Selasa, 16 September 2014

What Ever!

Cinta, siapa orang yang tak mengenal kata itu. Bukan hal yang tabu lagi saat ini jika ada anak usia dini sudah mengenal istilah cinta yang di identikkan dengan pacaran. Mereka akan tersipu malu jika ada temannya yang menjodoh-jodohkan dirinya dengan seseorang. Bahkan tak jarang perjodohan itu berakhir dengan kata ‘PACARAN’. Dan, ketika itu pula duniamu akan berubah, yakinlah!!!
Satu tahun berlalu. Hubunganku dengannya semakin erat hingga akhirnya ada wanita lain yang menyelusup. Aku tidak tahu wanita itu turun dari langit keberapa yang jelas ucapannya begitu menyakitkan. Usianya sekitar tiga tahun di bawahku. Sudah sejak lama memang aku merasakan ada cinta yang tumbuh darinya untuk Agha. Terlihat dari pesan-pesan dan komentarnya di facebook. Setiap kali kutanyakan pada Agha, ia hanya menjawab ‘adik-adikan’. Please deh!!!
Sudahlah... aku tak ingin mengingat kejadian tersebut. Intinya sejak hadirnya ‘dia’ hubungan kami merenggang. Aku sudah tak perduli lagi pada Agha yang kerap kali berbohong padaku demi wanita ingusan itu. Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.

Biar saja semua menjadi kenangan. Daripada aku harus bergulat dengan batin yang tidak jelas arahnya. Karena memang setiap hari aku selalu di hantui rasa cemburu yang tak berkesudahan oleh wanita itu. Semua berakhir! aku dan Agha. Mimpi-mimpi yang pernah kita bangun untuk mewujudkan suatu bahtera rumah tangga yang indah kini pupus. Ia terbang bersama mimpi-mimpi yang lain. Ternyata jalan kita tak lagi sama. Ia tak lagi bisa menjaga hatinya seperti dulu. Padahal aku sudah berusaha untuk selalu mengingatnya agar tak berpaling. Semua sia-sia. Ia telah pergi bersama pembelaannya terhadap ‘adik-adikkannya’ tersebut. Ku tutup diary panjangku. Kuakhiri dengan satu penyesalan!
***
 “Aku bersyukur banget bisa dapet wanita seperti kamu.Bisiknya lembut.
Baru saja mulutku hendak berucap, suaranya sudah kembali menyambung “Baik, pintar, alim, pokoknya the best lah. makasih ya sayang udah mau percaya sama aku.
Aku nyengir kuda, gombal banget sih!
“Iya sama-sama, Kak.
“Loh, kok kakak? Jangan panggil kakak ah. Agha menampik.
“Iya, maaf.” hembusan napas ku keluarkan sebisanya, “Sa... sayang” suaraku gugup. Sebetulnya aku tak pernah memanggil kata asing itu selama pacaran dengan Agha. Tapi, kenapa aku terasa gugup untuk memanggilnya, sayang.
“Nah.. gitu dong.
Selama hampir satu tahun hubunganku tidak ada hambatan yang signifikan. Ia masih manis dan romantis. Ia masih setia menjemput dan mengantarku kemana pun aku memintanya. Ia masih sering menelponku setiap malam. Kami masih selalu bersama. Ia selalu menghiburku dan melindungiku dari gangguan para senior yang genit. Ia yang rela kehujanan demi menjemput dan mengantarku pulang.
Tapi, ada satu hal yang membuatku terkadang tidak nyaman. Ia sangat over acting dengan wanita. Setiap ada wanita yang perhatian padanya pasti dibalasnya dengan sangat berlebihan. Entah dengan memberikan hadiah atau dengan perhatian lebih. Apa mungkin setiap orang yang tidak tampan atau tidak cantik memang begitu?
***
“Sayang, sudah sampai rumah?”
Send
Malam itu hujan turun deras tepat setelah Agha mengantarku pulang. Jarak antara rumahku dengan rumahnya sekitar dua jam perjalanan. Aku begitu gelisah. Ponselnya tidak bisa dihubungi. Beberapa kali suara halilintar terdengar penuh amarah, membentak langit dan seisinya. Angin pun tak mau kalah, ia mencoba terus menerobos pepohonan yang berdiri kokoh.
Seketika itu aku pun terlelap. Aku terlalu lelah menjalani rutinitasku di kampus. Hingga tak berapa lama ponselku bordering. Dengan sigap ku raih ponsel kecil itu.
“Kamu udah tidur, Sayang?” suara lelaki di seberang sana terdengar lelah.
“Kamu kenapa gak ada kabar? Tadi di jalan hpnya mati ya? Trus kehujanan nggak? Kamu baik-baik aja, Gha?”
Lelaki itu tak menjawab. Ia hanya terkekeh, “Kamu perhatian banget sih. Aku baik-baik aja kok, Honey. Ya udah kamu lanjut tidur sana. Pasti capek banget kan.
Kulirik jam dinding kamarku. Jam menunjukkan pukul satu malam. Agha baru sampai rumah jam segitu. Aku sangat menyesal telah menyita waktunya untuk mengantarku pulang.
“Ya udah. Kamu istirahat juga ya.
“Iya, Sayang.Ia menarik napas,  “Kata perpisahannya mana?”
“Kita berada dalam jalur cinta dan akan bertemu diujung jalan itu, mmuaacch”
***
Sayang.. aku mau jujur sama kamu. Masa laluku tak hanya berisikan wanita itu. Masa laluku punya cerita yang tak menyenangkan dan sangat buruk. Aku pernah mabuk, memakai ganja dan menggunakan obat-obatan terlarang. Aku juga pernah mabuk bareng teman-teman perempuanku. Maaf jika pengakuanku terlalu sulit kau terima. Tapi, aku tidak ingin memendam ini terlalu lama.
JLEBB !!!
Aku merenung beberapa saat. Ku baca lagi pesan masuk di ponselku itu. Tak percaya. Orang yang ku kenal baik selama ini ternyata dulunya adalah seorang pemabuk. Pantas saja wajahnya begitu pucat. Pantas saja bibirnya kehitaman. pantas saja ia tidak bisa gemuk meski dengan beberapa treatment.
Tak lama setelah itu pesan masuk menyusul,
Tapi.. semua itu hanya masa lalu. Sejak mengenalmu aku tak lagi mendekati barang haram itu. Percayalah !
Wajahku serasa di tampar. Batinku seperti tertusuk besi panas. Pedih, perih, sudah satu tahun lebih bersamanya ternyata aku baru mengenal sosoknya.
Nenek-nenek pikun pun tahu kalau seorang pecandu itu sangat sulit untuk mengurangi bahkan menghilangkan rasa candunya. Butuh waktu beberapa tahun untuk bisa keluar dari zona tersebut. Aku dan Agha baru saja saling kenal satu bulan. Ia sendiri mengakui bahwa tak lagi mendekati barang haram itu sejak mengenalku. Berarti baru sekitar beberapa minggu saja ia meninggalkan barang-barang haram itu. Impossible!!!
Tanpa disadarinya, aku menyelidiki dia tanpa sepengetahuannya. Hingga akhirnya aku tahu kebenarannya. Ia mengkonsumsi barang haram itu bahkan sampai sekarang. Dadaku semakin sesak. Tiap malam tak hentinya aku menangisinya. Menangisi kebohongannya selama ini. Mungkin memang akunya yang sudah dibutai oleh cinta manisnya.
Ucapan teman-teman tentang keburukannya selama ini tidak aku gubris. Bahkan aku memusuhi mereka karena menganggap mereka telah berbohong. Ya, Tuhan. Aku menangis sebisanya. Sejak itu pula hubungan kami merenggang.
Tapi, Agha tidak tinggal diam. Ia tidak suka vakum. Ia menemuiku di rumah dan berniat untuk membicarakan tentang masalah-masalah kita. Motor itu menjadi saksi pertengkaran kita.
“Diam! Jangan nangis, malu di lihat orang.Suaranya mengeras hingga beberapa pengguna jalan memperhatikan kami.
“Kamu bohong sama aku. Kamu bilang udah nggak kayak gitu. Kemarin temanku juga ngeliat kamu jalan sama perempuan lain. Tapi apa, kenyataan kamu dengan semua omongan kamu itu bulsyit, Gha.Suaraku tersedu.
“Alaaah! Kamu percaya sama teman-teman yang kayak gitu? Mereka itu pembohong! Mereka cuma mau menghancurkan hubungan kita!”
“Gak mungkin! Mereka semua baik sama, nggak kayak kamu yang udah bohongin aku selama ini, Gha.
Agha hendak menamparku, namun diurungkan. Motornya terus melaju kencang. Aku masih menangis tak percaya. Ia mengatakan bahwa aku wanita matre, wanita yang tidak tau diri, wanita sok alim dan sebagainya.
“Turunin aku disini!”
“HEH! Jangan macem-macem, lo!” ia kembali membentakku, “Sampe lo loncat dari motor ini, gue bunuh lo!”
Astaghfirullah...
Aku semakin tak percaya bahwa ia mengucapkan kata-kata itu. Tuhan. Inikah jawaban dari doaku selama ini?
***
Hari-hari yang kujalani kini tak lagi penuh gairah. Sudah sejak lama aku ingin terlepas dari jeratnya. Setiap hari aku menangis karenanya. Sifat aslinya semakin terlihat. Ia suka merokok di depanku. Pernah pula kutemukan ganja di dalam tasnya. Dan, masih banyak lagi kesalahan-kasalahannya. Tak jarang juga ia berbohong padaku tentang wanita lain.
Selama itu pula aku bersabar. Ia sering mengekangku. Aku tidak boleh pergi kemana pun tanpanya. Aku tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Aku lelah. Aku ingin pergi darinya, namun tak bisa.Ia berusaha sekeras hati untuk terus mempertahankan hubungan yang sudah rapuh itu menuju mahligai rumah tangga. Mimpiku tentang indahnya keluarga tak lagi ku hadirkan. Aku benci melihat masa depan!
Kenangan manis itu hanya bisa menyiksa batinku. Cintanya yang kekal itu tak mampu mengekalkan perasaanku. Aku diambang kebingungan. Kini, tak ada satu pun yang bisa menarikku dalam lembah kehancuran itu. Tuhan, kuatkan aku. Hanya itu pintaku.
Hingga suatu hari teman lelakiku pulang dari Bandung. Ia adalah salah satu sahabat terbaikku di SMP dulu. Ia ingin sekali bertemu denganku karena sudah sekitar lima tahun kami tak berjumpa.
Tanpa sepengetahuan Agha, aku pergi bersamanya. Aku ingin melepas penatku padanya. Namun, Agha ternyata mengetahui hal tersebut. Ia kemudian menelponku.
“Ceritakan padaku yang sebenarnya.” suaranya ketus.
“Aku cuman main aja sama dia ke rumah teman-teman SMP yang lain.”
“Kenapa gak bilang?”
“Bukan gitu, tapi..”
“Kenapa gak bilang!”
Jantungku berdebar kencang.
“Aku takut kamu marah”
Agha memotong ucapanku lagi, “Udah tau salah. Tapi masih dilakuin. Punya otak gak sih lo! Dasar cewek murahan, jalan sama cowok lain. Jelas-jelas lo udah punya cowok.
Hampir saja aku pingsan di sihir oleh kata-katanya. Air mataku mengalir begitu deras.
“Kalo emang aku cewek murahan, kenapa kamu nggak mutusin aku? Kenapa kamu selalu pertahanin aku padahal aku selalu mutusin kamu.” suaraku sesenggukan.
“Tolol!! Ya karena gue sayang sama lo.
“Bohong! Cara sayang sama orang itu nggak kayak gini! Kamu selalu nyakitin aku, aku sabar. Kamu selalu bohongin aku, aku ikhlas. Tapi kamu apa? Kamu selalu cari kesalahan-kesalahan kecil aku. Kamu selalu…”
“Alaaah, nggak usah alasan. Nggak usah  membela diri. Dasar cewek munafik! Kita putus!”
Serasa ada hawa segar yang mampir di dadaku. Namun kata-kata sihir itu telah menyulap mataku menjadi laut, yang penuh dengan air. Saat itu pula aku menutup ponselnya dengan kasar. Aku menangis sekerasnya. Dadaku sesak. Kepalaku pusing. Aku tak tahu kemana lagi tempatku menaruh asa. Impian dan masa depanku telah musnah. Hidupku bagai dunia tak berpenghuni, sepi.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar