Hey! Untuk Kamu Sahabatku.
Entah,
kenapa tiba-tiba perasaanku menjadi gelap seperti ini. Apa benar jatuh cinta
itu akan tumbuh seiringnya waktu yang kita jalani? Teman, nampaknya kita berdua
memang sudah ditakdirkan untuk tidak lebih merasakan cinta. Memang, setiap
manusia mempunyai hubungan yang unik dalam kisah asmaranya. Tapi, bukankah
mereka sudah saling jatuh cinta? Sementara aku, hanya bisa diam di dalam
kebimbangan yang selalu aku rasakan saat bersamanya.
Sering benar
aku mendengar mereka bercerita dengan bangga, membagi kisah nyata yang berawal
dari teman berakhir dengan bergantengan
tangan. Ingin rasanya aku mengatakan hal yang sesungguhnya terjadi, tak
hanya menyimpan perasaanku seorang diri yang kemudian selalu berharap lebih
kepadanya. Namun, itu hanya halusinasiku yang tak pantas memilikinya lebih dari
seorang sahabat.
“Jangan
kecewakan dia, Rey. Bukankah persahabatan kalian selalu indah dan penuh suka
cita selama ini.” kenyataan seperti itu selalu menghantui hatiku yang takut
berujung kesalahan yang fatal untuk kita berdua.
Aku kembali
memperhatikan gambar-gambar yang selalu dia upload di akun sosial media
miliknya. Tuhan, aku selalu berpikir untuk selalu memilikinya. Bukankah, Kau
selalu mendengar setiap doa-doa yang kami sampaikan?
“Untuk apa
diperhatikan, kalau ujung-ujung toh kecewa saja, Rey?” sambar Rina sambil
merebut ponselku.
“What!
Kecewa! Enggak salah ngomong, Kak? Bagaimana mungkin aku kecewa, ini cuma
sebuah foto dan akan bisa lebih.” Tukasku sambil merebut kembali ponsel yang dirampas
dari Kak Rina.
“Ah,
sudahlah, kamu masih saja egois dan tidak pernah mau berkata jujur apa yang
sudah kamu rasakan!”
Dasar
wanita, selalu saja berkata sesuai apa yang mereka lihat begitu saja. Tidakkah
sepantasnya mereka dengar terlebih dahulu dan alasannya itu seperti apa. Dasar!
Melihat itu memang mudah dengan kedua mata kita. Tapi, menuturkan apa yang
sebenarnya kita ingin sampaikan adalah hal yang berat untuk segera kita
sampaikan.
“Sekarang
kamu jujur, Rey. Apa kamu punya perasaan yang lebih untuk dia? Wanita yang
barusan kamu perhatikan lewat gambar,” sergahnya sekejap. “Kita memang tidak
pernah tahu rencana Tuhan itu seperti apa. Baik atau pun buruknya nanti,
setidaknya kita sudah berusaha untuk membuat harapan itu menjadi kenyataan yang
akan kita dapatkan!”
Angin pun
remuk dengan pembicaraan yang hangat di antara kita. Gemericik air yang jatuh
terdengar riuh dari balik jendela. Aku henyak, hening. Penuturan yang Kak Reni
sampaikan mencuatkanku dalam kebisuan. Tak ada kata, yang terdengar hanya suara
detak jantungku sendiri.
“Tapi, Kak.
Bukankah kita juga butuh waktu dalam situasi seperti ini? Aku nggak ingin ke
egoisanku untuk bersamanya itu hanya menjadikan kita hilang dari pertemanan
yang kemudian saling menjauh.”
“Usaha itu
penting, Rey. Aku juga wanita, jadi yang terpikirkan di dalam kepalaku saat ini
sebuah kejujuran. Kamu harus jujur, apa pun itu hasilnya nanti, setidaknya kamu
sudah mengurangi kekecewaanmu di dalam hati.”
“Iya, Kak.”
“Kamu
pertimbangkan wbaik-baik kembali, jangan sampai terlalu larut menyimpan harapan
yang akan menjadi dilema.” Perempuan tinggi itu merangkul hangat Reyhan.
Menepuk-nepuk pundaknya dengan lemah, “Aku yakin kamu pasti bisa.” Bisiknya
kepada Rey.
Sungguh aku
tak bisa terima ucapan-ucapan Kak Reni, yang setidaknya mengkaitkanku seperti
pria lemah tak tegas. Setidaknya kak Reni benar, aku harus siap dengan
konsokuensi harapanku nanti. Berkataa jujur itu memang sulit, namun ketakutan
untukku lebih menyakitkan untuk melihat orang yang kita cintai hilang tanpa
alasan yang kita ketahui.
***
“Aku hanya
bisa mengagumimu. Melihat segala keindahan senyuman yang terpancar diwajahmu
dalam khayalku...,” ucapku dengan batin yang semakin menyiksa diri. “Kuharap
kamu akan bisa mengerti betapa rapuhnya aku saat ini.”
Aku tersenyum
ringan. Walaupun dada ini terus semakin sesak. Perhara keraguan ini benar-benar
selalu membuatku bingung, saat aku mengatakan yang sejujurnya kepadamu nanti.
Kamu akan pergi, lalu menjauh dari hidupku karena tak enak hati telah menyakiti
perasaanku.
Seperti
biasa, di dalam note kecil yang aku bawa-bawa selalu tertulis rapih rangkaian
bait puisi tentang kamu. Hujan, suasana
alam yang selalu mengertiku, tetesan airnya yang turun mampu menginspirasiku ke
dalam bait cinta yang bisa kusimpan.
***
Senja terlihat sangat indah, memberikan pesona
orange yang sangat khas tergambar di
langit lepas dengan mata. Aku tak ingin mengakhiri kisah kita berdua seperti
senja yang hanya sesaat dengan keindahannya, kemudian ia pergi dengan
kegelapan.
Aku melengok
ke arah pantai. Demburan ombak terdengar sangat begitu keras ke tepi pantai,
seperti halnya jiwaku yang selama ini masih terhantam untuk mengagumimu.
“Kak...,” ia
melongok ke arah wajah kakaknya. “Apa dia tahu tempat ini punya sisi kenangan
yang sangat mendalam?.” Seruku sambil berdiri, lalu melemparkan sebuah kerikil
kecil ke arah tengan lautan.
“Pasti,
Rey,” ia mengacak-acak rambutku secara perlahan-lahan. “Jangan mengeluh
terus-menerus. Ketakutan itu cukup sesaat, jangan biarkan kegelapan menguasai
jiwa kita.”
Kenapa
selalu ada perpisahan yang tak pernah kita harapkan? Setelah kebahagian itu
datang, tiba-tiba kita akan terpisah jauh di luar dugaan yang kita inginkan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar