Jumat, 05 September 2014

Air Mata Hati

Apa harus selalu seperti ini? Setiap aku kembali untuk memasuki kamar, tubuh lemahnya terlihat jelas dari pandangan yang jelas ini. Suara lekikan batuknya selalu sampai ke dalam hati, saat telinga yang aku miliki tak sanggup mendengar lagi. Tuhan... tolong kembalikan dia pada diri yang sebelumnya ceria aku lihat, tertawa aku dengar.

Clara duduk di balkon teras rumahnya. Bagian depan rumahnya tidak terlalu besar, namun beberapa tanaman gantung berjejer rapi di atas. Kolam di pojok rumah terlihat penuh dengan ikan-ikan hias yang bermacam warna, menambahkan nilai unsur kesejukan dari replika bebatuan yang tersusun.

Pikirannya selalu terasa tenang saat menjajaki balkon depan rumahnya. Namun, untuk kali ini dia tidak dapat menghindar dari rasa ketakutan saat matanya selalu menangkap lemah tubuh ayahnya di atas kasur.

Dia terdiam memperhatikan ikan-ikan yang berenang di dalam kolam. Meski demikian, pikirannya kali ini tertuju dengan keadaan ayahnya yang sedang berobat ke luar negeri. Kali ini, balkon tempat biasa dia melewatkan kesepian tidak berfungsi sama sekali. Clara membungkukkan tubuhnya dengan kedua tangannya yang menutupi wajah.

 “Sedang apa, Clar? Tante perhatikan dari jauh kamu murung aja.” Suara tante Rose mengakhiri lamunan Clara.

Clara terkaget. Buku tipis yang di genggamnya sekejap terjatuh ke lantai. “Tante,” dia memungut kembali bukunya. “Eng...gak ada a..apa-apa kok, Tan.” Suaranya terbata-bata.

Terkadang dia harus menyembunyikan perasaannya dari orang lain. Dia tidak ingin seluruh masalah dalam hatinya patut orang lain ketahui, meskipun itu tantenya sendiri. Dia merindukan ayahnya, di mana setiap hari yang sebelum-sebelumnya masih dapat mengantarkan dirinya berangkat ke kampus.

Perempuan yang sudah duduk di sebelahnya itu mengacak-acak lembut rambut Clara. Sejak tadi, perempuan setengah baya itu selalu memperhatikan Clara dari dalam rumah. Dia bertanya-tanya pada hatinya sendiri mengenai sikap Clara yang dari pagi selalu kusam, tidak banyak bicara-hanya seperlu maunya saja.

“Oh, ya. Kamu mau ini?” Tante Rose menyodorkan sebungkus coklat.

Clara menggelengkan kepalanya. Pandangannya tertuju ke arah sekelompok ikan di dalam kolam. Dia menginginkan kebersamaannya bersama ayah, seperti ikan-ikan di kolam yang dapat ke sana-sini saling kejar-kejaran.

Suasana kembali hening. Bukan untuk yang pertama kalinya Clara mendengar suara rintihan batuk ayahnya saat sedang sakit di rumah, setiap melewati depan kamar. Ini sebabnya dia lebih banyak terlihat diam di balkon rumah. Suara rintihan batuk ayahnya kembali mengingatkan dia akan keadaan ayahnya saat itu.

“Kamu tidak apa-apa, Clar?” Tante Rose menatap Clara dengan seksama.

Sudah hampir lima menit pembicaraan di antara mereka masih bisu, pikiran Clara  saat ini hanya tertuju kepada ayahnya yang masih berada di rumah sakit. Dia menunduk sambil memelukkan kedua tangannya dengan erat. Sesaat, setelah tante Rose mengusap-usap pundaknya, Clara mulai menyadari kedatangan tante Rose . Dia tersadar dari lamunannya. Walaupun masih dalam penuh ragu, berselang beberapa menit kemudian dia menoleh ke arah tante Rose.

Clara memeluk erat tubuh tante Rose. Lalu, dia menceritakan semua keinginannya secara mendayuh, mengkhayalkan situasi di balkon rumahnya terdapat sosok seorang ayah untuk saat ini.

“Kapan ayah pulang, Tan?” dengan tatapan lesunya dia memegang erat kedua tangan tantenya. “Aku ingin kita kumpul bersama lagi, di depan rumah ini. Ayaah.”

“Sebentar lagi,” tante Rose mengambil ponsel dari kantongnya. Kemudian, dengan tempo yang agak melambat dia menunjukkan pesan singkat dari ayah Clara kepadanya. “Ayah kamu sudah agak membaik dan hari ini sudah diizinkan  untuk pulang, Clar.” Senyumnya kecil.

Alhamdulillah.

Clara mengusap-usap seluruh bagian wajahnya dengan telapak tangan. Satu-satunya kesedihan saat itu hilang ketika mendengar kabar ayahnya yang akan pulang. Dia kembali memeluk erat tubuh tante Rose.

“Jadi, sekarang sudah bisa senyum lagi nih? Enggak seperti tadi.”

Clara menggelengkan kepalanya perlahan. “Ih, apa sih, Tan. Aku kan bukan anak kecil lagi.” Lalu, dia kembali menundukkan kepalanya. Dia terdiam malu.

“Kemungkinan besok sudah sampai di Jakarta, mau ikut aku jemput ayah?”

“Enggak, Tan. Aku di rumah saja, merapikan kamar ayah yang terlihat kumuh sejak ayah di rumah sakit.”

Tangan tante Rose kembali menyodorkan cokelat. “Masih nggak mau cokelat ini juga, Clar?”

Lalu, dengan sigapnya Clara merampas cokelat yang masih di pegang tantenya. “Terima kasih, Tan. Sering-sering seperti ini, ya.”

Kini, tante Rose mulai beranjak dari kursinya. Dia terlihat memasuki pintu rumah, kemudian mulai menghilangkan tubuhnya dari pandangan mata. Clara menyambut baik kepulangan ayahnya setelah mendengar berita kesehatannya yang berangsur membaik.

Clara menarik napasnya dengan tenang. Berualang-ulang kali, dia kembali menenangkan pikirannya saat itu. Perasaannya berangsur normal. Tidak seperti sebelumnya, dia selalu kepikiran ayahnya yang sedang sakit akhir-akhir ini dan tidak di rawat di rumah.

***

Siang ini, Merry bermain ke rumah Clara bersama Monic sekaligus membahas tugas jadwal pertemuan organisasinya. Kemudian, Merry menyodorkan amplop cokelat di tangannya kepada Clara. Dia pun menaruh tas laptop yang masih digendongnya di atas meja. Awalnya, Merry akan datang ke rumah Dara dengan dua teman lainnya yang ikut serta mengurus organisasi di kampus. Namun, perihal kepergian salah satu temannya yang lain, dia hanya datang bersama Monic.

Pembicaraan bertiga di antara mereka berangsur agak alot. Merry masih belum memahami tugas-tugas yang harus dia lakukan saat acara nanti berlangsung. Dia terlihat agak kebingungan. Dia selalu mengeryitkan dahinya, mengacak-acakkan rambutnya sendiri. Penjelasan Clara masih belum bisa dipahami dengan jelas oleh Merry, sehingga Monic yang mendengar langsung angkat bicara dan memperagakan dengan singkat tugas yang harus dilakukan Merry.

Kali ini, Merry mulai sedikit paham. Dia tertawa sejenak, setelah berpikir. Peragaan yang dilakukan Monic sangat membantu. Memang sudah menjadi rutinitas bagi Monic, dia selalu terbiasa untuk memperagakan sesuatu yang tidak pernah Merry mengerti dengan mudah sebelumnya.

Clara terkikik pelan, terdengar imut oleh Monic. Dia memperhatikan reaksi wajah Merry yang dari tadi menyimpan kebingungan, sebelum akhirnya Monic angkat bicara untuk menjelaskan sambil memperagakan. Lalu, sebagai bentuk support kepada Merry, dia berkata, “Kamu pasti bisa, Mer. Aku yakin itu, di pentas pertunjukkan kita nanti.”

Merry tersenyum kecil, lalu memeluk erat tubuh Clara dan Monic. “Terima kasih sahabat terbaikku.”

“Oke-oke, sama-sama nona centil,” Sambut Monic. “Tapi, jangan erat-erat meluknya dong. Aku sudah mulai terasa sesak.” Ketusnya.

“Oppss, maaf.”

“Ya. Tidak apa-apalah, berhubung kamu perempuan, jadi aku sih bebas-bebas saja.” Clara pun ikut tertawa, lalu mereka semua melepaskan tubuhnya masing-masing dari pelukkan.

Monic mengambil segelas jus dingin di dekatnya. Lalu, menenggakkannya segera dengan cepat.

“Silahkan di minum, Nic. Kalau mau tambah ambil saja di kulkas.” Merry menyenggolkan bahunya pelan, di ujung ucapannya itu dia terus meledekkan Monic yang sedang terlihat haus.

Dua jam sudah, waktu mereka lewati dengan cepat. Tugas yang hendak mereka buat masih belum selesai juga, setelah banyak tertawa dan gosip-gosip tidak jelas mereka sedikit lupa dengan tugasnya yang harus cepat di selesaikan segera.

Suasana pun kembali hening. Masing-masing dari mereka mulai kembali fokus dengan tugas lisannya masing-masing. Mereka bertiga menjadi bisu sesaat, tidak banyak bicara, namun hanya menatap layar laptonya dalam hening  dan serius.

***

Esok paginya, sekitar pukul sepuluh, Clara dikagetkan dengan kedatangan ayahnya yang sudah pulang. Dia berlari untuk menjemput, memeluk seluruh bagian tubuh ayahnya dengan kencang. Tante Rose yang menjemput ayahnya di bandara sejak pagi, dia sengaja tidak membangunkan Clara dari tidurnya yang masih lelap.

“Apa kabarnya, Clar?” Laki-laki tua itu memeluk lembut wajah anaknya. “Maafkan ayah, akhir-akhir ini ayah sering meninggalkan kamu untuk berobat.”

Tepat di depan hadapan Clara, dia menahan air matanya yang hendak keluar. Maafkan ayah, Nak. Selama ini, apapun alasannya itu, ayah harus tetap sembunyikannya dari kamu.” Buatnya, kebahagian anaknya adalah yang paling utama daripada harta yang dimilikinya.

“Ayah,” suara lembutnya memanggil. “Apa ayah mau berjanji sama aku, untuk saat ini dan seterusnya ayah tidak akan meninggalkan aku lagi,” dia menahan isak sedih di batinnya sejenak. “Cukup aku di rumah yang akan menjaga ayah. Lalu, aku akan tetap mengantarkan ayah untuk check up di rumah sakit yang ada di Jakarta ditemani tante Rose.”

Ayah Clara mengangguk pelan. Dia tertegun mendengar permintaan dari anaknya. “Iya, Clara anakku sayang. Untuk saat ini ayah janji.” Laki-laki itu mencium kening anaknya.

Tante Rose perlahan meninggalkan mereka berdua. Tanpa di undang, air matanya menetes di dasar pipi, saat dia mendengar dan harus menyaksikan secara langsung kerinduan yang terlihat jelas dengan matanya. Suara permohonan Clara terhadap ayahnya barusan sudah cukup menyakinkan dirinya, dimana saat itu dia bertanya soal kerisauan Clara yang lebih banyak terdiam di depan rumah.

Perempuan setengah baya itu mulai menghilangkan wajahnya dari keluarga kecil yang saling merindukan. Kesedihannya semakin menjadi-jadi setelah dia juga teringat dengan kisah hancurnya keluarga yang pernah dia jalani. Satu tahun lalu, dirinya pernah merasa kecewa, sikap suaminya tanpa disadari selalu bermain dengan wanita lain di belakangnya. Dia mendapatkan perselingkuhannya dari cerita sahabat-sahabat terdekatnya dan melihat langsung di jalan.

Dia merengut. Kesedihannya terhadap Rey-mantan suaminya- sudah membuat perasaan untuk hatinya trauma akan cinta untuk laki-laki lain. Beruntungnya aku, keluarga kecil ini bisa selalu membuatku tersenyum. Walau hanya bertiga di rumah, tapi keramaian akan cinta dari kakak dan keponakanku sangat memberi arti selamanya.

Rasa takut akan masa lalunya beranjak datang, dia masih menutup perasaannya untuk orang lain. Selama ini dia bangkit dengan membawa luka di hatinya, berusaha melupakan kegagalan dalam rumah tangganya saat itu.

***

Senja terlihat indah dari tangkapan telanjang mata Clara. Di dalam saung kecil, beratap sulaman daun kelapa yang rapi dia menghabiskan waktu sorenya di belakang rumah, membaca buku. Setelah tiga puluh menit, suara ayahnya terdengar menggema dari dalam rumah memanggil namanya.

Clara meninggalkan buku fiksi bacaannya di saung. Lalu, dia memasuki ruang keluarga tempat dimana ayahnya sudah menunggu.

 “Clar,” panggilnya pelan. “Ada yang mau ayah sampaikan.”

Masih di atas sofa merah, Clara menaruh tangan ayahnya di atas pahanya. Dia menanggapi serius pembiaraan yang akan ayahnya sampaikan. Dengan sedikit penasaran, dia menaruh ponselnya.

“Soal apa, Yah? Bukankah dari tadi kita sudah banyak bicara?”

Pria itu menahan mulut anaknya yang sedang komat-kamit kebingungan. “Tapi, Clar. Kali ini beda, ini menyangkut masa depan kamu.”

“Pasti soal kuliah, aku masih ingat pesan ayah kok. Sebentar lagi aku juga ikut sidang tahun ini, Yah. Do’akan aku, Yah. Supaya biar cepat selesai skripsinya.” Dia tertawa malu terhadap ayahnya.

“Bukan hal itu, Nak.”

Clara menahan senyumannya sejanak. Dalam sekejap, tiba-tiba perasaannya berubah menjadi bingung. Ucapan yang sebelumnya ayah ingin sampaikan jauh dari dugaan dia soal kuliah. Ruang tamu langsung berubah menjadi tenang dalam sekejab.

Laki-laki itu menarik dan menahan napasnya dengan santai. Direngkuhnya Clara ke dalam pelukannya, didekapnya. “Ini soal pernikahan, Clar. Ayah minta kamu bisa mempertimbangkannya, lalu dengan cepat memutuskannya.”

Detak jantung Clara berdegup kencang. Napasnya berubah menjadi tidak teratur, dia seperti mendapatkan hantaman kecelakaan yang sangat dahsyat. Sebagian tubuhnya terasa dingin, sorotan kedua matanya mengarah ke wajah ayahnya dengan tajam.

Apa yang baru didengarnya benar-benar luar biasa. Clara masih tidak percaya dengan penuturan ayahnya, secepat itu. Dia tidak menduka perbincangannya saat ini mengarah ke pernikahan. Dia hanya bisa diam, menyembunyikan perasaannya.

“Apa kamu siap untuk menikah, Clar? Ayah sudah punya jodohnya untuk kamu, dan itu pun pilihan ibu kamu saat mereka masih muda.”

Clara mengggeleng pelan. Penolakannya saat ini hanya terlintas di dalam hatinya. Dia tidak ingin mengecewakan langsung ayahnya untuk saat ini. Namun, dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya harus dia tolak soal pernikahan.

Ayah Clara mengambil tas yang ada di sebelahnya. Dia mengeluarkan beberapa lembar foto yang dengan gambar yang sama untuk ditunjukkan kepad Clara. “Ini, Clar. Agha Pradana, dia anak dari sahabat kecil ibu kamu. Saat mereka kecil dan tumbuh dewasa, mereka sudah berkeinginan untuk menikahi anaknya nanti menjadi keluarga baru untuk persahabatannya.”

“Tapi, Yah...” Clara menahan ucapannya.

“Tidak untuk waktu cepat, kamu dengan Agha bisa saling berkenalan terlebih dahulu. Setelah itu, silahkan kalian sendiri yang menentukan. Ayah hanya ingin menyampaikan keinginan terakhir ibumu untuk saat itu, Nak.”

Percakapan di antara mereka berubah membeku. Clara luluh dalam sekejap. Dan, dia mendengarkan semua perkataan ayahnya sambil menahan kesedihan yang tidak pantas diperlihatkannya.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar