berkenalan tapi sepertinya Denisa sudah tertarik denganku, hihi..
            Sikapnya yang agresif itu justru membuatku jadi risi saat bersamanya. Tapi untuk sekedar menghormatinya ya sudah, aku fine-fine sajalah menemainnya shopping walaupun harus berbete-bete ria, lumayan dapet makan gratis ( matre.com). Setelah mengantar Denisa pulang, aku segara pergi menuju kost Bagas. Untuk sekedar mampir karena kebetulan aku melewati jalan kostannya.
            “Hey Bro.. tumben gak koling dulu mau kesini?? Untung aje aye ade di kostan” ucap Bagas yang melihatku baru masuk ke gerbang kostannya.
            Aku hanya tersenyum dan langsung masuk kedalam kamarnya tanpa disuruh. Bagas memang sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri karena saking dekatnya denganku. Ia membiarkanku tertidur diatas ranjangnya, karena melihat ekspresi wajahku yang sedang tidak bersahabat.
            “Hmm.. pasti ade masaleh ye..” tanya Bagas pelan
            “Gitu deh..” jawabku singkat.
            Di kostan Bagas aku hanya numpang tidur. Mungkin karena kelelahan sehabis jalan dengan Denisa. Saat melihat jam tanganku menunjukkan pukul lima sore aku pun segera berpamitan dengan Bagas, “Thanks ya buat kasurnya, hehe..”
            “Ah payeh, mase kesini numpang tidur aje si.. gak gratis lho!” ucap Bagas sambil menunjuk-nunjuk hidungku yang tidak mancung tidak juga pesek.
            “Ya udah, besok aku bayar pake kopi susu deh!”
            “Wah, boleh tuh!” senyum-senyum kegirangan. Bagas memang suka sekali dengan kopi susu.
            Keesokan harinya, Denisa mengajakku lagi untuk pergi menemaninya ke rumah temannya.
            “Hai Rey, ada yang mau aku bicarakan sama kamu!” Wanita berambut merah itu membuyarkan lamunanku.
            Aku memang sudah menunggu dia dua jam yang lalu di warung dekat tempat kerjanya. Ia memintaku untuk menemaninya ke rumah temannya semalam. Walaupun sudah berusaha menolak, tapi ia tetap saja memaksa. Sampai mengancam akan ke tempat kerjaku segala. Ikh.. bisa gawat deh kalau dia mampir-mampir ke tempatku. Malu-maluin!! Hih..
            Kalau bukan karena Bagas, gak akan aku rela nunggu dia selama ini, ucapku geram.
            Ternyata Bagas adalah sepupu Denisa. Aku selalu berniat untuk meninggalkan dia, tapi selalu dicegah oleh Bagas.
            “Denisa punye penyakit kanker payudara, Bro!”
            “Lalu, apa urusannya denganku?”
            “Ya, dia cuman suka sama kau lah! cuman kau semangat hidupnye!”
            Kayak di film-film aja sih pake acara  sakit segala, hehe! Tapi apa daya, aku yang memulai aku juga yang harus mengakhiri. Memang aku yang iseng sudah menggoda wanita itu. Aku menyukainya karena kufikir dia cantik persis di foto profil facebooknya. Tapi ternyata..?? nothing.
            Aku memutuskan untuk bertemu dengan Denisa dalam dunia nyata. Karena penasaran. Kafe bunga lah tempatnya. Dekat rumah Denisa. Setelah bertemu aku sempat syok, tapi ku cegah dengan minum air teh dingin kesukaanku sebanyak-banyaknya, supaya tidak pingsan, hehe.. untuk sekedar obat penenang.
            Fotonya mirip Ayu Ting-ting kenapa aslinya mirip tukang pecel keliling ya, pikirku iseng.
            Sejak saat itulah hidupku mulai keruh. Denisa yang super agresif selalu saja menggangguku. Telpon, SMS, jalan.. Huh.. padahal wajahku tidak tampan-tampan banget ah, lalu apa yang dia banggakan dariku?
            Dua bulan lagi Bagas akan ke Bandung karena kakaknya akan melahirkan. Itulah saat yang tepat bagiku untuk meninggalkan Denisa. Hehe.. licik! Gak apalah nemenin sebentar, yang penting tinggal dua bulan lagi kok sama Denisa.
            “Mau ngomong apa, Den?” tanyaku saat melihat wanita berambut merah itu sudah berada dihadapanku.
            “Ya gak disini lah, Rey..”
            “Terserah deh!” jawabku cuek.
            Aku segera menyalakan motor dan Denisa bersiap menaikinya dibelakang. Menuju rumah temannya. Setelah melewati perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya kami berhenti tepat didepan sebuah rumah bercat hijau.
            Denisa menyuruhku memarkir motor didalam halaman rumah itu.
            “Ini rumah siapa, Den?” tanyaku penasaran.
            “Rumah temenku, sekarang dia ulang tahun!”
            “Ooo..”
            Ternyata disana banyak sekali teman-teman Denisa, aku sampai salah tingkah karena banyak mata yang menyelidik kebaradaanku dengannya.
            “Apa kabar, Den? Cie.. udah punya gebetan nihh?” wanita dengan bando pink mendekati kami dan melirik kearahku.
            “Ahh biasa aja.. si Ara, mana?”
            “Didekat kolam ikan, katanya mau kasih makan ikan koinya.”
            “Oh gitu, oke deh.. Aku kesana ya!”
            “Sip..!!”
            Aku mengikuti Denisa kemanapun ia melangkah karena ditempat ini aku tidak mengenal siapapun.
            “Hai Araa..!!” teriakan Denisa membuat telingaku panas.
            Wanita bernama Ara itu sedang memberi makan ikan-ikannya, Aku tidak bisa melihat wajahnya karena ia berdiri membelakangi kami. Ara adalah teman curhat Denisa. Denisa selalu menceritakan sahabatnya itu kepadaku.
            “Hai Den, apa kabar?” Wanita itu membalikkan badannya, dan..
            Dinda? Aku membatin. Aku tersentak melihat wanita itu. Wajah yang sudah ku kenal selama dua tahun, Ternyata masih cantik dan anggun.
            “Baik, tambah cantik aja kamu!” puji Denisa.
            “Makasih” sambil tersenyum. Senyumannya yang menawan membawa aku pada masa-masa indah yang tak bisa kuulang.
            “Oya, kenalin nih temenku. Namanya, Rey.”
            Aku meraih tangannya yang sudah terulur kearahku. Dan berkata, “Rey”
            Tapi dia tidak menyebutkan namanya, hanya tersenyum dan buru-buru melepas tangannya dariku. Seperti tidak suka.
            “Met ultah ya, Ra. Semoga sukses terus dan dapet cowok, hehe..” ucapan Denisa yang membuat kupingku agak panas. Baru berapa menit bersama Denisa, kupingku sudah dua kali panas, gimana seharian? Bisa kebakar nih! Gawat.
            “Hm.. aamin” Sambil tersenyum lagi.
            (Ddrrtt..drrtt…) getar diponsel Denisa membuat pembicarannya dengan Zahra terhenti. Ia pun meminta izin kepadaku untuk mengangkat teleponnya lalu pergi menghilang dari balik tembok.
            Aku jadi salah tingkah saat Denisa meninggalkanku berdua dengan Zahra. Aku seperti baru mengenalnya. Ia sangat cuek dan kaku, begitu juga denganku.
            “Sudah lama sama Denis?” sambil memberi makan ikan koinya dan membalikkan badan.
            “Baru beberapa bulan aja, kok!”
            “Ooh..” ia mengangguk.
            Diam sebentar.
            “Aku gak tau kalau rumahmu pindah.”
            Kerudung belakangnya berkibas-kibas tertiup angin. Aku agak kesal melihat Zahra karena ia berbicara membelakangiku. Gak sopan!
            “Apa itu penting buatmu, Rey?”
            Ia membalikkan tubuh. Sepertinya mulai mengerti kalau bicara dengan gaya depan belakang seperti itu tidak nyaman. Wajah cantiknya bisa kembali kulihat. Tapi senyumnya tidak bisa kutemui. Jutek!
            Zahra si gadis manja yang biasa Aku panggil Dinda itu kini sudah dewasa, terlihat dari cara bicara dan mimik wajahnya. Walaupun masih terselip kesepian pada aura tubuhnya. Sepertinya Zahra masih kesal denganku.
            “Sorry ya Aku tinggal, tadi papaku telpon katanya mau berangkat ke Singapura, tadi sampai mana obrolan kita?”
            Denisa yang tiba-tiba datang seperti hantu itu sangat mengejutkan kami. Wajah kesal Zahra secepat mungkin disembunyikannya walaupun Denisa masih sempat melihat.
            “Lho, kok mukanya pada jutek gini? Kenapa?” tanya Denisa sambil mengerutkan keningnya. Penasaran.
            “Gak apa-apa kok, Den.” jawabku cepat agar Denisa tidak curiga.
            Denisa mengangguk walaupun dia sendiri masih bingung.
            “Oya, Aku mau ngomong sesuatu sama Rey.. kamu sebagai saksinya ya, Ra.” pinta Denisa sambil menunjuk kearah Zahra.
            Zahra mengangguk setuju.
            “Ngomong apa sih, Den?” tanyaku.
            “Aku mau bilang kalau.. aku.. hmm..”
            “Aku gak bisa nunggu lama, lho..” sindirku.
            “Aku sayang sama kamu Rey, kamu mau jadi pacarku gak?
            Hah? Aku terkejut mendengar pengakuannya. Nekat banget nih cewek!
            Sambil menatap penuh harap, Denisa mengungkapkan isi hatinya kepadaku. Pandanganku langsung beralih kepada Zahra. Ia juga menatapku. Menunggu jawaban untuk Denisa sahabatnya. Rasa tidak karuan kini mengusikku. Aku sangat terkejut mendengar pengakuan Denisa, begitupun dengan Zahra. Dari matanya yang terbuka lebih lebar dari biasanya, bisa kulihat ada setitik kecewa kepadaku.
            Kenapa harus didepan dia, sesalku dalam hati.
            “Aa..ku gak bisa jawab sekarang, Den!”
            Denisa tertunduk sedih. Padahal ia berharap ada jawaban yang membuatnya bahagia.
            “Gak apa-apa kok, Rey.. jawab secepatnya ya!” ucap Denisa lirih.
            Kulihat Zahra hanya terdiam sambil menatap kearah sahabatnya yang masih tertunduk sedih.
            Setelah sampai di rumah, segera kurebahkan tubuh tak berdaya ini diatas ranjang. Aku sudah sangat lelah karena harus menemani Denisa seharian.
            Tanpa kusadari, ibu masuk ke kamarku dan bertanya, “Kamu toh kenapa Le? Lemes gitu?”
            “Aku capek banget, Bu..”
            “Ya sudah sana istirahat dulu!”
            “Iya” jawabku cepat.
            Kuingat kembali pertemuanku dengan Zahra, juga dengan ungkapan Denisa.
            “Aku berharap kamu gak buat sahabatku kecewa, seperti kau kecewakan aku dulu!” ucap Zahra sambil menarik lenganku dari belakang saat aku mengikuti langkah kaki Denisa menuju pintu keluar.
            Ucapan terakhir yang kudengar dari Zahra, membuatku sangat tertekan.
            Pagi kembali hadir. Aku  memulai aktivitas seperti biasa dan bersiap menuju kantor untuk menunaikan pekerjaanku yang belum selesai.
            “Pagi, pak Rey..”
            “Pagi juga..”
            Seperti biasanya, dua gadis yang genit itu menyapaku yang sedang asyik mendengarkan mp3 dengan earphone. Mau gak mau harus dilepas deh!
            Kali ini mereka menggunakan kemeja putih dengan celana panjang berwarna hitam pekat. Namun masih saja dengan dandanan ala ibu-ibu kondangan. Sepertinya mereka harus cari tukang rias biar dandanannya bagus, kalau perlu tukang jahit aja biar sekalian dipermak tuh muka! Hihi.. pikirku geli.
            Segera ku bergegas menuju meja kerja,  banyak sekali tumpukkan kertas yang belum sempat kumasukkan kedalam loker. Bagas yang sudah datang lebih awal dariku segera mendekat.
            “Hey bro, Denisa lagi sakit kok gak dijengukin sih?” tanya Bagas diruang kantor.
            Mungkin karena kepikiran dengan cintanya yang belum kujawab, ia jadi mendadak sakit begitu.
            “Belum sempat, Gas!” jawabku cuek sambil meneruskan ketikanku.
            “Nyokapnye mau ketemu same kau, Bro!”
            “Mau ngapain?”
            “Aye gak tau, mau nikahin kau kali, hehe..”
            “Ya, nanti Aku fikirkan lagi!”
            “Loh, kok gitu?” sambil mengerutkan keningnya.
            Tapi Aku tidak menghiraukannya. Tetap fokus pada layar komputer. Rasanya terlalu malas jika harus membahas soal Denisa. Aku melihat raut wajah kecewa pada Bagas yang kemudian pergi meninggalkanku. Aku sempat meliriknya.

















Di Danau itu..


            “Mau minum, pak Rey?”
            Suara wanita yang membuatku terkejut dan membuyarkan lamunanku.
            “Ehh kamu..”
            Sambil mengambil segelas air teh manis dingin yang disodorkannya padaku. Ternyata dia masih ingat minuman kesukaanku.
            “Tadi aku ke kantor, mau ketemu sama pak editor tapi pak editornya malah sedang ngelamun disini.” tutur Zahra.
            “Ada apa cari aku?”
            “Novelku kenapa belum diedit, pak?”
            “Jangan panggil pak, biasa aja ahh!” pintaku.
            “Lho, kenapa? aku kan gak mau mereka curiga”
            Aku membenarkan ucapan Zahra dengan mengangguk-angguk layaknya mendengarkan lagu rock yang sering diputar oleh Bagas didalam kamarnya.
            “Maaf ya. Aku lupa sekali mengedit tulisanmu, masalahnya tulisanmu itu terselip dibawah berkas-berkas novel lainnya. Makanya gak kebawa deh!”
            “Iya, gak apa-apa! tulisan itu juga gak terlalu bagus kok, Sedang apa disini?”
            “Cari angin aja”
            Diam sejenak.
            “Siapa pengganti diriku Nda, maksudku Ra?” tanyaku spontan sambil garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal karena kagok dengan nama panggilan Zahra. Aku biasa memanggilnya dengan nama Dinda. Panggilan sayang! Uhuy..
            Sambil menatapnya aku berharap ada jawaban yang membuatku bahagia. Tapi dia hanya diam. Dan berkata, “Apa kamu fikir ada yang lebih baik dari dirimu?”
            “Pasti!” aku mengangguk.
            “Hmm.. aku selalu bilang kan sama kamu, kalau jawaban aku gak akan pernah berubah!”
            “Maksudmu?”
            “Bertahun-tahun aku hidup di Bandung, dipisahkan dari kota kelahiranku demi melupakan satu nama yang ternyata aku sendiripun gak mampu.”
            “Duh.. jangan ribet-ribet dong Nda ngomongnya! To the point aja!”
            “Huh.. kamu nih masih sama aja kayak dulu, oneng..” ledeknya seolah melupakan masalah kemarin.
            “Denis gimana?”
            Pertanyaan Zahra spontan membuatku terkejut.
            “Aku..” sambil mengerutkan kening.
            “Kenapa?”
            “Aku gak pernah sayang sama dia..” lanjutku.
            “Lho, kenapa?”
            “Aku juga gak tau”
            Kami saling menatap. Sekilas kulihat matanya teduh. Ada gumpalan rindu yang disembunyikannya dariku.
            “Maafkan aku soal kemarin, ya!” ucapku pelan.
            “Gak apa-apa, aku yang seharusnya minta maaf. Kemarin lagi banyak fikiran, makanya jadi marah-marah!” wajahnya kembali muram.
            “Ada masalah apa lagi, Nda?”
            “Ibuku sakit! Tolong jangan panggil aku itu lagi! aku gak mau Denis curiga!”
            Aku mengangguk walau masih agak ragu. Pasti susah nih!! Pikirku.
            “Kalau malam itu gak pernah ada, mungkin kita masih bisa satu ya” ucapku lirih.
            Zahra tersenyum kecut. Sepertiya ia belum juga melupakan malam itu.
            Kami bicara ngalor-ngidul tak bertujuan. Sekejap melupakan komitmen yang dulu pernah kami buat. Aku dan Zahra tidak akan menunjukkan wajah masing-masing sampai takdir yang mengizinkannya.
            “Mungkin, sekarang inilah takdir itu, Nda!”
            Zahra mengangkat bahu. “Entahlah.. yang jelas..”
            “Apa?”
            “Yang jelas, jangan panggil aku itu lagi, Rey!” Zahra cemberut.
            “Maaf maaf, aku lupa.” sambil mengangkat kedua tangannya. Seperti penjahat yang sedang ditangkap polisi.
            Tak terasa senja telah datang. Kami pun menyegerakan diri untuk pulang. Padahal aku berharap bisa berlama-lama dengannya untuk sekedar melepas rindu.
            Esok harinya aku kembali ke danau itu untuk mencairkan otakku yang mulai beku.
            “Pak Rey, disini juga?”
            Aku tersenyum. Ternyata sejak tadi Dinda memperhatikanku duduk sendiri dipinggir danau. Aku memang selalu ke danau ini sendiri. Danau kenangan.
            “Ada yang ingin ku tanyakan sama kamu!” ucap Zahra ketus.
            Aku menatapnya, “Apa?”
            “Apa kamu sayang sama Denisa?”
            Aku tersentak. Bebanku rasanya kini semakin berat saja. Rasa rindu dan keinginan untuk memiliki Zahra kini muncul lagi. Tapi.. semua hampir tak ada harapan. Karena.. Denisa!
            “Kenapa tanya seperti itu?” kataku pelan.
            “Sepertinya Denis, sayang banget sama kamu!”
            “Tapi, Aku gak pernah sayang sama dia!”
            “Apa yang kamu lakukan, Vy? Sampai-sampai dia cinta banget sama kamu!”
            Ia memanggilku dengan panggilan sayangnya. Sepertinya dia lupa untuk tidak menyebutnya lagi.
            Zahra mulai terpancing perasaannya. Ada sedikit sesal yang diperlihatkannya padaku. Aku tau kaupun masih memendam rasa yang sama denganku, Nda! Makanya kamu jadi terbakar cemburu kayak gini!
            “Sumpah Nda! Aku gak melakukan apapun dengannya!!”
            “Bohong!!”
            Ia pun pergi meninggalkan aku yang masih kebingungan. Dari kejauhan kulihat ia mengusap-usap matanya sambil berlari kecil. Aku tidak mengejarnya, bodoh!
            Sungguh yang kusayang hanya kamu Nda! Kenapa aku harus berada pada posisi seperti ini sih, keluhku. Aku tidak suka dengan Denisa. Demi Bagas dan orangtua Denisa, aku bertahan untuknya. Tapi sekarang.. Zahra kembali!!
            Aku memaksa mataku untuk terpejam walaupun sangat sulit akhirnya aku bisa terlelap juga.
            “Kamu tau gak Vy, Aku tuh pengen banget naik perahu bebek itu, tapi..” sambil menunjuk kearah perahu yang sedang dinaiki oleh dua orang sejoli.
            “Tapi apa?”
            “Aku takut” Zahra tertunduk malu. Mukanya yang memerah, membuat wanita yang duduk disampingku itu semakin cantik.
            “Mmhh.. mau taruhan sama aku gak?” ucapku menantang.
            “Apa?”
            “Siapa yang duluan sampai ke garis itu, dia boleh minta apapun!”
            Dengan percaya diri Aku mengajaknya bertaruh. Sambil menunjuk-nunjuk kegaris pembatas yang terdapat bola warna merahnya yang mengapung ditengah Danau itu.
            “Tapi, naik perahu aja aku takut, gimana mau ikut tantangan kamu, Vy. Gak usah becanda deh!”
            “Ya udah, berarti kamu kalah! Sekarang aku yang minta sesuatu sama kamu”
            “Ikh.. curang! Kita kan belum tanding!” sambil mencubit pinggangku tapi aku segera menghindar.
            “Lho, kamu sendiri yang bilang gak bisa! Berarti kamu dong yang kalah!”
            “Kapan aku bilang gak bisa? aku kan cuma bilang takut aja!” Zahra menunjukkan raut wajah cemberut.
            “Sama aja lah! Bilang aja takut kan dikalahin sama aku? Haha..” aku meledeknya.
            “Ya enggak lah! Siapa bilang aku takut sama kamu, sorry ya!” Zahra berkilah. Dengan gaya seperti miss indonesia, Zahra bertolak pinggang.
            “Kalau gak takut, tunjukkin dong! Cemen!”
            “Ayo!” ucap Zahra mantap.
            Aku dan Zahra segera berlari menuju tempat pembelian tiket. Dan Zahra terlihat sok jutek dihadapanku layaknya dua pedagang buah dipasar yang sedang bersaing menjual buah-buahnya.
            “Awas kau ya!!” gumamku dalam hati.
            “Apa liat-liat? Takut ya?” ucapnya sambil melotot melihatku.
            Aku memang sejak tadi memperhatikan Zahra. Ia sangat panik. Hanya saja ia tidak mau mengaku kalau sebenarnya ia takut untuk menerima tantanganku itu. “Cewekku memang muna deh, kalau memang takut ya bilang aja toh..!” aku membatin.
            Pertandinganpun dimulai. Aku menaiki perahu bebek warna biru dan Zahra menaiki perahu warna hijau. Mukanya terlihat pucat pasi. Rasanya ingin kubatalkan pertandingan konyol ini, tapi sudah terlanjur. Malu dong!! Nanti dibilang takut lagi!!
            Aku terus menggenjot besi yang berada dikakiku, terus dan terus. Sedangkan Zahra masih sibuk dengan matanya yang menerawang kebawah air. Sepertinya ia benar-benar ketakutan. Perahu bebeknya tidak ia genjot. Tapi masih tetap berjalan digeser air.
            Matanya mendung.
            “Vy.. aku nyerah! aku takut!” sambil pegangan erat pada dinding perahu.
            “Lho, kamu kan belum jalan!”
            Kami saling berteriak, karena jarak kami yang terlampau jauh.
            Air matanya mengalir. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya seperti itu. Tapi aku gak mau dia terus saja dihantui rasa trauma.
            Ayahnya meninggal saat Zahra berusia lima tahun. Tercebur ketika menaiki perahu bersama Zahra. Oleh karena itu, ia tak lagi mau menaiki perahu. Untunglah bantuan segera datang dan Zahra selamat.
            Saat aku merubah arah haluanku, suara wanita terdengar kencang sekali ditelingaku, “Leeeeee.. banguuuuun..! kamu mau tidur sampai jam berapa toh?”
            Ah.. ternyata ibu, “Ganggu kesenangan orang aja si”geramku dalam hati.
            “Ya buu.. aku bangun!” ucapku lemah.
            “Dari tadi sudah dibangunin kok malah senyum-senyum aja sih? Aneh sekali toh kamu!!”
            Ya iya lah, wong lagi mimpi seneng kok digangguin! Nyebelin!!
            Mimpi itu membuatku sedih. Sampai kapan aku memendam perasaan ini. Aku ingin kita bersama lagi, Nda! Hadirnya Zahra kembali memberikan warna tersendiri untuk hidupku.
            Saat aku sampai di kantor Bagas mengingatkanku kembali tentang Denisa, “Bro, Denisa sakit! Kenape belum kamu jenguk juga?”
            “Oya aku lupa. nanti pulang kerja. Kamu bisa kan nemenin aku?”
            “Gak bisa, aye ada janji same mbak Ani! Hehe..”
            “Waduh! Ya sudahlah, good luck deh!” kataku cepat.
            “Thanks, Bro..” sambil berlalu meninggalkanku.
            Akhirnya pekerjaanku selesai juga! aku segera pulang. Teringat dengan perkataan Bagas tentang Denisa, Aku pun langsung menuju rumah Denisa untuk menjenguk. Tapi disana..
            “Maaf ya, Den, baru besuk kamu!”
            “Ya gak apa-apa kok Ra, yang penting kamu sudah mau datang kesini!”
            Ternyata Zahra juga menjenguk Denisa. Kami sampai ke rumah Denisa hampir bersamaan, hanya saja aku telat beberapa detik. Wajah Denisa terlihat heran melihat kedatanganku.
            “Hai, Den! Gimana kabarmu?” tanyaku.
            “Baik, Rey” sambil menatapku yang sedikit salah tingkah.
            Mencegah kecurigaan, Aku segera memberikan buah yang kubeli sebelum ke rumah Denisa. Aku dan Zahra lebih banyak diam. Denisa yang melihat menjadi semakin curiga.
            “Lagi pada kenapa sih? Kok gak rame kayak biasanya?”
            “Gak ada apa-apa Den!” ucapku berbarengan dengan Zahra dan kami saling menatap karenanya.
            Denisa mengigit bibirnya. Membentuk sebuah garis lurus sambil mengerutkan keningnya. Penasaran. Tapi Aku dan Zahra seolah tak peduli.
            “Aku mau bicara sama kamu Nda, eh, Ra!”
            Tepat didepan gerbang rumah Denisa setelah kami selesai menjenguk Denisa, aku menarik lengan Zahra yang tertutup rapat dengan baju panjangnya.
            “Gak bisa sekarang, Rey.. Aku ada urusan lain!” sepertinya ia sudah fasih mengucapkan nama depanku itu.
            Zahra menolak permintaanku sambil memalingkan wajahnya yang terlihat semakin cantik saat marah, menurutku.
            “Please, Nda!!” sambil mengatupkan kedua tangan.
            Aku memohon terus kepadanya sambil mengikuti gerakan tubuhnya yang kesana kemari. Tidak bisa diam!
            Satu jam kemudian..
            Akhirnya Zahra mau memenuhi permintaanku.
            “Kenapa harus disini?” tanya Zahra jutek.
            Aku membawanya ke Danau. Tampat aku dan Zahra melukis cinta. Tempat aku menyendiri saat pulang dari kantor.
            “Pak.. pak!!” teriakku sambil melambai-lambaikan tangan dan berlari pelan pada pedagang asongan yang melintas.
            “Beli apa, Mas?”
            “Teh botol dinginnya dua ya, Pak!”
            “Ini, Mas!” memberikan dua botol minuman pesananku.
            “Makasih, Pak” Menyodorkan uang lima ribuan.
            Zahra hanya melihat aktivitasku dengan pedangan itu dari jauh. Ia sudah menungguku dibangku yang memang sudah tersedia dipinggir Danau.
            “Aku Cuma mau tau, apa kamu masih sayang sama aku, Nda?” aku duduk disampingnya.
            “Gak perlu tau!” jawabnya judes sambil melengos.
            “Tapi aku butuh jawaban itu, Nda?”
            “Untuk apa? Untuk kau permainkan lagi hatinya?”
            Aku tertunduk sedih mendengar jawaban ketusnya. “Kenapa sih masih saja kau ungkit masa lalu itu Nda?” gumamku pelan.
            “Please! Jangan panggil aku Nda lagi!!”
            Diam sejenak.
            Angin sepoi-sepoi membelai rambutku. Meneduhkan panasnya udara di danau itu. Kulihat Zahra juga merasakan hal yang serupa. Kerudung merah jambunya berkibas menutup-nutupi kecantikan wajahnya dariku. Seperti main petak umpet!
            “Aku gak akan seperti dulu lagi, Rey! aku gak akan pacaran! Aku rasa Tuhan telah tunjukkan jalan terbaik untukku melalui ibu.”
            “Tapi, Nda..”
            “Cukup! Seberapapun gigihnya kamu paksa, aku tetap tidak akan pacaran lagi!” selaknya.
            “Aku masih sayang kamu, Nda! aku cinta kamu! Bertahun-tahun aku berusaha melupakanmu, tapi tetap gak bisa!” sambil menatapanya dalam-dalam.
            “Apa kamu mengajakku kesini hanya untuk itu? Kalau begitu aku pergi!” ucap Zahra ketus.
            “Jangan, Nda!” aku menarik lengannya. “Apa kau tega melihatku tersiksa dengan Denisa? aku tau kamu juga sayang sama aku, Nda! Tolong Nda!” sambungku.
            “Waktu Ibu mengurungku di kamar, memindahkan tempat kuliahku, menjauhiku dari kehidupan bersama sahabat-sahabatku, dimana kamu?? Padahal yang kubutuhkan adalah dirimu. Semangat darimu!”
            “Maaf.. maaf.. maaf, Nda..”
            “Maaf katamu? Semudah itu kau bayar kepedihanku dengan satu kata saja!”
            Zahra berdiri menatapku tajam. Ia bersiap untuk meninggalkanku, tapi terus kucegah.
            “Aku akan perbaiki semua ini, Nda!”
            Tatapan teduhku membuatnya duduk kembali. Aku mengatupkan tangan. Memohon.
            “Semua sudah terlambat, Rey!” ia melengos.
            “Gak ada kata terlambat untuk cinta. Aku sayang kamu, Nda! aku mohon beri aku kesempatan untuk perbaiki semuanya lagi” sambil menghapus air mata yang sesekali menetes dipipiku.
            “Kesempatan itu sudah berakhir. Kamu terlambat!”
            “Tapi.. ibu Denisa menyuruhku melamar anaknya, Nda. Aku Cuma mau menikah denganmu. Wanita yang paling kusayang. Cuma sama kamu, Nda!”
            Kulihat Zahra mengusap wajah beberapa kali dengan kerudungnya, hingga menyisakan noda. Basah.
            “Asal kau tau! aku selalu menjaga hati ini cuma untuk kamu! Tidak kubiarkan lelaki manapun mendekatiku. Tapi kamu? Mana janji setiamu? Tidak ada asap kalau tidak ada api!!”
            “Aku fikir kau telah melupakanku, Nda! Makanya aku coba membuka hatiku kembali untuk orang lain” ucapku lirih.
            Zahra akhirnya meninggalkanku. Kerudungnya sudah dipenuhi air mata. Aku duduk membisu. Deruan angin menjadi saksi pertengkaranku dengannya. Sunyi.
            “Aaaaaarrgghh…” teriakku.
            Kurasakan banyak mata yang melihatku. Tapi aku tidak peduli. Aku sedih. Kututup wajahku dengan kedua telapak tangan untuk penopang kepalaku yang agak pusing.
            Keesokan harinya Bagas mengajakku ke rumah Denisa lagi. Setelah berdebat panjang akhirnya aku mengiyakan ajakannya.
            Saat sampai di rumah Denisa.
            “Jadi gimana, Rey? Kapan mau lamar Denisa?”
            Wanita setengah baya itu dengan to the pointnya menagih permintaannya tempo hari. Menikahi Anak satu-satunya, Denisa. Aku hanya tersenyum kecut dan meninggalkannya untuk pergi ke kamar Denisa.
            “Hay, Den.. gimane kabarnye? udah mendingan belom??” tanya Bagas.
            “Baik, Bang!” ucap wanita dengan tubuh yang masih lemah itu.
            “Bagus deh kalo gitu! Heh, Rey! Ngomong dong!”
            Bagas menubruk punggungku dengan punggungnya. Aku tersentak, “Ehh.. iya maaf, gimana kabarmu, Den?!”
            “Baik, Rey!” sambil tersenyum.
            Denisa merasa ada perubahan pada diriku. Hal itu diungkapkannya lewat Bagas. Sejak Denisa menyatakan cinta,  aku jadi agak jauh. Bukan karena benci, tapi aku takut malah akan menyakitinya. Karena memang aku tidak pernah sedikitpun mencintainya. Aku salah. Telah membiarkan hari menanamkan bibit cinta padanya. Dan kini.. aku menyesal.
            Aku bagai tawanan yang siap dibunuh musuh jika tidak mengikuti keinginannya. Terkurung pada ruang gelap tak berisi. Aku sesak nafas! aku jadi teringat pesan Zahra sewaktu di danau itu..
            “Jangan merokok lagi!! Rokok bikin kamu mati tau, berarti kamu gak sayang dong sama aku, masa tega ninggalin aku, demi sebatang rokok!” sambil memonyongkan bibirnya. “Ahh.. Dindaku..” aku membatin.
            “Kalau Dinda sembuh pasti kulamar kok, tante!” ucapku pada Tante Mira, ibunya Denisa.
            “Dinda, siapa Rey?” tanya Denisa terkejut.
            “Ahh.. maksudku kamu, Den!”
            Tanpa berfikir lagi kukatakan hal yang bisa menebas perkataanku yang salah itu. Sebenarnya Aku malu karena salah sebuta nama karena benakku yang masih tertuju pada Dinda. Ada Bagas juga yang mendengar. Bodoh! sesalku.







Dari hati ke hati..


            “Bro, lagi ape kau disini?” sambil menepuk punggungku.
            Sejak jam makan siang aku sengaja tidak kembali lagi ke kantor. Kepalaku sudah pusing sekali. Seperti biasanya aku memanjakan diri di danau itu, sendiri.
            Tapi ternyata Bagas membuntutiku dari belakang.
            “Lho, kamu gak ke kantor, Gas?”
            Aku terkejut melihat kedatangan Bagas yang tiba-tiba.
            “Pekerjaan aye dah selesai kok. Kau belum jawab pertanyaan aye, bro. lagi ngapain kau disini!” Bagas mengulang pertanyaannya.
            “Aku lagi mau tenangin fikiran aja. Tempat ini kan sepi dan sunyi Gas! Enak buat menyendiri.”
            Ooo.. Bagas mengangguk setuju.
            “Kata Denisa, kau sering kesini ye?”
            “Tau darimana dia?”
            “Dari Zahra!”
            Kami terdiam sambil melihat perahu bebek yang berada dipinggiran danau, bergoyang-goyang diterpa angin.
            “Gas?”
            “Ye?” sambil menengok kearahku.
            “Apa kamu punya kenangan indah?”
            Bagas mengerutkan keningnya. Baru kali ini aku menanyakan hal konyol yang biasanya ditanya antara sepasang wanita yang sedang curhat.
            “Mmm… punye, kenape?”
            “Dengan siapa, Gas?”
            “Ade, aye selalu jalan-jalan keliling kote same die setiap akhir pekan. Tapi..” Bagas menggantung ucapannya sehingga membuatku penasaran. “Tapi die udah gak ade!” lanjutnya.
            “Lho, kemana?”
            “Ke syurge!” ucap Bagas sambil tersenyum dan menatap air danau yang bergelombang kecil.
            “Ops.. sorry ya, Gas!” sambil menutup mulut.
            “Kenape mesti minte maaf, bro?”
            “Ya, karena sudah mengingatkanmu dengan adikmu itu.”
            “Oh, no problem bro. santai aje same aye mah!”
            Aku mengangguk bingung. Bagas terlihat senang-senang saja saat menceritakan adiknya itu. Seperti tanpa kesedihan.
            “Gas?”
            “Ye?”
            “Kamu kok gak sedih?”
            “Lho, buat ape sedih? Ape kalo aye sedih, ade aye bisa hidup lagi, bro? Enggak kan?” sambil tersenyum kecut.
            Bener juga sih, Buat apa bersedih. Lho, tapi kan Bagas punya kenangan indah sama orang yang sudah meninggal. Sedangkan aku punya kenangan indah sama orang yang masih hidup. Hmm.. bingung!
            “Bro?”
            “Ya?”
            “Kenape kau nanye gitu? Emangnye kau gak punye kenangan indah ye?”
            Aku mendesah pelan.
            “Punya kok, Gas. Kamu tau kenapa aku senang sekali kesini?”
            Bagas menggeleng.
            “Tempat inilah yang menjadi kenangan indahku dengan seseorang yang kau sebut Zahra” ucapku pelan.
            “Hah? Serius?”
            Aku mengangguk.
            “Sebenernye, siape sih Zahra itu, bro?”
            “Dia mantanku, Gas. Aku biasa memanggilnya Dinda. Entah mengapa perasaan yang dulu ingin aku hilangkan kini muncul lagi.”
            “Lho, Denisa gimane, bro? kau jangan mainin perasaan dia!”
            “Ya, aku ngerti. Saat ini aku memang berusaha melupakan Zahra.”
            “kenape kau gak bilang dari dulu sih kalo Zahra itu mantan kau?”
            “Aku gak tau kalau kalian kenal dengan Zahra. Jadi menurutku buat apa harusku ceritakan masa lalu yang ingin kulupakan itu, Gas.”
            Bagas tertunduk.
            “Ape Zahra juge masih sayang same kau?”
            “Ya” Aku mengangguk. “Beberapa hari lalu dia mengungkapkannya padaku, di danau ini” sambungku.
            Bagas terlihat bingung. Banyak pertanyaan yang sepertinya ingin diutarakannya padaku. Aku menceritakan semua masa laluku dengan Zahra. Baru kali ini aku mau terbuka tentang Zahra kepada orang lain. biasanya aku hanya diam jika ada yang menanyakannya. Dari awal aku bertemu dengan Zahra, sampai kami memutuskan untuk berpisah. Komplit deh pokoknya!
            “Terus, kenape kau tidak ke rumahnye aje, untuk minta maaf?”
            Aku menggeleng.
            “Belum siap, Gas.”
            “Gimane si.. kau cowok tapi kayak cewek! Pengecut!”
            “Sebenernya memang sudah lama aku ingin ke rumahnya, tapi..” aku menggantung ucapanku. Bagas menunggunya. “Aku masih takut”
            “Tapi, aye gak rela lho kalo Denisa cuma kau jadikan pelampiasan aje, bro!!”
            Aku mengangkat bahu, “Entahlah!”
            Lalu..
            Plaakk..
            Bagas memukul keningku.
            “Kurang ajar kau, Rey. Denisa itu sepupu aye! Jangan harap kau bisa nyakitin die!”
            Aku terkejut. Baru kali ini aku melihat Bagas marah sekali denganku. Dan ia juga memanggil nama depanku. Aku hanya diam melihatnya sambil mengusap-usap keningku yang masih nyeri karena pukulannya.
            Orang-orang yang berlalu lalang berhenti sebentar untuk melihat pertengkaran kami. Tapi mereka tidak mendapati perkelahian yang hebat karena aku tidak membalas pukulan Bagas. Ada juga bapak-bapak yang berlari mendekat ke arah kami untuk memisahkan, tapi kemudian mengurungkan niatnya.
            “Aku kan sudah bilang sama kamu, Gas. Aku akan berusaha melupakan Zahra!!”
            Tapi sepertinya Bagas sudah terbakar emosi. Ia tak lagi mendengarkan penjelasanku. Aku menjadi sangat bingung. Aku fikir Bagas akan mengerti tentang perasaanku setelah kuceritakan semuanya, tapi ternyata..
            Bagas pergi meninggalkanku. Aku berharap ia tak akan menceritakan masalah ini kepada denisa.
            Sekarang aku kehilangan orang-orang yang kusayang. Zahra dan Bagas. Kenapa aku jadi cengeng begini ya? sambil menghapus air mata yang mengalir diwajahku.
            Malam ini terasa sangat berat untukku lewati. banyak fikiran yang bergelayut manja dalam benak. Berkali-kali ku bolak-balikkan tubuhku diatas ranjang agar bisa nyaman untuk tidur. Namun bayang-bayang Zahra dan Bagas selalu menghantui. Aku mendekat ke jendela kamar dan membuka lebar-lebar kordennya. Angin berebut masuk hingga rambutku terkesibak.
            Aku menatap bulan yang bundar di langit, merasakan kehangatan oleh sinarnya.
            “Angin malam ndak bagus lho buat kita!”
            Wanita yang kupanggil ibu itu tiba-tiba masuk dan mengusap-usap bahuku. Hingga membuatku agak terkejut. Aku hanya tersenyum dan kembali menatap sang rembulan.
            “Bu, bisa gak ya Tuhan menciptakan dua bulan untuk kita?”
            “Ya, bisa-bisa aja sih. Tuhan kan Maha Pencipta, ndak ada yang ndak mungkin toh buat Dia”
             Aku mengangguk.
            “Lalu.. apa Tuhan bisa membuatkan aku dua buah hati yang bisa menyayangi, Bu?”
            “Lho, kok gitu? Sama aja kamu itu ndak bersyukur toh sama Tuhan! Satu buah kapal ndak bisa dipimpin oleh dua nahkoda, Le!”
            Diam sebentar.
            “Memangnya kamu ingin menyayangi siapa, Le?” tanya ibu.
            “Gak tau, Bu!”
            Otakku sudah buntu. Apalagi saat kejadianku dengan Bagas kemarin. Padahal aku berharap banyak darinya karena dia adalah sahabat terbaikku selama ini.
            Sungguh yang aku sayang hanyalah Dinda alias Zahra. Andai malam itu tidak pernah terjadi, mungkin aku masih bersamanya saat ini. Aku benar-benar menyesal.
            Aku menceritakan semua kisahku dengan Zahra. Hingga kisah dimana aku dan dia memutuskan untuk berpisah selamanya. Ibu terkejut mendengar penuturanku.
            “Ibu ngerti perasaan kamu saat ini. Kamu yang berbuat, kamu juga harus berani  bertanggung jawab toh. Mungkin ini adalah balasan dari apa yang kamu lakukan itu, Le! Yang sabar ya! Kesabaran akan membuahkan hasil yang indah! Kalau kamu memang cinta sama Dinda, petahankan terus cinta itu. Ibu yakin Dinda juga masih cinta sama kamu kok” ucapan ibu yang menyejukkanku.
            “Tapi bu, Dinda udah gak percaya lagi padaku. ditambah pula dengan kehadiran Denisa!” aku menunduk. Ibu mengusap Bahuku. Menenangkan kegelisahan anaknya yang selama ini dianggap baik-baik saja.
            Ibu sudah sangat mengenal sosok seorang Zahra. Wanita anggun nan cantik juga sopan santunnya yang sangat ibu sukai karena aku memang selalu mengajak Zahra main ke rumahku  tiap kali kami pulang dari membeli buku. Tapi selama ini aku menutupi akhir ceritaku dengan Zahra. Karena aku takut ibu akan memarahiku. Ditambah lagi dengan kebodohanku yang menjadi penyebab berakhirnya hubungan kita.
            Namun wanita yang kini berada disampingku itu tidak memarahiku barang sedikitpun. Rasa sayang seorang ibu terhadap anaknya ternyata memang melebihi apapun. Sekalipun amarah bergejolak dalam dadanya.
            “Ibu yakin, Dinda pasti masih sayang sama kamu, Le! Banyakin berdoa sama Tuhan supaya dipermudah toh jalannya”
            Aku memeluknya erat. Dan menumpahkan air mata kepada sang ibu. Semua orang punya hak kok untuk menangis!!
            Lega rasanya setelah uneg-uneg ku itu sudah dikeluarkan. Tidak ada beban lagi yang kini mengganjal dihati. Tapi.. aku tetap harus menikahi Denisa!!

Saat Semuanya Terungkap..


            “Pak, ada titipan dari pak Bagas” ucap Mbak Ani sambil mendekatiku.
            “Ya, taro aja disitu” sambil menunjuk ke sudut meja kerjaku.
            Aku masih sibuk mengedit novel yang baru masuk. Kerjaanku menjadi lebih banyak sejak Bagas pergi.
            “Oya, mbak! Kenapa Bagas mempercepat cutinya?”
            “Saya kurang tau, pak! Mungkin kakaknya yang menyuruh”
            Ooo.. Aku mengangguk.
            Beberapa hari sebelum Bagas pergi, kami memang tidak saling bicara. Sepertinya Bagas masih kesal denganku, karena aku menjadikan Denisa sebagai pelampiasan cintaku. Aku tidak tahu kenapa Bagas sampai segitunya dengan Denisa. Mungkin rasa sayangnya yang terlampau cukup besar terhadap Denisa. Tapi, kenapa dia mempercepat cutinya??
            Aku membuka sebuah kotak berwarna hijau pekat pemberian Bagas. Ternyata kotak itu berisikan foto-foto Denisa dengan seorang pria. Pria itu mirip sekali denganku. Bagas juga menyisipkan surat didalamnya.
            Dear sahabatku..
            Sengaja ku perlihatkan padamu sebuah foto yang telah lama kusimpan. Mungkin kamu akan bertanya-tanya mengenai hal tersebut. Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu. Denisa adalah sepupu terbaikku. Ia memang tak secantik Zahra. Tapi ia adalah wanita paling kuat yang pernah kukenal. Sejak kekasihnya meninggal ia telah kehilangan sosoknya sendiri. Ia tidak mengenal siapa ia sebenarnya. Sampai aku dan tante Mira harus memasukkan Denisa ke panti rehabilitasi.
            Setahun lamanya kami diperbolehkan mengambil kembali Denisa karena kondisinya semakin membaik setelah menjalani beberapa terapi. Tapi, sejak kau datang semua seperti sia-sia. Wajahmu mengingatkan dirinya dengan mantan kekasihnya yang telah pergi. Tante Mira sudah lepas tangan. Hanya aku yang dipercaya oleh tante Mira untuk membantu Denisa. salah satunya adalah dengan menjodohkanmu dengan dirinya. Karena yang aku tau saat itu kamu tidak mempunyai kekasih. Tante Mira juga tahu kalau kamu adalah teman baikku. Itu jugalah yang membuat tante Mira berharap banyak dariku.
            Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, Bro. Denisa sangat mencintai kamu. Tapi aku sadar kalau cinta itu tidak bisa dipaksa. Apalagi ketika aku tahu bahwa kamu dan Zahra masih saling mencintai. Inilah lemahnya diriku. Aku bisa melakukan apapun tapi tidak dengan urusan cinta. Sekarang.. semuanya kuserahkan padamu. Aku yakin kamu lebih tau apa yang terbaik. Mungkin aku tidak akan kembali lagi ke Jakarta. Karena kakak memintaku untuk menemani Mama yang sudah semakin tua dan sering sakit-sakitan.
            Salam lelaki sejati..
            Aku kembali menitikkan air mata. Bagas berharap banyak dariku. Aku semakin bingung. Jika aku tetap mempertahankan Zahra, ibunya tidak akan menyetujui hubungan kami. Tapi jika aku mempertahankan Denisa? aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Oh Tuhan.. beri petunjuk-Mu..
            “Kamu toh harus punya prinsip, Le!” suara ibu keras.
            “Susah, Bu.”
            “Masalah itu ya jangan difikirin saja toh! Tapi diselesaikan”
            “Iya, Bu” aku memelas.
            “Apa perlu ibu yang ke rumah Dinda? Supaya orangtuanya mau percaya lagi sama kamu?”
            “Jangan, Bu!!” jawabku cepat sambil menggoyang-goyangkan telapak tangan.
            Baru kali ini aku mengalami masalah yang amat sangat rumit. Sebelum mengenal Zahra hidupku bebas lepas bagai burung diluar sangkar. Bahkan aku selalu mempermainkan wanita-wanita, terutama wanita yang sok cantik. Kubuat para wanita mencintaiku dan kemudian aku meninggalkannya.
            Di gedung putih bertuliskan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik itulah aku mengenal sosok Zahra. Anggun nan sopan. Berawal dari perkenalan biasa antara senior dengan junior yang berlanjut menjadi hubungan khusus. Selain sopan dan cantik, ia adalah sosok wanita yang agamis. Susah untukku mendapatkan cintanya. Namun setelah ku rayu dengan seribu satu cara akhirnya ia bisa membuka hatinya untukku.
            Gaya pacaran kami memang cukup aneh. Karena kami pacaran sehat. Setiap minggunya Zahra mengajakku ke lingkungan teman-temannya yang jilbaber itu. Sebenarnya agak risi juga. Teman-teman mengenalku sebagai preman kampus. Tapi sejak berpacaran dengan Zahra, mereka jadi memanggilku ustadz kampus. Agak panas juga nih kuping!
            Aku selalu mengajak temanku jika ingin ngedate dengan Zahra begitu juga dengannya.
            “Inget lho, vy! Kalau cewek sama cowok lagi berdua-duaan yang ketiganya itu setan! Ikh.. serem ya” ucapan Zahra yang selalu terngiang ditelingaku saat kami selesai shalat berjama’ah di mushalla kampus.
            Lama-kelamaan Aku semakin mengenal Zahra. Yang awalnya hanya iseng-iseng untuk pacaran sama cewek muslimah sekarang menjadi serius. Ternyata cewek-cewek jilbaber yang kukenal itu tidak selamanya terpaku pada agama saja. Mereka juga bisa bersosialisasi dengan lawan jenis dengan sangat baik walaupun memang mereka selalu menomorsatukan peraturan agama. Tapi, aku memang lebih nyaman berinteraksi dengan mereka terutama dengan para ikhwannya dibanding teman-teman rumahku yang tidak jelas arah hidupnya.
            Hanya beberapa tahun saja kami bersamanya, selebihnya musnah ditelan masa karena kebodohanku.
            Di teras rumah Zahra.
            “Mata kamu kok merah banget, vy?” ucapnya menyelidik.
            “Iya nih, aku ngantuk banget belum tidur. Dari kemarin harus ronda di rumah”
            Oo.. mulut Zahra membulat. “Dia siapa? Kayaknya aku baru liat” sambil menunjuk ke arah lelaki yang duduk disudut bangku. Tepatnya disampingku.
            “Dia teman rumahku. Tadi aku habis service motor dibengkelnya. Makanya aku ajak dia kesini. Namanya Agus.”
            Saat ponselnya berbunyi, Agus langsung pergi meninggalkanku. Ia keluar gerbang untuk mengangkat telpon. Mungkin takut mengganggu waktu romantisku dengan Zahra. Hehe..
            Tinggallah aku dan Zahra berdua malam itu. Walaupun begitu, aku tetap tidak berani mendekatinya. Zahra duduk di teras sedangkan aku duduk disudut bangku berhadapan dengannya.
            “Nda?”
`           “Ya?”
            “Malam ini temanku ultah di puncak. Aku ingin kesana sama Agus” suaraku pelan.
            “Teman dimana?”
            “Di rumah”
            “Aku gak suka kamu berinteraksi dengan teman-teman kamu, vy! Mereka gak baik buat kamu”
            “Iya, Aku tau. Tapi aku gak enak kalau gak dateng. Masalahnya dia adalah teman kecilku!”
            “Aku tetep gak suka! Mereka pemabuk, suka mainin cewek, pake narkoba! Ah.. Aku gak mau kamu kayak gitu. Please vy! Ikutin kata aku, sekali ini aja!”
            “Percaya sama aku deh! aku gak akan ikut-ikutan mereka kok”
            “Kalau aku bilang ngga, ya ngga..!” sambil menatapku tajam.
            Aku memang selalu menceritakan teman-teman rumahku kepadanya. Mungkin itu jugalah yang membuat Zahra tidak bisa percaya jika aku berkumpul dengan teman-teman rumah.
            Kami terdiam.
            “Aku akan tetap pergi!” sambil membelalakkan mataku yang merah darah.
            Disana aku dan Zahra beradu mulut yang sangat dahsyat. Sampai aku sempat menghampirinya dan ingin mencekik leher yang tertutup kerudung warna hijaunya.
            Kala itu aku memang lepas kendali. Aku berada pada pengaruh minuman keras. Sebelum ke rumah Zahra, aku berkumpul di rumah Ivan dengan teman-teman rumahku termasuk Agus. Bodohnya aku menuruti ajakan Ivan untuk menenggak minuman haram itu.
            Aku meminumnya hanya satu gelas sehingga aku tidak terlalu mabuk. Namun ternyata minuman itu membuat aku hilang kendali. Tidak dapat menahan amarah. Aku bagai harimau yang siap menerkam. Kejam.
            Dan..
            Plakk..
            Aku menampar pipi Zahra. Seketika itu ibunya keluar dan menyaksikan adegan kekerasan yang baru saja kulakukan kepada anak tercintanya itu.
            “Ada apa ini?”
            Tante Sarah keluarkan muka paling jutek dihadapanku.
            “Ng..ng.. engga tante, gak ada apa-apa!” jawabku gugup.
            Aku melihat kucuran air mata yang mengalir di wajah Zahra. Tapi ia menutupinya dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya menutupi pipinya yang terasa perih.
            “Dinda! masuk kamu!” ucap Tante Sarah sambil mengisyaratkannya lewat gerakan kepala.
            “Kamu pulang aja, vy!” suara lembut Zahra yang membuat hatiku teriris.
            Tapi kemudian ia pergi meninggalkan aku dan ibunya di teras.
            “Kamu kenapa sih, vy? aku aja sebagai orang tuanya gak pernah tuh marah-marah sama Dinda apalagi sampai memukulnya seperti itu” masih dalam posisi berdiri.
            “Maaf tante, aku bener-bener khilaf”
            “Lebih baik kamu pulang! Fikirkan kembali tentang hubungan kalian!”
            Raut wajahnya seketika itu berubah menjadi lebih ganas dari sebelumnya. Rupanya ia mencium aroma alkohol dari mulutku. Argh.. sudah jatuh tertimpa tangga pula.
            Aku benar-benar khilaf saat itu. Karena selalu ditimpa masalah yang bertubi-tubi dengan Zahra, akhirnya aku memilih jalan pintas, mabuk. Padahal sejak mengenal Zahra aku memang sudah tidak pernah lagi menyentuh minuman haram itu. Masa lalu yang suram.
            Sejak saat itulah hidupku mulai berubah. Aku bertaubat kepada Sang Pencipta. Mungkin aku sudah terlalu jauh dari jalan-Nya. Selama ini aku hanya ikut-ikutan Zahra untuk mengaji atau yang lainnya. Tapi semua itu belum juga bisa merubah sifat kerasku. Hidayah itu baru datang setelah aku benar-benar kehilangan orang yang aku sayang.
            “Oh Tuhan.. ampuni aku!”
            Dengan linangan air mata setiap malam aku bersujud kepada Sang Pencipta agar Zahra bisa kembali kedalam pelukanku lagi. Tapi rasanya semua itu sia-sia. Zahra malah semakin jauh dariku. Ibunya memindahkan Zahra ke kota kembang. Tempat kelahiran ibunya. Aku tidak bisa lagi menghubunginya.
            Wanita yang paling ku cinta kini telah pergi karena kebodohanku. Alkohol.. andai saja aku tidak meminumnya malam itu.
            Sebelum kepergian Zahra, ia menceritakan semua pembicaraannya dengan Tante Sarah, ibunya. Ternyata ibunya tidak akan pernah rela sedikitpun jika anaknya harus dipersunting oleh seorang pemabuk.
            Kala itu aku dalam kebimbangan. Aku ingin bercerita kepada ibu tapi rasanya sulit. Akhirnya aku bercerita kepada teman-teman rumahku.
            “Nyokapnya Dinda tau kalo gue mabuk! gue harus gimana nih kawan!”
            “Slow boy! Cewek gak cuman satu di dunia ini! di bawa happy aja lah!” ucap Ivan.
            “Heh.. kalo cuman itu solusi dari lo, gue gak butuh!! gue cuman sayang sama Dinda, Ngerti lo!”
            “Ah.. payah lo. Berapa sih Dinda lo itu harganya?”
            Hahaha..
            Teman-teman serempak menertawakan aku. Mereka sedang dalam pengaruh obat.
            Aku pun segera meninggalkannya. Aku gak butuh mereka!
            Tapi saat aku ingin pulang, motor ninja warna hijau menyerempetku hingga aku jatuh dan kepalaku membentur trotoar. Motor ninja itu langsung kabur meninggalkan aku yang terkapar dan terluka parah. Untung saja warga yang melihat cepat-cepat menolong dan membawaku ke rumah sakit terdekat.
            Saat bangun ternyata aku sudah berada dalam sebuah ruangan serba putih. Ibuku terus menangisiku yang terbaring lemah tak berdaya dari sudut kasur. Aku sedih melihatnya.
            Ibu bercerita padaku bahwa beberapa hari yang lalu ada seorang pria yang datang ke rumah mencariku. Tapi aku masih terbaring lemah di rumah sakit. Dan baru setahun kemudian ia datang kembali ke rumahku. Ternyata ia memberikan sepucuk surat untukku. surat kecil dari Zahra.
            Surat itu berisi..
            Dear Levy..
            Ternyata ibu memindahkan kuliahku ke Bandung. Berat rasanya menerima kenyataan ini, Vy. Aku gak bisa jauh dari kamu. Aku tau kamu khilaf malam itu. Aku sudah memaafkan kamu tapi ibuku mungkin belum bisa menerima semuanya. Aku berharap kamu bisa berubah. Maafkan kelemahanku selama ini. Aku butuh motivasi darimu agar aku bisa kuat menjalani kenyataan pahit ini. Jika suatu saat kamu punya waktu, tolong kamu ke Bandung. Ke jalan melati. Aku akan menunggu kamu tepat pada hari jadi kita. Aku butuh motivasi kamu, Vy. Aku bimbang..
            Surat singkat yang baru saja aku baca ternyata sudah setahun yang lalu. Mungkin itu sebabnya Zahra tak bisa lagi menerima kehadiranku.
            Aku coba menyusulnya ke Bandung. Tapi saudaranya bilang Zahra sudah tidak tinggal lagi disana. Fikiranku menjadi kacau. Sampai akhirnya aku lulus skripsi dan ibu menyuruhku untuk bekerja diperusahaan paman. Mau gak mau aku harus menuruti ibu. Karena waktu itu aku benar-benar seperti orang gila. Ibu sampai heran melihat tingkah laku anehku.
            Hari demi hari kulalui seorang diri. Aku menutup diri dari kehidupan ini. Membiarkan diriku hanyut pada kesunyian. Di danau itu aku menghabiskan waktu di awal-awal masa kerja. Tapi setelah pekerjaanku mulai menumpuk, hanya sesekali saja aku bisa ke danau itu. Danau tempat aku bertukar cerita dengan Zahra. Dan hanya di danau itu juga Aku bisa berdua saja dengannya.
            Aku tidak lagi berteman dengan Ivan dan teman-teman rumahku lainnya. Itulah yang menjadikanku selalu menyendiri. Setelah pulang kerja aku langsung ke kamar dan tidur. Begitulah setiap hatinya. Sampai pada suatu ketika si twin Dara dan Susi menanyakan nama facebookku. Aku baru teringat tentang akun facebook yang dulu pernah kumainkan bersama Dinda. Dan aku coba buka kembali akun itu. Ternyata aku masih ingat passwordnya, hehe..
            Sejak saat itulah aku mengenal sosok Denisa. Bidadari di facebook yang ternyata menghancurkan impianku dengan Zahra.
            Tante Mira selalu mempertanyakan tentang hubunganku dengan Denisa. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengiyakan permintaannya untuk melamar anaknya, Denisa. Aku pun segera merundingkannya dengan Ibu.
            “Apa kamu serius toh mau melamar Denisa?”
            “Iya, bu” jawabku pasrah.
            “Lalu Dinda, gimana?”
            “Aku sudah ikhlasin dia Bu, untuk orang lain yang lebih baik dariku”
            Ibu menatapku kasian.
            “Tapi Le! Kamu kan belum berusaha nemuin ibunya, toh?”
            “Aku gak sanggup, Bu. Mungkin Tante Sarah gak akan pernah menerima kehadiranku lagi”
            “Yang sabar ya, Le! Kamu pasti kuat kok menerima kenyataan ini” ibu berusaha menenangkanku
            “Iya, Bu”
            Ibu mengusap-usap bahuku hingga akhirnya aku tertidur di pangkuannya. Malaikat penenang jiwaku.
            Pagi yang cerah segera menyapa. Hari itu aku terbebas dari tugas-tugas kantorku yang membosankan. Ibu mengajakku ke pasar untuk mencari sayuran dan bahan-bahan dapur lainnya karena persedian di dapur sudah habis. Sudah lama sekali rasanya aku tidak ke pasar lagi bersama ibu karena kesibukanku di kantor.
            Ternayata disana ada Tante Sarah dan Denisa juga. Aku sempat terkejut. Aku buru-buru menarik ibu agar bisa menghindari pertemuanku dengan Tante Sarah.
            “Ada apa toh, Le?”
            “Ada Tante Sarah, Bu. Kita ke tempat lain aja ya!”
            “Lho, kamu kok gitu. Kamu kenapa jadi pengecut gini toh, Le?”
            “Aku bukannya pengecut, Bu. Aku Cuma takut!”
            Ibu geleng-geleng kepala melihat tingkahku yang bersembunyi dibalik tubuhnya. Sepertinya Zahra melihatku tapi aku pura-pura tidak melihatnya. Jantungku berdebar cukup kencang. Karena aku dan ibu berjalan cukup cepat untuk menghindari Zahra. Payah deh!!
            Ibu memposisikan dirinya sebagai temanku saat ini. Ia mengerti sekali keadaan rapuhku. Aku menjadi nyaman dan bersemangat untuk menjalani hidupku lagi setelah sempat aku berfikir untuk mengakhiri hidupku. Tapi karena semangat dari ibu, aku bisa terus bertahan.
            Satu bulan berlalu sejak kepergian Bagas ke kota kembang itu. Dan surat darinya sudah mendarat dikotak surat rumahku. Bagas mengabarkan bahwa kakaknya melahirkan anak laki-laki yang gagah seperti ayahnya. Aku turut berbahagia karenanya. Bagas juga menyisipkan foto anak itu pada suratnya. Aku rindu Bagas!
            Walaupun aku dan dia dipisahkan oleh jarak tapi komunikasi masih tetap berjalan. Meski tidak sesering waktu di Jakarta. Ia memang sayang sekali dengan keluarganya. Mungkin rasa sayang itu juga berlaku untuk saudara-saudaranya, termasuk Denisa. ia berjanji akan menemuiku setelah ia berhasil mengembangkan bisnis kulit ayahnya. Karena kabar terakhir yang ku dengar bisnis ayahnya sudah hampir gulung tikar. Sejak ayahnya meninggal bisnis kulit itu diteruskan oleh suami kakaknya dan ternyata tidak sesuai harapan. “Semoga Bagas cepat ke Jakarta” aku membatin.
            Sementara itu di Danau.
“Dinda? Sedang apa disini?”
            Wanita berkerudung hijau muda yang berdiri dipinggir danau itu menoleh ke arahku dan tersenyum kecil saatku sebut namanya.
            “Aku mau bicara sama kamu, Rey!”
            “Bicara apa? Sejak kapan kamu disini?”
            “Sejak tadi siang aku sudah nunggu kamu lho!”
            “Kenapa gak kasih kabar kalau mau kesini?”
            “Kamu kan sering kesini jadi buat apa kasih kabar segala!” jawabnya lembut.
            “Ya udah.. kamu mau ngomong apa, Nda?”
            “Ibuku mau ketemu sama kamu, Rey.”
            Hah!! Aku sangat terkejut mendengarnya.
            “Mau ketemu? Emangnya ada apa, Nda?”
            “Aku gak tau, Rey. Semalam ibuku membaca catatan harianku di meja belajar. Aku ketiduran waktu selesai menulisnya dan gak sempat pindahin. Paginya ibu langsung nyuruh aku ajak kamu datang ke rumah”
            “Lho, emangnya kamu nulis apa toh?” logat ibuku ternyata bisa keluar juga dari mulutku.
            “Aku nulis banyak tentang kamu, Rey. Sebenernya aku merasa sepi saat pindah ke Jakarta. Temanku hanya Denisa. dan selama ini diam-diam aku selalu curhat di diaryku untuk sekedar menenangkan hatiku yang terasa sepi” jelasnya.
            Ooo.. Aku mengangguk.
            Sepertinya Zahra sudah terbiasa menyebut nama depanku tapi tidak denganku.
            “Lalu, apa hubungannya denganku, Nda? ibumu tidak suka denganku sekalipun aku sudah berubah” Aku menatapnya.
            “Aku percaya kamu sudah berubah!”
            “Tapi ibumu nggak, Nda!!”
            Diam sebentar.
            “Nda?”
            “Ya?”
            “Aku akan menikahi Denisa”
            Zahra tertunduk sedih.
            “Aku tau. Mungkin memang sudah jalannya seperti ini, Rey. Aku senang jika melihatmu bahagia. Denisa adalah sahabatku. Dia baik untukmu”
            “Hmm..” Aku mendesah pelan dan merasakan hembusan angin yang sejak tadi meneduhkan panasnya mentari, “Aku sayang kamu, Nda” batinku.
            Sebenarnya aku ragu untuk pergi ke rumah Zahra. Aku masih takut sekali dengan Tante Sarah. Oh Tuhan.. beri aku kekuatan!!
            Malamnya aku merundingkan kepada ibu perihal undangan Tante Sarah untuk ke rumahnya.
            “Ya udah.. itu kesempatan kamu toh untuk minta maaf sama ibunya Dinda”
            “Tapi aku takut, Bu”
            “Apa toh yang harus ditakutin? Kita Cuma boleh takut sama Tuhan, Le!”
            “Aku takut kehadiranku nanti justru akan membuatku lebih jauh lagi dengan Dinda, Bu”
            “Le! Gak ada salahnya kamu ketemu dulu sama ibunya Dinda!!”
            Setelah debat panjang dengan ibu, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke rumah Dinda.
            Malam itu ponselku berbunyi, ternyata Tante Mira menelponku.
            “Halo, Rey?”
            “Iya, kenapa tante?”
            “Denisa masuk rumah sakit. Bisa temenin tante, Rey?”
            Dengan nada cemas dan khawatir tante Mira mendesakku untuk pergi menemaninya di rumah sakit. Setelah meminta izin kepada ibu, Aku bergegas menyusul Tante Mira.
            Saat di rumah sakit tante Mira hanya bisa mondar-mandir  didepan pintu ruangan. menunggu kabar dari dokter.
            “Tante tenang ya! Semoga Denisa baik-baik aja!” sambil mendudukkan tubuhnya ke bangku.
            “Tante panik banget, Rey. Tante takut Denisa…”
            “Ssstt.. tante gak boleh berfikir yang negatif ya!” sergahku dan segera memeluknya.
            Tante Mira menangis tersedu. Aku kasihan melihatnya, namun aku tak bisa berbuat banyak selain menenangkan kecemasannya. Denisa adalah anak satu-satunya tante Mira.
            Tante Mira juga belum memberitahu Bagas tentang masuknya Denisa ke rumah sakit. Berkali-kali aku menghubungi ponselnya, tapi tidak bisa.
            Kulewati malam itu dengan tante Mira. Ia tidur menyender dibahuku. Tapi aku masih belum bisa tertidur. Dokter di dalam belum juga keluar. Lama banget sih!
            Dua jam berlalu. Akhirnya dokter keluar dan mengabarkan kalau Denisa koma dan mengidap kanker. Tante Mira sempat syok mendengarnya. Ia langsung masuk ke dalam dan memeluk Denisa yang masih terbujur lemah dengan beberapa selang infusan di tangannya.
            Teringat bahwa Zahra adalah sahabat Denisa, akupun segera menghubunginya. Dan satu jam kemudian Zahra tiba di rumah sakit.
            “Gimana keadaan Denisa, Rey? Dia baik-baik aja kan?”
            “Dia koma, Nda..”
            “Ssst..” bisik Zahra.
            “Maaf.. dia koma, Ra.” ucapku mengulang.
            Zahra langsung mendekati tante Mira.
            “Tante, yang sabar ya! Denisa pasti sembuh kok” ucap Zahra sambil memeluk tante Mira.
            Tante Mira terus saja menangis. Aku dan Zahra sampai kebingungan menghadapinya. Jam menunjukkan pukul satu malam. Tante Mira baru tertidur di sofa. Aku dan Zahra secara bergiliran menjaga Denisa. Aku sangat lelah dan langsung tertidur. Sedangkan Zahra masih duduk disamping Denisa sambil membaca al-qur’an. Sekilas aku sempat mendengar suara merdunya, kemudian aku langsung terlelap.
            Aku bangun lebih awal karena mendengar suara adzan. Aku melihat Zahra masih mengenakan mukenanya diatas sajadah.
            “Kamu belum tidur dari semalam, Ra?”
            Ia hanya diam. Tidak menjawab pertanyaanku.
            “Ra?” sambil mencolek bahunya.
            “Ah..” desahnya pelan seraya membuka mata.
            “Udah shubuh, Lho!”
            “Yang bener? Kok gak terasa ya?” suara lembut Zahra.
            “kamu sih khusyuk banget berdoanya. Hehe..”
            Zahra tersenyum malu.
            “Shalat berjama’ah yuk!” ajakku.
            Zahra mengangguk.
            Teringat masa lalu bersamanya. Setiap panggilan adzan di kampus, aku selalu ke mushalla dengan Zahra dan shalat berjama’ah setelah itu kami share tentang masalah-masalah apa saja. Baik tentang keluarga atau pelajaran di kampus.
            Seusai shalat..
            “Jangan Lupa berdoa untuk kesembuhan Denisa!” suara Zahra yang terdengar dari belakangku. Aku mengangguk.
            Aku dan Zahra berpamitan dengan tante Mira. Karena hari itu kami masuk kerja.
            “Makasih ya udah nemenin tante disini”
            “Sama-sama tante” ucapku berbarengan dengan Zahra.
            Zahra tidak mau aku antar, akhirnya kami berpisah di depan gedung rumah sakit. Tapi sebelum berpisah Zahra berkata, “Jangan lupa nanti siang ke rumahku”
            Aku mengacungkan jempol tanda setuju.
            Siang itu..
Jantungku berdegup kencang dari biasanya. Perasaan tidak karuan kini menyelimuti hatiku. “Semoga baik-baik saja” aku membatin.
            “Permisi!!”
            “Masuk, Rey” ucap Zahra.
            “Ibumu dimana?”
            “Ada tuh di dapur. Tunggu ya, aku panggil dulu”
            Aku mengangguk.
            Lima menit kemudian..
            “Apa kabar, Rey”
            “Ba.. ba.. baik tante” ucapku gugup.
            Keringatku terasa mengucur deras sekali. Dan hawa panas yang bergelut pada tubuhku membuatku tidak nyaman. Mungkin wajahku sudah terlihat pucat saat tante Sarah menghampiriku.
            “Dinda, bisa kamu tinggalkan kami berdua?” pinta tante Sarah.
            “Iya, Bu” jawab Zahra bingung.
            Sebenarnya ada apa ya? Banyak pertanyaan yang mengusikku saat itu. Kenapa tante Sarah menyuruhku untuk datang ke rumahnya? Kami hanya tinggal berdua. Aku dan tante Sarah.
            “Tante tau kalau kamu sayang sekali dengan Dinda, begitu juga dengan dia”
            Aku menatapnya serius.
            “Sebenarnya tante gak suka kalau Zahra harus berteman apalagi berpacaran dengan seorang lelaki yang pernah menyentuh barang haram. Kamu ngerti maksud tante kan, Rey?” sambungnya.
            Aku mengangguk.
            “Aku ngerti tante. Aku memang gak pantas untuk Zahra. Aku ikhlas jika Zahra tante jodohkan dengan lelaki lain yang lebih baik. tapi sungguh aku benar-benar menyesal. Sejak saat itu aku tidak lagi menyentuh barang-barang yang tante maksudkan”
            “Tante bener-bener gak rela, Rey.. tante gak rela.. hiks..” ucap tante Sarah tersedu.
            “Maafkan aku, Tante. Aku janji akan pergi jauh dari Zahra jika itu yang terbaik menurut tante. Sekalipun aku harus tersiksa. Kebahagiaan Zahra adalah kebahagiaanku juga”
            “Tante gak tega, Rey. Melihat anak yang sejak kecil tante rawat dengan segenap kasih sayang kini mencintai orang lain”
            Air mata tante Sarah berlinang. Aku jadi merasa bersalah.
            “Tante tau masa lalu kamu tidak seperti yang tante harapkan. Tante selalu berdoa supaya Zahra mau membuka hatinya untuk lelaki lain. Tapi sampai sekarang ia tidak pernah melakukannya. Ia tidak pernah lagi curhat sama tante. Ia lebih banyak diam. Tante merasakan perubahan dia sejak kembali ke jakarta, Rey. Tante seperti tidak mengenal anak tante sendiri” ucapnya lirih.
            Aku tertunduk sedih. Aku merasakan ada yang menikam jantungku berkali-kali. Kesetiaan Zahra padaku membuat aku percaya bahwa cintanya selama ini memang tulus. Dan aku telah merusaknya dengan kebodohanku. Lelaki macam apa aku ini! Oh Tuhan.. ampuni aku..
            Aku menahan air mataku. Aku merasa seperti lelaki tak berharga untuk Zahra. Tapi kenapa Zahra terus bertahan pada hatinya. Maafkan aku Nda!
            “Tante cuma mau kamu tau, kalau tante sayang banget sama Dinda. Tante gak mau kamu sakiti dia lagi, Rey!”
            Aku mengangguk. Sesekali aku mengusap air mataku yang sudah mendesak ingin keluar.
            “Permisi!”
            Tante Sarah langsung pergi meninggalkanku. Mungkin ia sudah tidak kuat menahan air matanya. Kulihat disudut ruangan, Zahra berdiri mematung. Sepertinya ia mendengarkan pembicaraan antara aku dengan ibunya. Matanya teduh. Ada raut kesedihan pada wajahnya. Ingin rasanya aku memeluk Zahra, tapi tidak mungkin. Zahra pasti menolak.
            “Maafkan aku, Nda. Buatlah ibumu bahagia. Aku ikhlas jika kamu harus melupakanku demi ibumu”
            Zahra menggeleng.
            “Sampai kapanpun. Nama dihatiku tidak akan pernah berubah, Rey”
            Aku menghela nafas panjang dan kemudian berpamitan dengan Zahra. Tante Sarah sedang mengurung dirinya di kamar dan membuat aku tidak bisa berpamitan dengannya.
            “Salam untuk ibumu. Aku benar-benar minta maaf sudah membuat ibumu menangis” ucapku lirih.
            “Iya.” Zahra mengangguk.
            Tante Sarah sudah membuka hatinya kembali untukku. Rasa senang dan sedih kini menjadi satu. Disisi lain aku harus menikahi Denisa. Oh Tuhan ! inikah yang disebut tidak jodoh? Mengapa Kau persulit jalanku bersama Zahra, aku membatin.
            Aku kembali lagi ke rumah sakit untuk menemani tante Mira menjaga Denisa. karena tante Mira tidak memiliki sanak famili di Jakarta ini. Dan Bagas menitipkan mereka kepadaku. Aku jadi merasa bertanggung jawab atas kehidupan mereka.
            Di rumah sakit.
            “Lho, neng Zahranya kemana, Rey?” tanya tante Mira.
            “Sedang ada urusan lain, Tante! Denisa gimana keadaannya?”
            “Dia sempat sadarkan diri sebelum kamu datang, tapi hanya beberapa menit saja”
            Aku segera masuk ke ruang perawatan dan mendapati Denisa masih terbujur lemah tak berdaya diatas ranjang. “Semoga cepat sembuh ya, Den” gumamku pelan.
            Seketika itu aku teringat dengan ucapan Zahra.
            “Waktu ibu mengurungku di kamar, memindahkan tempat kuliahku, menjauhiku dari kehidupan bersama sahabat-sahabatku, dimana kamu?? Padahal yang kubutuhkan adalah dirimu. Semangat darimu!”
            Ah.. Aku membatin. Aku harus bicara empat mata dengannya dan menjelaskan semua, ucapku mantap dalam hati.
            Seminggu kemudian Denisa diperbolehkan pulang setelah melewati masa kritisnya selama empat hari. Dan setelah aku mengantar Denisa juga Tante Mira, aku segera berpamitan untuk pulang karena malam itu sudah sangat larut.
            Di rumah.
            “Le, kamu sudah makan belum?” kata ibu.
            “Udah, Bu.”
            Ibu menghampiriku yang sedang asik menonton film dunia lain. Aku sering menontonnya dulu bersama Zahra. Di rumah masing-masing, hehe..
            “Kok belum tidur?”
            “Lagi seru, Bu. Liat deh ada penampakkannya tuh!!” sambil menunjuk ke layar televisi.
            “Ah, kamu toh Le, tidur aja masih dikelonin pake sok nonton film serem. Weleeh..” ibu mencibir.
            Dan seperti biasanya, aku tertidur di pangkuan ibu.
            Pagi harinya aku bangun kesiangan.
            “Hah? Jam delapan? Aku telat!” ucapku kaget.
            Aku langsung grasa-grusu di kamar mandi dan berlari ke kamar. Lemari pakaianku berantakan semuanya karena aku terburu-buru. Hari ini ada meeting dengan Pak Dodi. Ibu sampai geleng-geleng kepala melihatku yang seperti kebakaran jenggot. Repot deh!
            Huh.. gara-gara nonton dunia lain semalem jadi kesiangan deh..
            Sesampainya di kantor, aku disambut Pak Dodi dengan muka jutek dan ceramah gratis. Aku beralasan kalau ban motorku bocor di jalan. Akhirnya ia bisa memahami juga dengan menyuruhku masuk ke ruang meeting. Gak mungkin khan kalo alasan terlambat karena semalam nonton dunia lain.. bisa bonyok nih muka, hiiyy..
            Memang terkadang aku suka terlambat, tapi tidak waktu meeting. Apes!!
            Siang harinya aku ada janji dengan Zahra di Danau. Aku ingin mengungkapkan semua hal yang belum ia ketahui. Masa laluku dan alasan mengapa aku tidak datang menemuinya di hari jadi kita.
            “Katakan saja, Rey!” ucap Zahra lembut.
            “Masa laluku memang suram, Nda. Aku dulu memang pernah mabuk dan sempat nge’drugs. Karena lingkungan rumahku semua memang seperti itu. Tapi orang tuaku tidak tahu menahu mengenai hal tersebut.”
            Zahra menundukkan wajahnya sedih.
            “Terus?”
            “Sejak mengenalmu Aku baru sadar kalo aku sudah salah jalan, Nda. Dan aku sudah tidak lagi menyentuh barang-barang itu demi kamu. Wanita berjilbab sepertimu pasti tidak akan sudi mengenal orang sepertiku. Makanya aku selalu merahasiakan masa laluku darimu. Walaupun aku pernah mengunakan barang haram itu, bukan berarti aku akan menghancurkanmu juga. Lama kelamaan cinta itu tumbuh dengan sendirinya. Tingkah lakumu, ke imananmu, semua yang ada dalam dirimu membuat aku ingin merubah diriku menjadi lebih baik.”
            “Lalu, kenapa kau menyentuh barang haram itu lagi, Rey?” ucapnya tersedu.
            “Aku stres, Nda. Masalah kita yang selalu datang bertubi-tubi, Cowok-cowok yang cari perhatian denganmu, teman-temanku yang mengatakan kalo aku gak pantes buat kamu. Itu semua membuat aku semakin gak nyaman. Aku curhat sama ivan, ia malah nyuruh aku meminum minuman haram itu. Aku terpaksa meminumnya karena aku gak tau harus gimana lagi, Nda!”
            “Bodoh!” teriak Zahra.
            “Iya, Aku memang lelaki paling bodoh di dunia ini. Wanita yang sangat menyayangiku justru aku patahkan hatinya. Maafkan aku, Nda!”
            Zahra menangis.
            “Terus, dimana kamu dihari jadi kita? Aku nunggu kamu seharian, tapi apa, Rey? Kamu gak dateng!”
            “Aku di rumah sakit, Nda.”
            Aku menunduk.
            “Siapa yang sakit?” ucapnya pelan.
            “Aku.”
            Zahra menatapku.
            Kami terdiam sambil merasakan angin yang berhembus halus.
            “Dinda, kaulah peri terindahku!” gumamku dalam hati.
            Aku juga menceritakan kehampaan diriku setelah Zahra pergi. Kerja kerasku untuk bangkit melawan kerasnya pengaruh teman-teman rumahku kini membuahkan hasil. Aku tidak lagi kecanduan yang namanya minuman keras dan obat-obat terlarang. Aku merasa seperti dilahirkan kembali didunia ini. Fisikku semakin sehat. Tapi tidak dengan jiwaku yang masih sepi. Aku ingin Zahra melihatku terbebas dari keterpurukan itu.
            “Tapi, Rey..”
            “Kenapa?”
            “Kamu bukan lagi untukku!” ucapnya sedih.
            Aku tersenyum kecut.
            “Iya, Nda. Aku tau itu. Aku sayang kamu. Carilah lelaki yang lebih baik dariku.”
            Zahra hanya diam. Menatapi perahu bebek yang bergoyang diterpa angin. Akupun ikut menikmati pemandangan itu. Sambil sesekali melihat wajah gadis yang berdiri disampingku. Cantik!
            Sejak tadi Aku menahan air mataku. Aku tidak ingin Zahra melihatku rapuh.
            Sebuah takdir yang sulit untukku terima namun terus mendesakku. Tuhan lebih menyayangi Zahra daripada Aku. Dia memilihkan lelaki yang terbaik bahkan sangat baik untuk Zahra. Seorang wanita yang sangat mencintai Tuhannya. Itulah balasan untuk Zahra. Kebahagiaan..
            Tidak denganku. Lelaki jahat dan bodoh, yang hanya bisa berhura-hura di dunia yang fana ini.
            Sekarang Aku baru mengerti arti sebuah hidup. Dari Zahra dan Ibunya. Wanita kuat dan memiliki prinsip dalam hidupnya untuk tidak terbawa kerasnya arus globalisasi. Aku juga belajar ikhlas dari Zahra. Ikhlas menerima semua ujian dari Tuhan. Dan menerima Denisa sebagai calon istriku. Walaupun sulit tapi Aku akan selalu mencoba untuk mencintainya.
            Semingu setelah itu Aku tidak lagi bertemu Dinda. Tante Sarah memberitahuku kalau Dinda sudah pergi ke luar kota untuk mengembangkan bisnis grafitinya. Tapi dibalik itu Aku tau kamu terluka, Dinda.. maafkan Aku!
..
Kepergian Mereka..

            “Makasih ya, Rey.”
            “Untuk apa?”
            “Untuk pernikahan kita.”
            Aku mengangguk.
            Wanita yang duduk disampingku itu adalah Denisa. Ia mengenakan baju warna hijau kesukaan Zahra. Tapi tidak secantik Zahra, Aku membatin.
            Pernikahan kami baru berjalan sebulan. Tapi rasanya Aku benar-benar tidak bisa menerima takdir ini. Astaghfirulah..!!
            Aku tidak pernah menyentuh Denisa sedikitpun. Aku merasa asing dengannya. Sampai suatu ketika Denisa jatuh sakit. Suhu badannya meningkat drastis. Aku dan Tante Mira langsung membawanya ke rumah sakit.
            Denisa terbaring lemah. Aku hanya bisa menatapnya dari sofa bersama Tante Mira.
            “Rey?” Denisa memanggilku.
            Aku segera menghampirinya.
            “Kenapa, Den?”
            “Jangan tinggalin aku ya!” ucapnya pelan.
            “Iya, Den.” sambil mengusap punggung tangannya.
            “Rey?”
            “Ya?”
            “Apa kamu menyayangiku?”
            “Tentu!”
            “Kalo aku mati, apa kamu akan cari penggantiku?”
            Aku diam mematung, melihat mulut Denisa yang ditutup oksigen. Sepertinya ia sulit bernafas.
            “Sstt.. kamu jangan mikir yang aneh-aneh dulu ya!”
            Denisa tersenyum.
            Aku menyuruhnya istirahat. Ia pun segera memejamkan matanya. Aku semakin teringat dengan Zahra. Sedang apakah dirinya?
            Seperti yang dilakukan Zahra sewaktu menjaga Denisa, Aku bermunajat kepada Sang Pencipta. Meminta kesembuhan untuk istriku, Denisa. Aku memang belum menumbuhkan bibit cinta padanya, bukan berarti Aku tidak mendoakannya.
            “Rey?”
            Denisa terjaga dari tidurnya. Aku segera menghampirinya.
            “Ajarin aku shalat kayak kamu!” ucapnya pelan.
            Selama ini Aku baru menyadari bahwa Denisa tidak pernah beribadah. Aku sendiri sampai tidak tau agama apa yang dianutnya. Mungkin karena rasa cuekku selama ini yang membuatku tidak tahu banyak tentang istriku sendiri.
            “Kamu istirahat aja ya, Den! Kamu masih sakit.”
            “Apa aku perlu memintanya kepada Zahra, Rey?”
            Aku terkejut mendengarnya. Apa maksud ucapannya itu? Apakah dia tau tentang perasaanku dengan Zahra? Waduh.. gawat!!
            “Kamu bicara apa sih, Den? Tidur lagi ya!” pintaku.
            “Apa kamu masih cinta sama Zahra, Rey?” selidik Denisa.
            Aku diam.
            “Jawab aku, Rey!”
            Aku segera merebahkan tubuh Denisa yang sedang dalam posisi duduk diatas ranjangnya. Tanpa menjawab pertanyaan Denisa, Aku langsung meninggalkannya yang masih bertanya-tanya.
            Suara adzan shubuh sudah terdengar. Tanpa kusadari ternyata Aku tertidur dibangku ruang tunggu sejak jam tiga dini hari. Aku menuju ruangan Denisa dirawat dan mendapati Tante Mira masih tertidur dengan nyenyaknya begitu juga dengan Denisa.
            Lho, kenapa selang oksigennya di lepas??
            Aku berlari kearah Denisa dan mengecek nafasnya. Ternyata..
            Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun.. “Aku sayang kamu, Den.” sambil mencium keningnya.
            Wajahnya pucat pasi. Aku menyesal tidak bersamanya semalam. Maafkan Aku, Den. Maafkan Aku Denisa!! belum bisa memberi cinta ini untukmu.
            Kehilangan Denisa meninggalkan penyesalan buatku. Andai Aku bisa membahagiakannya disaat-saat terakhir hidupnya. Berulang kali kata maaf terucap dari mulutku sampai Denisa masuk ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
            Tante Mira memutuskan untuk tinggal di Bandung bersama Bagas. Aku tidak bisa mencegahnya karena memang ia hanya seorang diri di Jakarta. Aku juga memutuskan untuk tinggal bersama Ibuku lagi dan memfokuskan hidupku pada pekerjaan.
            Sampai pada suatu ketika Aku disuruh Ibu untuk resaign dari pekerjaanku sebagai editor dan mengurus panti asuhan milik om Very, adiknya Ibu. Dengan berbagai macam pertimbangan akhirnya Aku menyetujuinya.
            “Salam ya buat om Very, ibu minta maaf toh gak bisa anter kamu!”
            “Iya, Bu. Gak apa-apa kok!”
            Aku segera berpamitan dengan Ibu dan mencium keningnya.
            Semalaman di Bus rasanya sangat membosankan. Punggungku terasa pegal dan kepalaku pusing. Tapi mau gimana lagi toh? Naik Bus lebih aman!
            “Maskernya masker lima ribuan, Tissuenya tissue dua ribuan. Mbak mau beli tissue?”
            “Gak, Mas. Makasih.” sambil melengos.
            “Murah lho, Mbak.”
            Percakapan antara pedagang asongan dengan wanita bertopi biru di depanku membuat aku mempercepat langkahku supaya tidak dijegat oleh pedagang itu. Hehe..
Para pedagang asongan menjual barang-barang dagangannya di sekitar terminal.
            “Mas, Tissuenya satu!” pinta seorang wanita sambil menngangkat telunjuknya.
            Pedagang itu manggut-manggut kegirangan karena ada yang membeli dagangannya. Pengunjung terminal ramai sekali. Aku memutuskan untuk mencari tempat duduk untuk beristirahat karena sejak tadi harus berdesak-desakan dengan para calon penumpang kereta api.
            Akhirnya setelah melewati beberapa jalan dari terminal Aku sampai juga di rumah om Very. Om Very mempunyai panti asuhan di dekat rumahnya. Ia menyukai anak-anak. Namun sejak ia bergelut pada bisnis batiknya ia kewalahan mengurus panti asuhan kecilnya itu. Mengingat Ibuku adalah kakak terbaiknya, iapun membicarakan masalah itu kepadanya. Finally, Aku yang turun tangan. Hmm.. gak apa-apa deh, itung-itung cari pengalaman baru.
            “Ini dia jagoan kita datang, hehe..” sambut om Very saat melihat kedatanganku.
            Aku tersenyum malu.
            “Apa kabal, mas Ley?” tanya Kiki, anak om Very yang baru duduk di kelas satu SD.
            “Baik, kamu sendiri apa kabar? Masih ngompol gak? Hihi..”
            Kiki cemberut.
            “Ikh.. mas tuh yang macih ngompol, aku cih pake pempes jadi ndak ngompol, wek!” sambil memeletkan lidahnya.
            Aku, Om Very dan Tante Riska tertawa melihatnya.
            “Apa kabar, Rey? Ibu kok gak diajak?” tanya om Very.
            “Baik, Deni masih ujian om, jadi Ibu gak bisa ikut.”
            “Oh gitu, ya sudah kamu istirahat dulu sana. Besok baru om kasih tau cara mengurus panti.”
            “Iya!”
            Kemudian om Very membimbingku ke kamar tamu untuk tempat istirahat.
            Ternyata malam hari di Jawa Timur lebih dingin daripada di jakarta. Aku masih belum bisa menyesuaikan diri. Maklum, baru hari pertama!
            Saat Aku mulai memejamkan mata tiba-tiba sekelabat bayangan lewat di depan mataku. “Ah.. si..siapa disana?” ucapku gugup.
            Tapi tidak ada jawaban. Hanya deruan angin yang sesekali terdengar dari balik jendela. Aku mengamati sekeliling ruang kamar. Tidak ada siapapun. Mungkin hanya perasaanku saja!
            Jantungku berdegup kencang. Nafasku masih memburu cepat. Gelisah..
            Akhirnya Aku menutupi seluruh tubuhku dengan selimut agar tidak bisa melihat bayangan itu lagi. Ikh.. angker juga nih kamar! gumamku dalam hati.
            Besok paginya Aku menceritakan kejadian semalam kepada om Very. Tapi ia hanya tertawa.
            “Kamu nih ada-ada aja, Rey! Wong gak ada apa-apa kok!”
            “Tapi, om.. iseng aja ngeliatnya! Hih..” sambil mengangkat bahu.
            “Ya udah, besok-besok kalo tidur jangan lupa bawa sapu! Buat gebukin tuh hantu, hehe..”
            Ih, om Very.. orang lagi serius kok dibecandain.
            Setelah sarapan, om Very memberi pengarahan untukku tentang panti. Aku mengangguk-angguk mendengarkannya. Mengerti..
            Siangnya Kiki rewel banget minta ditemenin jalan-jalan ke wahana bermain anak. Karena om Very dan Tante Riska masih sibuk, akhirnya Aku deh yang disuruh.
            “Oke oke! Tapi inget! Gak boleh nakal, lho.”
            “Iya, mas Ley. Bawel!”
            “Dasar tukang ngompol, hihi..”
            “Bialin, wek..”
            Ternyata Kiki tenaganya full banget. Gak lobet-lobet! Gile..
            Aku sampai kuwalahan nemenin Kiki. Kesana kemari naik kereta gantung lanjut ke pesawat terbang, kemidi puter, waduh..
            Kakiku sudah terasa lemas.
            “Ki, pulang yuk! Mas cape nih..”
            “Ih, mas kayak anak kecil aja nih, Kiki kan belum naekin semua mainannya, tauu..” sambil memonyongkan bibirnya.
            “Yaudah kamu naik, tapi mas tunggu disini aja, ya?”
            Kiki mengangguk dan kemudian berlari entah kemana.
            Sambil menunggu Kiki bersenang-senang, Aku memasuki ruang pameran yang berada disekitar tempat wahana.
            Aku melihat banyak lukisan menarik dan beberapa wanita berbaju juga bercadar hitam diruangan itu. Ada sebuah lukisan yang membuatku terkesan. Sebuah danau. Tapi kenapa gambarnya belum selesai? Pelukisnya mungkin memiliki arti dibalik lukisannya itu. Aku bertanya pada salah satu wanita bercadar yang juga sedang melihat lukisan itu di belakangku.
            “Permisi! Apa anda tahu makna lukisan ini?”
            Wanita itu mengangguk.
            Tapi.. mata itu? Aku kenal!
            “Dinda?”
            Wanita itu mengangguk.
            “Apa kabar, Rey?”
            “Baik, kenapa kamu pakai pakaian seperti ini? Aku takut ngeliatnya, serem! Hehe..”
            “Jangan ngobrol disini ya, Rey. Besok kita ketemu ajh di terminal.”
            Aku mengacungkan jempol, oke!
            Setelah berpisah dengannya, Aku menemui Kiki di wahana bermain anak-anak ternyata dia sedang asik makan es krim sendiri.
            “Hey! Sudah capek, ya?”
            “Ikh.. mas kemana aja cih? Aku caliin daritadi, tau!”
            “Hehe.. maaf ya! Tadi mas ke ruang pameran sebentar. Kamu sih mainnya lama banget.”
            Kiki nyengir-nyengir sendiri melihat Aku cemberut.
            Tak terasa hari sudah sore. Aku langsung mandi dan makan. Aku baru akan mengurus panti minggu depan. Hanya sesekali saja Aku menengok ke panti untuk mengecek kondisinya sekalian belajar menyesuaikan diri di lingkungan panti.
            Malam harinya ku coba mengingat kembali wanita bercadar hitam itu. Wajah Zahra yang hampir tak bisa kubentuk dalam benakku. Karena sudah lama sekali Aku tak bertemu dengannya. Sekali ketemu malah gak bisa ngeliat mukanya. Haduhh..!!
            Keesokan harinya di terminal.
            “Kenapa gak dipake lagi cadarnya?”
            “Kemarin aku kan sedang bersama teman-temanku, untuk sekedar menghormati aja, kok”
            Ooo.. Aku manggut-manggut.
            “Lho, bukannya kamu ke Bandung? Kenapa nyasar kesini? Hehe..”
            “Aku lagi nginep di rumah temanku, kebetulan aku sedang ada event disini.”
            “Jadi, pameran itu?”
            “Iya, aku salah satu panitianya.”
            “Terus, Lukisan kemarin, milikmu?”
            “Iya.” sambil nyeruput teh botolnya.
            Suasana terminal yang tidak pernah sepi. Aku dan Zahra mencari tempat duduk yang nyaman untuk ngobrol sambil minum teh botol.
            “Kenapa gambar danaunya cuma setengah aja? Perahu bebeknya juga cuma setengah!”
            “Hehe.. kamu bukan orang pertama kok yang nanya itu.”
            Zahra melengos.
            “Makna dibalik gambar itu adalah..” Zahra menggantung ucapannya hingga membuatku mengerutkan kening. Bingung.
            “Apa?” sergapku.
            “Hehe.. pelukisnya bilang kalo danau yang sebelahnya gak bisa dia gambar, karena sudah dimiliki orang lain!”
            Ia tersenyum. Tapi terlihat ada setitik rasa kecewa pada matanya yang teduh.
            Aku baru menyadari bahwa yang dimaksud Zahra adalah Aku. Ya.. Aku yakin!
            “Kamu gak tau ya! Danau itu kan sudah dijual, lho.”
            “Masa sih?” Zahra terkejut.
            Kok pelukisnya malah bingung sih? Hehe..
            Kami saling menatap.
            Setelah itu barulah kami masuk pada pembicaraan serius. Aku memulainya dengan pernikahanku dan Denisa yang hanya bertahan beberapa bulan saja. Juga pada pekerjaan baruku di panti asuhan milik om Very.
            “Aku turut berduka, Rey.”
            Aku mengangguk.
            “Makasih, Nda!”
            “Apa kamu masih mencintai istrimu, Rey?”
            Aku tersenyum. “Jawabanku gak akan berubah.”
            Zahra kebingungan.
            “Maksud kamu?”
            Aku mengangkat bahu.
            “Entahlah.. hehe..”
            “Kamu nih, suka banget bikin orang bingung deh!”
            “Sampai kapanpun kau tetap dihatiku, Dinda sayang!” ucapku cepat sambil mencolek hidungya dan berlari meninggalkan Zahra seorang diri.
            Zahra berteriak memanggilku.
            “Maaf Dinda, Aku gak mau liat kamu nangis.” ucapku pelan.
            Aku melihat tatapan matanya yang mulai mendung saat Aku menceritakan soal Denisa. Aku berharap Zahra masih mencintaiku seperti Aku mencintainya sampai sekarang dan selamanya. Aku akan bertahan dengan cinta ini sampai ajal memisahkan.
                                                                                                                                                                 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar