Rabu, 01 Oktober 2014

Sepucuk Surat Untuk Mantan

Sial benar! Sekali lagi aku mendekatkan mataku di depan layar komputer hanya untuk membaca sebuah status pertunangannya di facebook. Semuanya aku lihat jelas, mereka berdua sudah membuat status baru. Tak cukup sekali aku meyakini profil Zenith Marisa yang kedapatan menjalin hubungan dengan Praditya Dana. Dari foto sampul yang terlihat jelas mereka pamerkan kemesraan sambil melempar senyum dan sepasang cincin berkilau jelas melingkar di jari manis mereka berdua.

Enggak, nggak mungkin ini status buat-buatan. Sementara foto-foto mereka saja sudah saling memamerkan kemesraan yang membuat orang lain melihatnya terkesan. Wajar-wajar juga sih, di umur mereka yang sekarang dengan status pertunangan dan bahkan sudah ada yang menikah. Bukan seperti waktu-waktu masih jadi anak sekolah, mau pasang status berpacaran saja takut-takutan terlihat orang tua.

“Hmm.” Aku mendesah-lebih tepatnya mengeluh- saat melihat facebook yang aku buka dengan tampilan pertunangan mereka. “Tak kukira akan secepat ini, Dana. Akhirnya kamu bertunangan dengan Marissa. Padahal selama ini yang kutahu, kalian berdua itu sangat berbeda sifat.”


“Cinta itu memang saling melengkapi, Renata?”

“Iya. Tapi, aku tahu kapasitas mereka. Aku kenal baik dengan seorang Praditya Dana, terutama dengan Zenith Marissa. Waah, kami berdua bagaikan ponsel android dan aplikasi whatsapp yang selalu terkoneksi.”

Tapi, itu dulu. Dulu sekali sebelum ada badai yang mengguncang duniaku. Dunia kecil yang fana, dunia yang masih penuh dengan angan-angan dan kenangan. Percuma saja, semua itu sekarang hanya bisa ku ziarahi setiap bulan purnama muncul dan bintang di langit bersinar memberikan cahaya melengkapi malam.

***

“Lampunya masih berwarna merah, Sayang. Kenapa kamu langgar sih?”

“Maaf, sayang. Kita sedang terburu-buru dan nggak bisa telat. Gak apa-apalah sekali ini.”

“Haaah. Dasar kamu,” aku mencubit kecil pinggang Dana. “Gak ada bedanya sama orang-orang yang nggak bisa baca deh.”

“Sudah, jangan manyun-manyun gitu dong. Jadi jelek dan cepat keriput loh wajah kamu nanti.”

“Lagian kamu sih, ada-ada saja melanggar lalu lintas yang bisa membahayakan kita dan orang lain di jalan.”

“Iya, ampun deh tuan putriku yang paling cantik, tuan muda minta maaf. Nanti aku ganti kesalahanku dengan es krim sebanyaknya kamu minta deh.”

“Eheem, iyadeh. Tuan muda yang sekarang sudah tidak terlihat muda lagi.” Aku tersenyum lepas sambil mengarahkan wajahku menatap Dana.

Dana mengacak-acak rambutku yang lurus, “Nah, gitu dong. Kalau begini asyik dipandangnya lagi kan.”

Saat Renata merapikan rambut-rambutnya yang berantakan kemana-mana, Dana memberikan kejutan dari dalam sakunya dengan benda yang sedikit berkilau, “Would you want to be my fiance?”

Renata setengah tidak percaya, menatap dengan jelas wajah Dana dengan matang. Bingung. Renata harus menjawab seperti apa. Dana yang selama ini Renata kenal cuek setengah mati, tiba-tiba memberikan perlakuan yang sangat romantis dan manis.

“Maaf, Dan. Aku nggak bisa,” Renata menjawab terputus. “Aku benar-benar nggak bisa menolak permintaanmu.”

Senja itu datang dengan kesempurnaannya yang terlukis indah di kedua mata. Bintang-bintang yang berpijar seolah meredup, menatap iri kebahagianku dengan Dana yang saling memberikan kebahagiaan bersama.

Akulah Renata. Aku yang selalu menziarahi kenangan-kenangan kita di masa lalu. Aku yang sering menggali pusaranya untuk mengajakmu berdansa di bawah langit kelam sore, berdansa dengan sisa-sisa luka yang sekarang masih engkau berikan, Dan.

”Ah, kenapa masih aku ingat sih kejadian itu? Memang itu hal yang sangat romantis kamu berikan untukku, Dan.” aku bangun dari lamunanku. “Tapi, Dan. Sejujurnya bukan itu yang aku harapkan, aku hanya ingin memberimu pelajaran. Kenyataannya sekarang kenapa semuanya seolah berbalik faka terhadapku.”

***

Akhir-akhir ini benar-benar menjadi aktivitas favorite Renata. Entah kenapa, Renata jadi sangat suka sekali melakukannya, ia selalu memperhatikan facebook.

“Ah, tapi ini semua karena kamu, Dan. Karena kamu, aku selalu ingin tahu apa yang kalian lakukan dibelakangku. Apakah masih seperti dulu? Kamu yang sangat terlihat dengan sederhana dan lebih banyak diam.”

Hampir di semua akun sosial media yang ada, Dana selalu terlihat dengan gaya yang sangat berbeda. Seperti halnya dengan path yang ia punya, Renata sering sekali melihat Dana selalu berfoto di dalam cafe-cafe high class mahal. Mereka semakin memancing Renata dengan kecemburuan yang selalu terlihat di dalam timeline twitter-nya, di mana ada Dana selalu ada Marissa yang bersahutan mesra dengan percakapan singkat di media.

Tahukah kamu, Dan. Masa SMP yang kita habiskan setiap hari selalu aku ingat dengan kegembiraan kita berjalan kali menuju rumah. Di masa SMA kita berdua, aku selalu setia bersama kamu dan motor bututmu itu.

Renata curiga. Ia berpikir, jangan-jangan Dana sudah amnesia. “Kemanakah foto-foto kita selama ini? lembaran surat-menyurat yang sering kita kirim setelah jam sekolah berakhir. Kau hapuskah? Sampai-sampai fotoku yang mendampingimu seusai wisuda tak terlihat jelas di dalam kamarmu.”

Penasaran. Kerjaan Renata akhir-akhir ini hanya memperhatikan aktivitas Dana di dunia media sosial yang sedang trend sekarang. Renata melihat tempat yang sebenarnya Dana tidak mau kunjungi. Tapi, Renata melihat Dana sedang berpeluk mesra dalam foto prawedding-nya dengan Marissa.

***

Aku berharap kamu datang dan siap memberikan kehangatan yang sedang aku butuhkan, Dan. Tapi, rasa kecewamu terhadapku mengundang pertikaian yang benar-benar semakin jauh, kamu pergi malam itu dan meninggalkanku.

“Kamu kenapa selalu terlambat sih, Dan? Kamu tau aku ini sedang sakit dan enggak bisa kena air hujan, seharusnya kamu bisa bawa mobil aja.”

“Kamu nggak bilang, Ren. Kamu hanya sms aku kalau kamu lagi disini, hujan gerimis dan dingin.”

“Kurang inisiatif,” aku membelakangi Dana “Enggak mungkin jugalah aku sms kamu lalu suruh-suruh kamu yang macam-macam, Dan. Cewe itu suka hal yang explicit, bukannya langsung order yang macem-macem.”

“Dari dulu kamu emang gak pernah berubah ya, Renata! Selalu membuatku pusing, apa-apa yang aku lakukan selalu salah di mata kamu.”

Aku terdiam. Memikirkan kembali ucapan-ucapan yang sudah kulontarkan menekan Dana. Egoisnya aku, tak seharusnya juga aku harus berkata seperti itu tadi.

“Maaf, Dan. Aku minta maaf kalau selama ini selalu merepotkan kamu, aku juga gak ada artinya ini kan untuk kamu.”

“Sekarang kamu mau pulang atau enggak, Ren? Takut kemalaman nanti dan hujannya semakin deras.”

“Enggak, tinggalkan saja aku disini. Nanti kau bisa pulang sendiri.” Jawabku ketus.

“Oke, Fine. Kalau itu yang kamu mau, aku nggak bisa memaksakan kamu lagi, Ren.”

“Sekalian saja kamu pulang, lalu jemput Marissa dan kalian jalan bareng.” ujarku menyindir.

Aku melihat kamu mendekatiku. Kamu terlihat kaget dengan kata-kata yang keluar dari sindiranku.

“Ren, aku nggak ada apa-apa sama Marissa. Kita berdua hanya teman, nggak lebih dari itu. Kamu tau sendiri dan kenal sendiri Marissa itu seperti apa.”

“Kalau kalian berdua teman, apa harus kalian pergi berdua itu diam-diam dan tanpa sepengetahuanku? Apa itu teman yang kamu maksud, kamu seolah melupakan aku untuk bertanya, Dan.”

“Udahlah, Ren. Aku capek, please jangan bahas soal ini. sekarang kamu mau pulang atau enggak?”

“Kita putus, Dan,” ujarku spontan “Aku balikin nih, Dan. Cincin yang pernah kamu kasihkan untukku dan kamu jangan mencoba untuk menemuiku lagi!!!”

Maafkan aku, Dan. Aku berbicara seperti itu, aku mau kamu mengintropeksi diri kamu sendiri. Aku ingin kamu sadar, Dan. Biasanya kamu selalu memohon maaf, memelukku dan kembali menggenggam tanganku aagar aku tak pergi. Tapi, kali ini aku tidak melihat kamu seperti itu, Dan.

“Oke,” serumu “Kalau memang itu maunya kamu seperti itu, Ren.”

Tak kusangka, hanya karena dialog yang seharusnya membuatmu sadar dan untuk intropeksi dirimu saat itu, kamu pergi, Dan. Kamu mulai menjauh dan meninggalkanku seorang diri. Hujan semakin deras dan angin mulai ikut mengiringi kekecewaanku. Kemana pria yang harusnya ada disampingku, saat kamu ada di sini, tiba-tiba kamu hilang bersamaan hujan yang berjatuhan sangat deras.

Butuh waktu lama aku melupakanmu, Dan. Bertahun-tahun kita menjalin hubungan dengan jarak jauh, aku merindukanmu lebih dari saat perpisahan kita. Hujan, malam itu jadi saksi bisu pertengkaran kita. Terima kasih, Dan. Semoga kamu dan Marissa benar-benar bisa membawa cinta yang saklar di dalam keluarga kecil yang akan kalian miliki.

Aku selalu merindukanmu. Di saat hujan datang, aku selalu berharap kamu kembali menjemputku dan mengantarkanku pulang dengan kehangatan cinta. Selamat tinggal masa-masa yang saat ini hanya kupendam di dalam perasaan yang penuh luka dan bahagia bercampur bersama.


Renata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar