Apa harus
selalu seperti ini? Setiap aku kembali untuk memasuki kamar, tubuh lemahnya
terlihat jelas dari pandangan yang jelas ini. Suara lekikan batuknya selalu
sampai ke dalam hati, saat telinga yang aku miliki tak sanggup mendengar lagi.
Tuhan... tolong kembalikan dia pada diri yang sebelumnya
ceria aku lihat, tertawa aku dengar.
Clara duduk di balkon teras rumahnya. Bagian depan rumahnya tidak
terlalu besar, namun beberapa tanaman gantung berjejer rapi di atas. Kolam di
pojok rumah terlihat penuh dengan ikan-ikan hias yang bermacam warna,
menambahkan nilai unsur kesejukan dari replika bebatuan yang tersusun.
Pikirannya selalu terasa tenang saat menjajaki balkon depan
rumahnya. Namun, untuk kali ini dia tidak dapat menghindar dari rasa ketakutan
saat matanya selalu menangkap lemah tubuh ayahnya di atas kasur.
Dia terdiam memperhatikan ikan-ikan yang berenang di dalam kolam.
Meski demikian, pikirannya kali ini tertuju dengan keadaan ayahnya yang sedang
berobat ke luar negeri. Kali ini, balkon tempat biasa dia melewatkan kesepian
tidak berfungsi sama sekali. Clara membungkukkan tubuhnya dengan kedua
tangannya yang menutupi wajah.
“Sedang apa, Clar? Tante
perhatikan dari jauh kamu murung aja.” Suara tante Rose mengakhiri lamunan
Clara.
Clara terkaget. Buku tipis yang di genggamnya sekejap terjatuh ke
lantai. “Tante,” dia memungut kembali bukunya. “Eng...gak ada a..apa-apa kok,
Tan.” Suaranya terbata-bata.
Terkadang dia harus menyembunyikan perasaannya dari orang lain.
Dia tidak ingin seluruh masalah dalam hatinya patut orang lain ketahui,
meskipun itu tantenya sendiri. Dia merindukan ayahnya, di mana setiap hari yang
sebelum-sebelumnya masih dapat mengantarkan dirinya berangkat ke kampus.
Perempuan yang sudah duduk di sebelahnya itu mengacak-acak lembut
rambut Clara. Sejak tadi, perempuan setengah baya itu selalu memperhatikan
Clara dari dalam rumah. Dia bertanya-tanya pada hatinya sendiri mengenai sikap
Clara yang dari pagi selalu kusam, tidak banyak bicara-hanya seperlu maunya
saja.
“Oh, ya. Kamu mau ini?” Tante Rose menyodorkan sebungkus coklat.
Clara menggelengkan kepalanya. Pandangannya tertuju ke arah
sekelompok ikan di dalam kolam. Dia menginginkan kebersamaannya bersama ayah,
seperti ikan-ikan di kolam yang dapat ke sana-sini saling kejar-kejaran.
Suasana kembali hening. Bukan untuk yang pertama kalinya Clara
mendengar suara rintihan batuk ayahnya saat sedang sakit di rumah, setiap
melewati depan kamar. Ini sebabnya dia lebih banyak terlihat diam di balkon
rumah. Suara rintihan batuk ayahnya kembali mengingatkan dia akan keadaan
ayahnya saat itu.
“Kamu tidak apa-apa, Clar?” Tante Rose menatap Clara dengan
seksama.
Sudah hampir lima menit pembicaraan di antara mereka masih bisu,
pikiran Clara saat ini hanya tertuju
kepada ayahnya yang masih berada di rumah sakit. Dia menunduk sambil memelukkan
kedua tangannya dengan erat. Sesaat, setelah tante Rose mengusap-usap
pundaknya, Clara mulai menyadari kedatangan tante Rose . Dia tersadar dari
lamunannya. Walaupun masih dalam penuh ragu, berselang beberapa menit kemudian
dia menoleh ke arah tante Rose.
Clara memeluk erat tubuh tante Rose. Lalu, dia menceritakan semua
keinginannya secara mendayuh, mengkhayalkan situasi di balkon rumahnya terdapat
sosok seorang ayah untuk saat ini.
“Kapan ayah pulang, Tan?” dengan tatapan lesunya dia memegang erat
kedua tangan tantenya. “Aku ingin kita kumpul bersama lagi, di depan rumah ini.
Ayaah.”
“Sebentar lagi,” tante Rose mengambil ponsel dari kantongnya.
Kemudian, dengan tempo yang agak melambat dia menunjukkan pesan singkat dari
ayah Clara kepadanya. “Ayah kamu sudah agak membaik dan hari ini sudah
diizinkan untuk pulang, Clar.”
Senyumnya kecil.
Alhamdulillah.
Clara mengusap-usap seluruh bagian wajahnya dengan telapak tangan.
Satu-satunya kesedihan saat itu hilang ketika mendengar kabar ayahnya yang akan
pulang. Dia kembali memeluk erat tubuh tante Rose.
“Jadi, sekarang sudah bisa senyum lagi nih? Enggak seperti tadi.”
Clara menggelengkan kepalanya perlahan. “Ih, apa sih, Tan. Aku kan
bukan anak kecil lagi.” Lalu, dia kembali menundukkan kepalanya. Dia terdiam
malu.
“Kemungkinan besok sudah sampai di Jakarta, mau ikut aku jemput
ayah?”
“Enggak, Tan. Aku di rumah saja, merapikan kamar ayah yang
terlihat kumuh sejak ayah di rumah sakit.”
Tangan tante Rose kembali menyodorkan cokelat. “Masih nggak mau
cokelat ini juga, Clar?”
Lalu, dengan sigapnya Clara merampas cokelat yang masih di pegang
tantenya. “Terima kasih, Tan. Sering-sering seperti ini, ya.”
Kini, tante Rose mulai beranjak dari kursinya. Dia terlihat
memasuki pintu rumah, kemudian mulai menghilangkan tubuhnya dari pandangan
mata. Clara menyambut baik kepulangan ayahnya setelah mendengar berita
kesehatannya yang berangsur membaik.
Clara menarik napasnya dengan tenang. Berualang-ulang kali, dia
kembali menenangkan pikirannya saat itu. Perasaannya berangsur normal. Tidak
seperti sebelumnya, dia selalu kepikiran ayahnya yang sedang sakit akhir-akhir
ini dan tidak di rawat di rumah.
***
Siang ini, Merry bermain ke rumah Clara bersama Monic sekaligus
membahas tugas jadwal pertemuan organisasinya. Kemudian, Merry menyodorkan
amplop cokelat di tangannya kepada Clara. Dia
pun menaruh tas laptop yang masih digendongnya di atas meja. Awalnya, Merry
akan datang ke rumah Dara dengan dua teman lainnya yang ikut serta mengurus
organisasi di kampus. Namun, perihal kepergian salah satu temannya yang lain,
dia hanya datang bersama Monic.
Pembicaraan bertiga di antara mereka berangsur agak alot. Merry
masih belum memahami tugas-tugas yang harus dia lakukan saat acara nanti
berlangsung. Dia terlihat agak kebingungan. Dia selalu mengeryitkan dahinya,
mengacak-acakkan rambutnya sendiri. Penjelasan Clara masih belum bisa dipahami
dengan jelas oleh Merry, sehingga Monic yang mendengar langsung angkat bicara
dan memperagakan dengan singkat tugas yang harus dilakukan Merry.
Kali ini, Merry mulai sedikit paham. Dia tertawa sejenak, setelah
berpikir. Peragaan yang dilakukan Monic sangat membantu. Memang sudah menjadi
rutinitas bagi Monic, dia selalu terbiasa untuk memperagakan sesuatu yang tidak
pernah Merry mengerti dengan mudah sebelumnya.
Clara terkikik pelan, terdengar imut oleh Monic. Dia memperhatikan
reaksi wajah Merry yang dari tadi menyimpan kebingungan, sebelum akhirnya Monic
angkat bicara untuk menjelaskan sambil memperagakan. Lalu, sebagai bentuk
support kepada Merry, dia berkata, “Kamu pasti bisa, Mer. Aku yakin itu, di
pentas pertunjukkan kita nanti.”
Merry tersenyum kecil, lalu memeluk erat tubuh Clara dan Monic.
“Terima kasih sahabat terbaikku.”
“Oke-oke, sama-sama nona centil,” Sambut Monic. “Tapi, jangan
erat-erat meluknya dong. Aku sudah mulai terasa sesak.” Ketusnya.
“Oppss, maaf.”
“Ya. Tidak apa-apalah, berhubung kamu perempuan, jadi aku sih
bebas-bebas saja.” Clara pun ikut tertawa, lalu mereka semua melepaskan
tubuhnya masing-masing dari pelukkan.
Monic mengambil segelas jus dingin di dekatnya. Lalu,
menenggakkannya segera dengan cepat.
“Silahkan di minum, Nic. Kalau mau tambah ambil saja di kulkas.”
Merry menyenggolkan bahunya pelan, di ujung ucapannya itu dia terus meledekkan
Monic yang sedang terlihat haus.
Dua jam sudah, waktu mereka lewati dengan cepat. Tugas yang hendak
mereka buat masih belum selesai juga, setelah banyak tertawa dan gosip-gosip
tidak jelas mereka sedikit lupa dengan tugasnya yang harus cepat di selesaikan
segera.
Suasana pun kembali hening. Masing-masing dari mereka mulai
kembali fokus dengan tugas lisannya masing-masing. Mereka bertiga menjadi bisu
sesaat, tidak banyak bicara, namun hanya menatap layar laptonya dalam
hening dan serius.
***
Esok paginya, sekitar pukul sepuluh, Clara dikagetkan dengan
kedatangan ayahnya yang sudah pulang. Dia berlari untuk menjemput, memeluk
seluruh bagian tubuh ayahnya dengan kencang. Tante Rose yang menjemput ayahnya
di bandara sejak pagi, dia sengaja tidak membangunkan Clara dari tidurnya yang
masih lelap.
“Apa kabarnya, Clar?” Laki-laki tua itu memeluk lembut wajah
anaknya. “Maafkan ayah, akhir-akhir ini ayah sering meninggalkan kamu untuk
berobat.”
Tepat di depan hadapan Clara, dia menahan air matanya yang hendak
keluar. Maafkan ayah, Nak. Selama ini,
apapun alasannya itu, ayah harus tetap sembunyikannya dari kamu.” Buatnya,
kebahagian anaknya adalah yang paling utama daripada harta yang dimilikinya.
“Ayah,” suara lembutnya memanggil. “Apa ayah mau berjanji sama
aku, untuk saat ini dan seterusnya ayah tidak akan meninggalkan aku lagi,” dia
menahan isak sedih di batinnya sejenak. “Cukup aku di rumah yang akan menjaga
ayah. Lalu, aku akan tetap mengantarkan ayah untuk check up di rumah sakit yang ada di Jakarta ditemani tante Rose.”
Ayah Clara mengangguk pelan. Dia tertegun mendengar permintaan
dari anaknya. “Iya, Clara anakku sayang. Untuk saat ini ayah janji.” Laki-laki
itu mencium kening anaknya.
Tante Rose perlahan meninggalkan mereka berdua. Tanpa di undang,
air matanya menetes di dasar pipi, saat dia mendengar dan harus menyaksikan
secara langsung kerinduan yang terlihat jelas dengan matanya. Suara permohonan
Clara terhadap ayahnya barusan sudah cukup menyakinkan dirinya, dimana saat itu
dia bertanya soal kerisauan Clara yang lebih banyak terdiam di depan rumah.
Perempuan setengah baya itu mulai menghilangkan wajahnya dari
keluarga kecil yang saling merindukan. Kesedihannya semakin menjadi-jadi
setelah dia juga teringat dengan kisah hancurnya keluarga yang pernah dia jalani.
Satu tahun lalu, dirinya pernah merasa kecewa, sikap suaminya tanpa disadari
selalu bermain dengan wanita lain di belakangnya. Dia mendapatkan
perselingkuhannya dari cerita sahabat-sahabat terdekatnya dan melihat langsung
di jalan.
Dia merengut. Kesedihannya terhadap Rey-mantan suaminya- sudah
membuat perasaan untuk hatinya trauma akan cinta untuk laki-laki lain. Beruntungnya aku, keluarga kecil ini bisa
selalu membuatku tersenyum. Walau hanya bertiga di rumah, tapi keramaian akan
cinta dari kakak dan keponakanku sangat memberi arti selamanya.
Rasa takut akan masa lalunya beranjak datang, dia masih menutup
perasaannya untuk orang lain. Selama ini dia bangkit dengan membawa luka di
hatinya, berusaha melupakan kegagalan dalam rumah tangganya saat itu.
***
Senja terlihat indah dari tangkapan telanjang mata Clara. Di dalam
saung kecil, beratap sulaman daun kelapa yang rapi dia menghabiskan waktu
sorenya di belakang rumah, membaca buku. Setelah tiga puluh menit, suara
ayahnya terdengar menggema dari dalam rumah memanggil namanya.
Clara meninggalkan buku fiksi bacaannya di saung. Lalu, dia
memasuki ruang keluarga tempat dimana ayahnya sudah menunggu.
“Clar,” panggilnya pelan.
“Ada yang mau ayah sampaikan.”
Masih di atas sofa merah, Clara menaruh tangan ayahnya di atas
pahanya. Dia menanggapi serius pembiaraan yang akan ayahnya sampaikan. Dengan
sedikit penasaran, dia menaruh ponselnya.
“Soal apa, Yah? Bukankah dari tadi kita
sudah banyak bicara?”
Pria itu menahan mulut anaknya yang sedang komat-kamit kebingungan.
“Tapi, Clar. Kali ini beda, ini menyangkut masa depan kamu.”
“Pasti soal kuliah, aku masih ingat pesan ayah kok. Sebentar lagi
aku juga ikut sidang tahun ini, Yah. Do’akan aku, Yah. Supaya biar cepat
selesai skripsinya.” Dia tertawa malu terhadap ayahnya.
“Bukan hal itu, Nak.”
Clara menahan senyumannya sejanak. Dalam sekejap, tiba-tiba
perasaannya berubah menjadi bingung. Ucapan yang sebelumnya ayah ingin
sampaikan jauh dari dugaan dia soal kuliah. Ruang tamu langsung berubah menjadi
tenang dalam sekejab.
Laki-laki itu menarik dan menahan napasnya dengan santai.
Direngkuhnya Clara ke dalam pelukannya, didekapnya. “Ini soal pernikahan, Clar.
Ayah minta kamu bisa mempertimbangkannya, lalu dengan cepat memutuskannya.”
Detak jantung Clara berdegup kencang. Napasnya berubah menjadi
tidak teratur, dia seperti mendapatkan hantaman kecelakaan yang sangat dahsyat.
Sebagian tubuhnya terasa dingin, sorotan kedua matanya mengarah ke wajah
ayahnya dengan tajam.
Apa yang baru didengarnya benar-benar luar biasa. Clara masih
tidak percaya dengan penuturan ayahnya, secepat itu. Dia tidak menduka
perbincangannya saat ini mengarah ke pernikahan. Dia hanya bisa diam,
menyembunyikan perasaannya.
“Apa kamu siap untuk menikah, Clar? Ayah sudah punya jodohnya
untuk kamu, dan itu pun pilihan ibu kamu saat mereka masih muda.”
Clara mengggeleng pelan. Penolakannya saat ini hanya terlintas di
dalam hatinya. Dia tidak ingin mengecewakan langsung ayahnya untuk saat ini.
Namun, dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya harus dia tolak soal
pernikahan.
Ayah Clara mengambil tas yang ada di sebelahnya. Dia mengeluarkan
beberapa lembar foto yang dengan gambar yang sama untuk ditunjukkan kepad
Clara. “Ini, Clar. Agha Pradana, dia anak dari sahabat kecil ibu kamu. Saat
mereka kecil dan tumbuh dewasa, mereka sudah berkeinginan untuk menikahi
anaknya nanti menjadi keluarga baru untuk persahabatannya.”
“Tapi, Yah...” Clara menahan ucapannya.
“Tidak untuk waktu cepat, kamu dengan Agha bisa saling berkenalan
terlebih dahulu. Setelah itu, silahkan kalian sendiri yang menentukan. Ayah
hanya ingin menyampaikan keinginan terakhir ibumu untuk saat itu, Nak.”
Percakapan di antara mereka berubah membeku. Clara luluh dalam
sekejap. Dan, dia mendengarkan semua perkataan ayahnya sambil menahan kesedihan
yang tidak pantas diperlihatkannya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar