Kamis, 07 Agustus 2014

Hey! Untuk Kamu Sahabatku

Hey! Untuk Kamu Sahabatku.

Entah, kenapa tiba-tiba perasaanku menjadi gelap seperti ini. Apa benar jatuh cinta itu akan tumbuh seiringnya waktu yang kita jalani? Teman, nampaknya kita berdua memang sudah ditakdirkan untuk tidak lebih merasakan cinta. Memang, setiap manusia mempunyai hubungan yang unik dalam kisah asmaranya. Tapi, bukankah mereka sudah saling jatuh cinta? Sementara aku, hanya bisa diam di dalam kebimbangan yang selalu aku rasakan saat bersamanya.

Sering benar aku mendengar mereka bercerita dengan bangga, membagi kisah nyata yang berawal dari teman berakhir dengan bergantengan  tangan. Ingin rasanya aku mengatakan hal yang sesungguhnya terjadi, tak hanya menyimpan perasaanku seorang diri yang kemudian selalu berharap lebih kepadanya. Namun, itu hanya halusinasiku yang tak pantas memilikinya lebih dari seorang sahabat.

“Jangan kecewakan dia, Rey. Bukankah persahabatan kalian selalu indah dan penuh suka cita selama ini.” kenyataan seperti itu selalu menghantui hatiku yang takut berujung kesalahan yang fatal untuk kita berdua.

Aku kembali memperhatikan gambar-gambar yang selalu dia upload di akun sosial media miliknya. Tuhan, aku selalu berpikir untuk selalu memilikinya. Bukankah, Kau selalu mendengar setiap doa-doa yang kami sampaikan?

“Untuk apa diperhatikan, kalau ujung-ujung toh kecewa saja, Rey?” sambar Rina sambil merebut ponselku.

“What! Kecewa! Enggak salah ngomong, Kak? Bagaimana mungkin aku kecewa, ini cuma sebuah foto dan akan bisa lebih.” Tukasku sambil merebut kembali ponsel yang dirampas dari Kak Rina.

“Ah, sudahlah, kamu masih saja egois dan tidak pernah mau berkata jujur apa yang sudah kamu rasakan!”

Dasar wanita, selalu saja berkata sesuai apa yang mereka lihat begitu saja. Tidakkah sepantasnya mereka dengar terlebih dahulu dan alasannya itu seperti apa. Dasar! Melihat itu memang mudah dengan kedua mata kita. Tapi, menuturkan apa yang sebenarnya kita ingin sampaikan adalah hal yang berat untuk segera kita sampaikan.

“Sekarang kamu jujur, Rey. Apa kamu punya perasaan yang lebih untuk dia? Wanita yang barusan kamu perhatikan lewat gambar,” sergahnya sekejap. “Kita memang tidak pernah tahu rencana Tuhan itu seperti apa. Baik atau pun buruknya nanti, setidaknya kita sudah berusaha untuk membuat harapan itu menjadi kenyataan yang akan kita dapatkan!”

Angin pun remuk dengan pembicaraan yang hangat di antara kita. Gemericik air yang jatuh terdengar riuh dari balik jendela. Aku henyak, hening. Penuturan yang Kak Reni sampaikan mencuatkanku dalam kebisuan. Tak ada kata, yang terdengar hanya suara detak jantungku sendiri.

“Tapi, Kak. Bukankah kita juga butuh waktu dalam situasi seperti ini? Aku nggak ingin ke egoisanku untuk bersamanya itu hanya menjadikan kita hilang dari pertemanan yang kemudian saling menjauh.”

“Usaha itu penting, Rey. Aku juga wanita, jadi yang terpikirkan di dalam kepalaku saat ini sebuah kejujuran. Kamu harus jujur, apa pun itu hasilnya nanti, setidaknya kamu sudah mengurangi kekecewaanmu di dalam hati.”

“Iya, Kak.”

“Kamu pertimbangkan wbaik-baik kembali, jangan sampai terlalu larut menyimpan harapan yang akan menjadi dilema.” Perempuan tinggi itu merangkul hangat Reyhan. Menepuk-nepuk pundaknya dengan lemah, “Aku yakin kamu pasti bisa.” Bisiknya kepada Rey.

Sungguh aku tak bisa terima ucapan-ucapan Kak Reni, yang setidaknya mengkaitkanku seperti pria lemah tak tegas. Setidaknya kak Reni benar, aku harus siap dengan konsokuensi harapanku nanti. Berkataa jujur itu memang sulit, namun ketakutan untukku lebih menyakitkan untuk melihat orang yang kita cintai hilang tanpa alasan yang kita ketahui.

***

“Aku hanya bisa mengagumimu. Melihat segala keindahan senyuman yang terpancar diwajahmu dalam khayalku...,” ucapku dengan batin yang semakin menyiksa diri. “Kuharap kamu akan bisa mengerti betapa rapuhnya aku saat ini.”

Aku tersenyum ringan. Walaupun dada ini terus semakin sesak. Perhara keraguan ini benar-benar selalu membuatku bingung, saat aku mengatakan yang sejujurnya kepadamu nanti. Kamu akan pergi, lalu menjauh dari hidupku karena tak enak hati telah menyakiti perasaanku.

Seperti biasa, di dalam note kecil yang aku bawa-bawa selalu tertulis rapih rangkaian bait puisi tentang kamu. Hujan, suasana alam yang selalu mengertiku, tetesan airnya yang turun mampu menginspirasiku ke dalam bait cinta yang bisa kusimpan.

***

Senja terlihat sangat indah, memberikan pesona orange yang sangat khas tergambar di langit lepas dengan mata. Aku tak ingin mengakhiri kisah kita berdua seperti senja yang hanya sesaat dengan keindahannya, kemudian ia pergi dengan kegelapan.

Aku melengok ke arah pantai. Demburan ombak terdengar sangat begitu keras ke tepi pantai, seperti halnya jiwaku yang selama ini masih terhantam untuk mengagumimu.

“Kak...,” ia melongok ke arah wajah kakaknya. “Apa dia tahu tempat ini punya sisi kenangan yang sangat mendalam?.” Seruku sambil berdiri, lalu melemparkan sebuah kerikil kecil ke arah tengan lautan.

“Pasti, Rey,” ia mengacak-acak rambutku secara perlahan-lahan. “Jangan mengeluh terus-menerus. Ketakutan itu cukup sesaat, jangan biarkan kegelapan menguasai jiwa kita.”

Kenapa selalu ada perpisahan yang tak pernah kita harapkan? Setelah kebahagian itu datang, tiba-tiba kita akan terpisah jauh di luar dugaan yang kita inginkan.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar