Sial benar! Sekali lagi aku mendekatkan mataku di depan layar
komputer hanya untuk membaca sebuah status pertunangannya di facebook. Semuanya
aku lihat jelas, mereka berdua sudah membuat status baru. Tak cukup sekali aku
meyakini profil Zenith Marisa yang kedapatan menjalin hubungan dengan Praditya
Dana. Dari foto sampul yang terlihat jelas mereka pamerkan kemesraan sambil
melempar senyum dan sepasang cincin berkilau jelas melingkar di jari manis
mereka berdua.
Enggak, nggak mungkin ini status buat-buatan. Sementara foto-foto
mereka saja sudah saling memamerkan kemesraan yang membuat orang lain
melihatnya terkesan. Wajar-wajar juga sih, di umur mereka yang sekarang dengan
status pertunangan dan bahkan sudah ada yang menikah. Bukan seperti waktu-waktu
masih jadi anak sekolah, mau pasang status berpacaran saja takut-takutan
terlihat orang tua.
“Hmm.” Aku mendesah-lebih tepatnya mengeluh- saat melihat
facebook yang aku buka dengan tampilan pertunangan mereka. “Tak kukira akan
secepat ini, Dana. Akhirnya kamu bertunangan dengan Marissa. Padahal selama ini
yang kutahu, kalian berdua itu sangat berbeda sifat.”
“Cinta itu memang saling melengkapi, Renata?”
“Iya. Tapi, aku tahu kapasitas mereka. Aku kenal baik
dengan seorang Praditya Dana, terutama dengan Zenith Marissa. Waah, kami berdua
bagaikan ponsel android dan aplikasi whatsapp yang selalu terkoneksi.”
Tapi, itu dulu. Dulu sekali sebelum ada badai yang
mengguncang duniaku. Dunia kecil yang fana, dunia yang masih penuh dengan
angan-angan dan kenangan. Percuma saja, semua itu sekarang hanya bisa ku ziarahi
setiap bulan purnama muncul dan bintang di langit bersinar memberikan cahaya
melengkapi malam.
***
“Lampunya masih berwarna merah, Sayang. Kenapa kamu
langgar sih?”
“Maaf, sayang. Kita sedang terburu-buru dan nggak bisa
telat. Gak apa-apalah sekali ini.”
“Haaah. Dasar kamu,” aku mencubit kecil pinggang Dana.
“Gak ada bedanya sama orang-orang yang nggak bisa baca deh.”
“Sudah, jangan manyun-manyun gitu dong. Jadi jelek dan
cepat keriput loh wajah kamu nanti.”
“Lagian kamu sih, ada-ada saja melanggar lalu lintas yang
bisa membahayakan kita dan orang lain di jalan.”
“Iya, ampun deh tuan putriku yang paling cantik, tuan
muda minta maaf. Nanti aku ganti kesalahanku dengan es krim sebanyaknya kamu
minta deh.”
“Eheem, iyadeh. Tuan muda yang sekarang sudah tidak
terlihat muda lagi.” Aku tersenyum lepas sambil mengarahkan wajahku menatap
Dana.
Dana mengacak-acak rambutku yang lurus, “Nah, gitu dong.
Kalau begini asyik dipandangnya lagi kan.”
Saat Renata merapikan rambut-rambutnya yang berantakan
kemana-mana, Dana memberikan kejutan dari dalam sakunya dengan benda yang
sedikit berkilau, “Would you want to be my fiance?”
Renata setengah tidak percaya, menatap dengan jelas wajah
Dana dengan matang. Bingung. Renata harus menjawab seperti apa. Dana yang
selama ini Renata kenal cuek setengah mati, tiba-tiba memberikan perlakuan yang
sangat romantis dan manis.
“Maaf, Dan. Aku nggak bisa,” Renata menjawab terputus.
“Aku benar-benar nggak bisa menolak permintaanmu.”
Senja itu datang dengan kesempurnaannya yang terlukis
indah di kedua mata. Bintang-bintang yang berpijar seolah meredup, menatap iri
kebahagianku dengan Dana yang saling memberikan kebahagiaan bersama.
Akulah Renata. Aku yang selalu menziarahi
kenangan-kenangan kita di masa lalu. Aku yang sering menggali pusaranya untuk
mengajakmu berdansa di bawah langit kelam sore, berdansa dengan sisa-sisa luka
yang sekarang masih engkau berikan, Dan.
”Ah,
kenapa masih aku ingat sih
kejadian
itu? Memang itu hal yang sangat romantis kamu berikan untukku, Dan.” aku bangun dari lamunanku. “Tapi, Dan. Sejujurnya bukan
itu yang aku harapkan, aku hanya ingin memberimu pelajaran. Kenyataannya
sekarang kenapa semuanya seolah berbalik faka terhadapku.”
***
Akhir-akhir ini benar-benar menjadi aktivitas favorite Renata. Entah kenapa, Renata
jadi sangat suka sekali melakukannya, ia selalu memperhatikan facebook.
“Ah, tapi ini semua karena kamu, Dan. Karena kamu, aku
selalu ingin tahu apa yang kalian lakukan dibelakangku. Apakah masih seperti
dulu? Kamu yang sangat terlihat dengan sederhana dan lebih banyak diam.”
Hampir di semua akun sosial media yang ada, Dana selalu
terlihat dengan gaya yang sangat berbeda. Seperti halnya dengan path yang ia punya, Renata sering sekali
melihat Dana selalu berfoto di dalam cafe-cafe
high class mahal. Mereka semakin memancing Renata dengan kecemburuan yang
selalu terlihat di dalam timeline twitter-nya,
di mana ada Dana selalu ada Marissa yang bersahutan mesra dengan percakapan
singkat di media.
Tahukah
kamu, Dan. Masa SMP yang kita habiskan setiap hari selalu aku ingat dengan
kegembiraan kita berjalan kali menuju rumah. Di masa SMA kita berdua, aku
selalu setia bersama kamu dan motor bututmu itu.
Renata curiga. Ia berpikir, jangan-jangan Dana sudah amnesia. “Kemanakah foto-foto kita selama
ini? lembaran surat-menyurat yang sering kita kirim setelah jam sekolah
berakhir. Kau hapuskah? Sampai-sampai fotoku yang mendampingimu seusai wisuda
tak terlihat jelas di dalam kamarmu.”
Penasaran. Kerjaan Renata akhir-akhir ini hanya
memperhatikan aktivitas Dana di dunia media sosial yang sedang trend sekarang. Renata melihat tempat
yang sebenarnya Dana tidak mau kunjungi. Tapi, Renata melihat Dana sedang
berpeluk mesra dalam foto prawedding-nya
dengan Marissa.
***
Aku
berharap kamu datang dan siap memberikan kehangatan yang sedang aku butuhkan,
Dan. Tapi, rasa kecewamu terhadapku mengundang pertikaian yang benar-benar
semakin jauh, kamu pergi malam itu dan meninggalkanku.
“Kamu kenapa selalu terlambat sih, Dan? Kamu tau aku ini
sedang sakit dan enggak bisa kena air hujan, seharusnya kamu bisa bawa mobil
aja.”
“Kamu nggak bilang, Ren. Kamu hanya sms aku kalau kamu
lagi disini, hujan gerimis dan dingin.”
“Kurang inisiatif,” aku membelakangi Dana “Enggak mungkin
jugalah aku sms kamu lalu suruh-suruh kamu yang macam-macam, Dan. Cewe itu suka
hal yang explicit, bukannya langsung order yang macem-macem.”
“Dari dulu kamu emang gak pernah berubah ya, Renata!
Selalu membuatku pusing, apa-apa yang aku lakukan selalu salah di mata kamu.”
Aku terdiam. Memikirkan kembali ucapan-ucapan yang sudah
kulontarkan menekan Dana. Egoisnya aku, tak seharusnya juga aku harus berkata
seperti itu tadi.
“Maaf, Dan. Aku minta maaf kalau selama ini selalu
merepotkan kamu, aku juga gak ada artinya ini kan untuk kamu.”
“Sekarang kamu mau pulang atau enggak, Ren? Takut
kemalaman nanti dan hujannya semakin deras.”
“Enggak, tinggalkan saja aku disini. Nanti kau bisa
pulang sendiri.” Jawabku ketus.
“Oke, Fine. Kalau itu yang kamu mau, aku nggak bisa
memaksakan kamu lagi, Ren.”
“Sekalian saja kamu pulang, lalu jemput Marissa dan
kalian jalan bareng.” ujarku menyindir.
Aku melihat kamu mendekatiku. Kamu terlihat kaget dengan
kata-kata yang keluar dari sindiranku.
“Ren, aku nggak ada apa-apa sama Marissa. Kita berdua
hanya teman, nggak lebih dari itu. Kamu tau sendiri dan kenal sendiri Marissa
itu seperti apa.”
“Kalau kalian berdua teman, apa harus kalian pergi berdua
itu diam-diam dan tanpa sepengetahuanku? Apa itu teman yang kamu maksud, kamu
seolah melupakan aku untuk bertanya, Dan.”
“Udahlah, Ren. Aku capek, please jangan bahas soal ini.
sekarang kamu mau pulang atau enggak?”
“Kita putus, Dan,” ujarku spontan “Aku balikin nih, Dan.
Cincin yang pernah kamu kasihkan untukku dan kamu jangan mencoba untuk
menemuiku lagi!!!”
Maafkan aku, Dan. Aku berbicara seperti itu, aku mau kamu
mengintropeksi diri kamu sendiri. Aku ingin kamu sadar, Dan. Biasanya kamu
selalu memohon maaf, memelukku dan kembali menggenggam tanganku aagar aku tak
pergi. Tapi, kali ini aku tidak melihat kamu seperti itu, Dan.
“Oke,” serumu “Kalau memang itu maunya kamu seperti itu,
Ren.”
Tak kusangka, hanya karena dialog yang seharusnya
membuatmu sadar dan untuk intropeksi dirimu saat itu, kamu pergi, Dan. Kamu
mulai menjauh dan meninggalkanku seorang diri. Hujan semakin deras dan angin
mulai ikut mengiringi kekecewaanku. Kemana pria yang harusnya ada disampingku,
saat kamu ada di sini, tiba-tiba kamu hilang bersamaan hujan yang berjatuhan
sangat deras.
Butuh
waktu lama aku melupakanmu, Dan. Bertahun-tahun kita menjalin hubungan dengan
jarak jauh, aku merindukanmu lebih dari saat perpisahan kita. Hujan, malam itu
jadi saksi bisu pertengkaran kita. Terima kasih, Dan. Semoga kamu dan Marissa
benar-benar bisa membawa cinta yang saklar di dalam keluarga kecil yang akan
kalian miliki.
Aku
selalu merindukanmu. Di saat hujan datang, aku selalu berharap kamu kembali
menjemputku dan mengantarkanku pulang dengan kehangatan cinta. Selamat tinggal
masa-masa yang saat ini hanya kupendam di dalam perasaan yang penuh luka dan
bahagia bercampur bersama.
Renata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar