Cinta, siapa orang yang tak mengenal
kata itu. Bukan hal yang tabu lagi saat ini jika ada anak usia dini sudah
mengenal istilah cinta yang di identikkan
dengan pacaran. Mereka akan tersipu malu jika ada temannya yang
menjodoh-jodohkan dirinya dengan seseorang. Bahkan tak jarang perjodohan itu
berakhir dengan kata ‘PACARAN’.
Dan,
ketika itu pula duniamu akan berubah, yakinlah!!!
Satu tahun berlalu. Hubunganku
dengannya semakin erat hingga akhirnya ada wanita lain yang menyelusup. Aku
tidak tahu wanita itu turun dari langit keberapa yang jelas ucapannya begitu
menyakitkan. Usianya sekitar tiga tahun di bawahku. Sudah sejak lama
memang aku merasakan ada cinta yang tumbuh darinya untuk Agha. Terlihat dari pesan-pesan dan komentarnya di
facebook. Setiap kali kutanyakan pada Agha,
ia hanya menjawab ‘adik-adikan’. Please deh!!!
Sudahlah... aku tak ingin mengingat
kejadian tersebut. Intinya sejak hadirnya ‘dia’ hubungan kami merenggang. Aku sudah
tak perduli lagi pada Agha
yang kerap kali berbohong padaku demi wanita ingusan itu. Hingga pada akhirnya
aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.
Biar saja semua menjadi kenangan.
Daripada aku harus bergulat dengan batin yang tidak jelas arahnya. Karena
memang setiap hari aku selalu di hantui
rasa cemburu yang tak berkesudahan oleh wanita itu. Semua berakhir! aku dan Agha. Mimpi-mimpi yang pernah
kita bangun untuk mewujudkan suatu bahtera rumah tangga yang indah kini pupus.
Ia terbang bersama mimpi-mimpi yang lain. Ternyata jalan kita tak lagi sama. Ia
tak lagi bisa menjaga hatinya seperti dulu. Padahal aku sudah berusaha untuk
selalu mengingatnya agar tak berpaling. Semua sia-sia. Ia telah pergi bersama
pembelaannya terhadap ‘adik-adikkannya’ tersebut. Ku tutup diary panjangku.
Kuakhiri dengan satu penyesalan!
***
“Aku
bersyukur banget bisa dapet wanita seperti kamu.” Bisiknya lembut.
Baru saja mulutku hendak berucap,
suaranya sudah kembali menyambung “Baik, pintar, alim, pokoknya the best lah.
makasih ya sayang udah mau percaya sama aku.”
Aku nyengir kuda, gombal banget sih!
“Iya sama-sama, Kak.”
“Loh,
kok kakak? Jangan panggil kakak ah.” Agha menampik.
“Iya,
maaf.”
hembusan napas
ku keluarkan
sebisanya, “Sa...
sayang” suaraku gugup. Sebetulnya aku tak pernah memanggil kata asing itu
selama pacaran dengan Agha. Tapi, kenapa aku terasa gugup untuk memanggilnya,
sayang.
“Nah.. gitu dong.”
Selama hampir satu tahun hubunganku
tidak ada hambatan yang signifikan. Ia masih manis dan romantis. Ia masih setia
menjemput dan mengantarku kemana pun
aku memintanya. Ia masih sering menelponku setiap malam. Kami masih selalu
bersama. Ia selalu menghiburku dan melindungiku dari gangguan para senior yang
genit. Ia yang rela kehujanan demi menjemput dan mengantarku pulang.
Tapi,
ada satu hal yang membuatku terkadang tidak nyaman. Ia sangat over acting
dengan wanita. Setiap ada wanita yang perhatian padanya pasti dibalasnya dengan sangat
berlebihan. Entah dengan memberikan hadiah atau dengan perhatian lebih. Apa
mungkin setiap orang yang tidak tampan atau tidak cantik memang begitu?
***
“Sayang, sudah sampai rumah?”
Send
Malam itu hujan turun deras tepat
setelah Agha mengantarku pulang. Jarak antara rumahku dengan rumahnya
sekitar dua jam perjalanan. Aku begitu gelisah. Ponselnya tidak bisa
dihubungi. Beberapa kali suara halilintar terdengar penuh amarah,
membentak langit dan seisinya. Angin pun tak mau kalah, ia mencoba terus
menerobos pepohonan yang berdiri kokoh.
Seketika itu aku pun terlelap. Aku terlalu lelah menjalani rutinitasku di
kampus. Hingga tak berapa lama ponselku bordering. Dengan sigap ku raih ponsel
kecil itu.
“Kamu udah tidur, Sayang?” suara lelaki
di seberang sana terdengar lelah.
“Kamu kenapa gak ada kabar? Tadi di
jalan hpnya mati ya? Trus kehujanan nggak?
Kamu baik-baik aja, Gha?”
Lelaki itu tak menjawab. Ia hanya
terkekeh, “Kamu perhatian banget sih. Aku baik-baik aja kok, Honey. Ya udah
kamu lanjut tidur sana. Pasti capek banget kan.”
Kulirik jam dinding kamarku. Jam
menunjukkan pukul satu malam. Agha baru sampai rumah jam segitu. Aku sangat menyesal telah
menyita waktunya untuk mengantarku pulang.
“Ya udah. Kamu istirahat juga ya.”
“Iya, Sayang.” Ia menarik napas, “Kata perpisahannya mana?”
“Kita berada dalam jalur cinta dan akan bertemu diujung
jalan itu, mmuaacch”
***
Sayang.. aku mau jujur sama kamu. Masa laluku tak hanya
berisikan wanita itu. Masa laluku
punya cerita yang tak menyenangkan dan sangat buruk. Aku pernah mabuk, memakai
ganja dan menggunakan obat-obatan terlarang. Aku juga pernah mabuk bareng
teman-teman perempuanku. Maaf jika pengakuanku terlalu sulit kau terima. Tapi, aku tidak ingin memendam ini terlalu lama.
JLEBB !!!
Aku merenung beberapa saat. Ku baca
lagi pesan masuk di ponselku itu. Tak percaya. Orang yang ku kenal baik selama
ini ternyata dulunya adalah seorang pemabuk. Pantas saja wajahnya begitu pucat.
Pantas saja bibirnya kehitaman. pantas saja ia tidak bisa gemuk meski dengan
beberapa treatment.
Tak lama setelah itu pesan masuk
menyusul,
Tapi.. semua itu hanya masa lalu. Sejak mengenalmu aku tak
lagi mendekati barang haram itu. Percayalah !
Wajahku serasa di tampar. Batinku seperti
tertusuk besi panas. Pedih, perih, sudah satu tahun lebih bersamanya ternyata aku baru mengenal
sosoknya.
Nenek-nenek pikun pun tahu kalau seorang pecandu itu sangat sulit untuk mengurangi
bahkan menghilangkan rasa candunya. Butuh waktu beberapa tahun untuk bisa
keluar dari zona tersebut. Aku dan Agha baru
saja saling kenal satu bulan. Ia sendiri mengakui bahwa tak lagi mendekati
barang haram itu sejak mengenalku. Berarti baru sekitar beberapa minggu saja ia
meninggalkan barang-barang haram itu. Impossible!!!
Tanpa disadarinya, aku menyelidiki dia
tanpa sepengetahuannya. Hingga akhirnya aku tahu kebenarannya. Ia mengkonsumsi barang
haram itu bahkan sampai sekarang. Dadaku semakin sesak. Tiap malam tak hentinya
aku menangisinya. Menangisi kebohongannya selama ini. Mungkin memang akunya
yang sudah dibutai oleh cinta manisnya.
Ucapan teman-teman tentang keburukannya
selama ini tidak aku gubris. Bahkan aku memusuhi mereka karena menganggap mereka
telah berbohong. Ya, Tuhan. Aku menangis sebisanya. Sejak itu pula hubungan kami
merenggang.
Tapi, Agha tidak tinggal diam. Ia tidak suka vakum. Ia menemuiku di
rumah dan berniat untuk membicarakan tentang masalah-masalah kita. Motor itu
menjadi saksi pertengkaran kita.
“Diam! Jangan
nangis, malu di lihat orang.” Suaranya mengeras hingga beberapa pengguna jalan
memperhatikan kami.
“Kamu bohong sama aku. Kamu bilang udah
nggak kayak gitu. Kemarin temanku juga ngeliat kamu jalan sama
perempuan lain. Tapi apa,
kenyataan kamu dengan semua omongan kamu itu bulsyit, Gha.” Suaraku tersedu.
“Alaaah! Kamu percaya sama teman-teman
yang kayak gitu? Mereka itu pembohong! Mereka cuma mau menghancurkan hubungan
kita!”
“Gak mungkin! Mereka semua baik sama, nggak
kayak kamu yang udah bohongin aku selama ini, Gha.”
Agha hendak menamparku, namun
diurungkan. Motornya terus melaju kencang. Aku masih menangis tak percaya. Ia
mengatakan bahwa aku wanita matre, wanita yang tidak tau diri, wanita sok alim
dan sebagainya.
“Turunin aku disini!”
“HEH! Jangan macem-macem, lo!” ia kembali membentakku, “Sampe lo loncat dari motor ini,
gue bunuh lo!”
Astaghfirullah...
Aku semakin tak percaya bahwa ia mengucapkan kata-kata itu.
Tuhan. Inikah jawaban dari doaku selama ini?
***
Hari-hari yang kujalani kini tak lagi
penuh gairah. Sudah sejak lama aku ingin terlepas dari jeratnya. Setiap hari
aku menangis karenanya. Sifat aslinya semakin terlihat. Ia suka merokok di depanku. Pernah pula kutemukan ganja di dalam tasnya. Dan, masih
banyak lagi kesalahan-kasalahannya. Tak jarang juga ia berbohong padaku tentang
wanita lain.
Selama itu pula aku bersabar. Ia sering
mengekangku. Aku tidak boleh pergi kemana pun tanpanya. Aku tidak boleh begini,
tidak boleh begitu. Aku lelah. Aku ingin pergi darinya, namun tak bisa.Ia berusaha sekeras hati untuk terus
mempertahankan hubungan yang sudah rapuh itu menuju mahligai rumah tangga.
Mimpiku tentang indahnya keluarga tak lagi ku hadirkan. Aku benci melihat masa
depan!
Kenangan manis itu hanya bisa menyiksa
batinku. Cintanya yang kekal itu tak mampu mengekalkan perasaanku. Aku diambang
kebingungan. Kini, tak ada satu pun
yang bisa menarikku dalam lembah kehancuran itu. Tuhan, kuatkan aku. Hanya itu pintaku.
Hingga suatu hari teman lelakiku pulang
dari Bandung. Ia adalah salah satu sahabat terbaikku di SMP dulu. Ia ingin
sekali bertemu denganku karena sudah sekitar lima tahun kami tak berjumpa.
Tanpa sepengetahuan Agha, aku pergi bersamanya. Aku ingin melepas penatku padanya.
Namun, Agha ternyata mengetahui hal tersebut. Ia kemudian menelponku.
“Ceritakan padaku yang sebenarnya.” suaranya ketus.
“Aku cuman main aja sama dia ke rumah
teman-teman SMP yang lain.”
“Kenapa gak bilang?”
“Bukan gitu, tapi..”
“Kenapa gak bilang!”
Jantungku berdebar kencang.
“Aku takut kamu marah”
Agha memotong ucapanku lagi, “Udah tau salah. Tapi masih dilakuin. Punya otak gak sih lo! Dasar cewek
murahan, jalan sama cowok lain. Jelas-jelas lo udah punya cowok.”
Hampir saja aku pingsan di sihir oleh
kata-katanya. Air mataku mengalir begitu deras.
“Kalo emang aku cewek murahan, kenapa
kamu nggak mutusin aku? Kenapa kamu selalu pertahanin aku padahal
aku selalu mutusin kamu.” suaraku sesenggukan.
“Tolol!! Ya karena gue sayang sama lo.”
“Bohong! Cara sayang sama orang itu nggak kayak gini! Kamu selalu nyakitin aku, aku sabar. Kamu
selalu bohongin aku, aku ikhlas. Tapi kamu apa? Kamu selalu cari
kesalahan-kesalahan kecil aku. Kamu selalu…”
“Alaaah, nggak usah alasan. Nggak usah membela diri.
Dasar cewek munafik! Kita putus!”
Serasa ada hawa segar yang mampir di
dadaku. Namun kata-kata sihir itu telah menyulap mataku menjadi laut, yang
penuh dengan air. Saat itu pula aku menutup ponselnya dengan kasar. Aku menangis
sekerasnya. Dadaku sesak. Kepalaku pusing. Aku tak tahu kemana lagi tempatku
menaruh asa. Impian dan masa depanku telah musnah. Hidupku bagai dunia tak
berpenghuni, sepi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar